Nusa Karang

4.7K 352 5
                                    

Kabar kematian Felix tentu saja mengejutkan banyak pihak. Desas-desus di masyarakat mengatakan jika Felix menjadi korban pembunuhan saingannya. Orang-orang yang selama ini berada di bawah perlindungannya tentu saja ketakutan. Sementara mereka yang pernah disakitinya tentu saja bersyukur. Kapten Daniel adalah salah seorang dari mereka yang merasa senang dengan kematian Felix.

Hari ini ia kedatangan tamu. Istrinya mengabarkan jika seorang pemuda yang memperkenalkan diri sebagai teman Timur, Alit, Johan, dan Iis datang berkunjung. Nama anak muda itu adalah Mi'an. Setelah menyelesaikan urusan di kantor, Kapten Daniel segera saja pulang untuk menemui Mi'an. Saat ia memasuki ruang tamu, seorang pemuda yang duduk di sana langsung berdiri dan menyalami tangannya.

"Duduklah, An. Aku sudah mendengar cerita tentangmu dari Timur. Aku yakin kasus kematian Felix tiga bulan lalu pasti ada hubungannya dengan kehadiranmu di tempat ini."

"Saya yang membunuhnya, Pak. Tapi itu terjadi dalam pertarungan yang adil."

"Aku tahu. Aku juga tidak akan berpura-pura tidak senang Felix mati. Dia layak untuk itu."

"Oh iya, bagaimana kabar Timur dan Iis, An. Sudah lama mereka tidak memberi kabar."

Mi'an lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di lereng Lawu. Kapten Daniel tentu saja terkejut saat tahu Timur, Alit, dan Johan ditawan oleh Mbah Sirna. Terlebih lagi kemungkinan besar Iis tewas dalam pertempuran itu.

"Aku benar-benar tidak menyangka Iis akan pergi secepat itu," bisik Kapten Daniel. Mata laki-laki itu berkaca-kaca menahan tangis.

"Apa yang bisa kubantu, An? Aku sudah kehilangan Iis, aku tak ingin Timur juga ikut menghilang juga."

"Karena itu aku datang ke mari, Pak. Kalau ada informasi apapun tentang mereka, tolong kabari aku."

"Lewat apa? Kamu punya ponsel?" tanya Kapten Daniel.

"Bapak punya sangkar burung?" Mi'an balik bertanya.

Dua hari kemudian, sebuah sangkar yang berisi seekor perkutut putih tergantung di teras rumah Daniel. Pintu sangkar itu tak tertutup. Nduk ditugaskan Mi'an untuk menjadi penghubung antara dirinya dengan Kapten Daniel. Ribka juga diminta Mi'an tinggal di sana untuk sementara waktu. Luka dalam yang dideritanya akibat pertempuran di lereng Lawu cukup parah. Ribka sendiri menyadari jika kondisinya nanti akan merepotkan Mi'an, karena itu ia tidak membantah permintaan Mi'an.

"Kapten, aku titip Mama Ribka. Terimakasih sudah bersedia kami repotkan."

"Tenang saja, An. Urusan Ribka biar menjadi tanggungjawabku. Kau fokus saja mencari Timur dan yang lain."

"Ma, aku pergi dulu. Doakan Harto dan Sirna segera bisa kami temukan." Mi'an menyalami Ribka.

"Begitu kesehatanku membaik, aku akan segera menyusulmu, An. Aku ingin meminta maaf pada mereka."

"Pokoknya jangan dipaksakan, Ma."

Harto sendiri saat itu sedang berada di Laut Selatan. Berita kematian Felix di tangan Mi'an membuatnya merasa sedikit khawatir. Ia tahu kemampuan beladiri Felix memang tidak terlalu tinggi, tapi jin-jin yang dikuasainya tidaklah demikian. Jika mereka bisa dikalahkan, maka itu artinya Condromowo dan Candrasa sudah semakin kuat. Mi'an juga pasti ikut bertambah kuat. Karena itulah dia mengunjungi pulau Nusa Karang.

Tak ada cara mudah untuk mencapai Nusa Karang. Melalui jalan biasa atau jalan ghaib, semuanya sama saja. Sepasang suami-istri yang menghuni Nusa Karang telah memasang berbagai macam penghalang dan ranjau untuk mengusir dan menghalangi setiap makhluk yang tidak berkepentingan memasuki pulau. Beruntung beberapa tahun yang lalu, Harto bisa mengikat perjanjian pinjam kekuatan dengan mereka.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang