Pemakaman Cina

4.9K 338 8
                                    

Setelah meninggalkan palagan, Mbah Sirna dan Wereng menuju ke pemakaman cina pinggiran kota. Rumah yang mereka cari tak jauh dari tempat itu. Aroma hio tercium kuat saat Mbah Sina sampai di sebuah dinding yang didominasi oleh warna merah.

Keinginan Mbah Sirna untuk masuk tertahan. Cermin segidelapan yang terpasang di pintu gerbang selalu mengeluarkan sinar keperakan saat ia mencoba mendekat. Ke manapun ia melangkah, sinar itu selalu menyambarnya.

"Wereng, giliranmu."

Gundala Wereng yang telah berubah menjadi kecil dan melingkar di leher Mbah Sirna menegakkan lehernya. Tak lama kemudian dua sinar merah keluar dari mata ular tersebut. Sinar merah dan cahaya keperakan beradu. Kalah kuat, cermin segidelapan itu meledak.

Tiga orang yang berada di balik pintu menatap tegang ketika Mbah Sirna muncul di halaman. Ketiganya tidak menyangka jika aksi mereka di rumah Iis tadi bisa diketahui Mbah Sirna secepat itu. Mereka berpikir Mbah Sirna akan terlibat pertarungan dengan orang tua yang bersenjatakan tali itu.

"Kalian rupanya tahu juga soal mustika itu ya? Sayangnya niat licik kalian untuk mendapatkan mustika itu akan kutamatkan di sini," ucap Mbah Sirna.

"Dalam dunia kita, licik atau cerdik cuma sebutan Manusia Ular. Bukankah yang kau lakukan pada pemuda itu juga licik?" jawab laki-laki yang memegang pedang berbentuk aneh.

Mbah Sirna menatap pedang yang terbuat dari rangkaian koin kuno. Ia tahu kehebatan senjata yang mampu melukai tubuh jin itu. Dua orang di samping laki-laki itu juga bersenjata. Satu orang memegang kadga, sedang yang seorang lagi memegang kapak dongsong. Kedua senjata itu memancarkan energi kuat. Namun saat melihat auranya yang begitu terang, senjata-senjata itu belum melebur sepenuhnya dengan si pemilik.

"Senjata-senjata hebat, namun sayang berada di tangan yang salah," bisik Mbah Sirna.

"Wereng, untuk menghemat waktu, tampaknya kali ini kita harus beradu fisik."

Gundala Wereng lalu melata turun ke tangan Mbah Sirna. Sekejap kemudian ia telah berubah menjadi sebilah pedang berwarna hitam kelam. Cahaya kemerahan berpendar redup di bilah pedang itu. Mbah Sirna tersenyum, kemudian ia membuka mulut. Tiga makhluk mengerikan itupun kembali muncul.

"Lawan-lawan kalian akan segera muncul, habisi mereka semua," perintahnya pada ketiga prewangan itu.

Tiga orang yang menjadi lawan Mbah Sirna beradu pandang. Setelah itu mulut mereka berkomat-kamit membaca mantra. Orang yang berpedang rangkaian koin kuno melemparkan potongan-potongan kertas yang kemudian berubah menjadi jin-jin berpakaian aneh. Wajah mereka pucat, jari-jarinya berkuku lurus dan runcing, sementara kaki jin-jin itu melayang di udara.

Orang yang bersenjata kadga membuka mulutnya. Seekor buaya putih keluar dari sana dan segera berubah menjadi sesosok manusia buaya. Sementara pemilik kapak dongsong menggigit ibujarinya dan meneteskan darah yang keluar ke tanah. Tak lama kemudian seperti ada gempa terjadi. Saat getaran berhenti, seekor kelabang raksasa telah muncul di tempat itu.

"Mari kita lihat ketangguhan mereka, Wereng. Apakah orang-orang itu sehebat jin-jin dan pusaka yang mereka bawa atau cuma anak-anak yang menjadi sombong karena kekuatan pinjaman."

Mbah Sirna lalu menerjang maju. Cahaya kemerahan pedangnya bergerak seperti badai. Percikan bunga api keluar saat pedang jelmaan Gundala Wereng berbenturan dengan senjata-senjata lawannya. Sementara itu jin-jin mereka juga memiliki pertarungannya sendiri. Ketiga prewangan Mbah Sirna dengan cepat berubah menjadi belasan kemudian puluhan. Jumlah mereka yang terus bertambah membuat jin-jin lawannya kewalahan.

Tapi pengalaman dan kemampuan Mbah Sirna jelas lebih unggul. Satu demi satu pedangnya mulai melukai lawannya. Sampai akhirnya ketiga orang itu harus pasrah dan meloncat mundur. Apalagi jin mereka juga sudah sama-sama tak berdaya menghadapi kebuasan jin Mbah Sirna yang telah membelah diri menjadi ratusan itu.

"Kami menyerah," ucap mereka.

"Di mana gadis yang kalian culik itu?" tanya Mbah Sirna.

"Ada di kamar, ambillah sendiri," jawab si pemegang pedang koin.

"Jangan gegabah, Na. Aku merasakan ada kekuatan dahsyat di rumah itu," bisik Wereng.

"Kau pikir aku bodoh? Di rumah itu pasti sudah terpasang berbagai macam jebakan dan penghalang."

"Cepat keluarkan dia! Atau kubuat kau hidup dalam kematian!" perintah Mbah Sirna.

Laki-laki berpedang koin itu terdiam. Ia sadar rencananya sudah gagal total. Andai Mbah Sirna tadi memasuki rumah, kekuatannya pasti akan lenyap disegel dua jin penghuni bethok tindih yang telah berusia ratusan ribu tahun itu. Sayang kedua jin itu adalah milik almarhum kakeknya dan cuma diberi tugas menjaga rumah. Jika tidak, tentu akhir pertarungan ini mungkin akan berbeda.

"Aku akan keluarkan gadis itu. Tapi aku minta jaminan keselamatan darimu."

"Bagiku yang penting adalah gadis itu. Kau tidak perlu khawatir."

Laki-laki itu masuk ke rumah. Sepuluh menit kemudian, ia muncul bersama Iis. Tangan gadis itu terikat ke belakang. Mbah Sirna menghampiri mereka. Gundala Wereng yang kembali berubah wujud menjadi ular raksasa mengawasi keadaan sekitar. Mbah Sirna lalu membawa Iis bersamanya.

"Ingat janjimu, Orang Bertudung. Gadis ini adalah tebusan keselamatan kami!"

"Bukankah kau sendiri yang bilang, cerdik dan licik itu cuma sebutan?"

Gundala Wereng mendesis panjang. Tubuhnya bergerak cepat melilit tiga orang itu dan menelannya satu demi satu.

Seekor kelelawar kecil yang dari tadi mengawasi pertarungan kemudian terbang menuju rumah tuannya. Binatang itu lalu mendatangi Hendro yang sedang membersihkan sebilah caluk tua berpamor buntel mayit. Laki-laki itu dengan telaten mengolesi bilah senjatanya dengan minyak yang berasal dari mayat-mayat hasil ritual bersama Harto, Felix, Dalbo, dan Sirna. Gagang caluk yang terbuat dari galih kayu kemuning itupun dihiasi dengan batu-batu hasil ritual tersebut.

"Sayang batu Ki Upas menjadi milik Harto. Jika saja batu itu terpasang di sini, kekuatan pusakaku akan semakin dahsyat," gerutunya.

"Ada berita apa?" tanya Hendro pada kelelawar yang hinggp di bahunya.

"Begitu ya? Sirna sudah mendapatkan Iis."

"Baiklah. Sekarang tugasmu adalah mengawasi ular licik itu. Jika dia tidak memberitahu keberadaan Moza, aku tidak akan segan-segan lagi untuk menghabisinya. Sekarang makanlah."

Kelelawar itu lalu menggigit leher Hendro. Pelan-pelan tubuhnya membesar. Setelah ukurannya berubah menjadi sebesar kalong, binatang itu kembali terbang untuk menjalankan perintah.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang