Mustika

5.4K 406 1
                                    

Di rumah Mak Ina, segala sesuatunya kembali berjalan normal. Darwis memutuskan tinggal bersama Timur untuk mewariskan ilmunya. Sebagai pengganti kerisnya yang patah, golok bergagang ukiran kepala macan itu diberikan kepadanya. Moza sendiri memilih menetap di rumah Mak Ina. Selain merasa iba dengan kondisi Mak Ina, ia juga merasa lebih aman di sana.

Mayat Bowo dan Bono dikubur di halaman belakang. Tindakan itu terpaksa dilakukan untuk menghindari masalah. Iis yang awalnya tidak setuju, akhirnya bisa menerima keputusan itu. Apalagi menurut Moza, Bono dan Bowo tak lagi memiliki sanak saudara.

Sore itu Hasnah, Ega dan seorang perempuan datang ke rumah Mak Ina.

"Bagaimana, Ga? Sudah sehat?" sapa Mak Ina.

"Alhamdulillah, Mak. Sudah lama saya tidak merasa pusing lagi," jawab Ega.

"Kak Moza ke mana, Mak?"

"Ada di dalam, sedang buat minuman. Kamu ini cari Moza, apa Timur, Ga? Timur tidak tinggal di sini."

"Ah, Mak Ina bisa saja," bisik Ega dengan pipi bersemu merah.

"Yah, semoga saja kalian ada jodoh, Ga. Oh, iya. Mbak ini siapa ya? Perasaan kok saya belum pernah ketemu?"

"Ini saudara jauh saya dari Aceh, Mak. Namanya Farida. Kebetulan dia ada perlu sama Moza."

"Jauh-jauh dari Aceh datang ke sini hanya untuk bertemu Moza. Memangnya ada apa ya, Mbak?"

"Tapi tunggu Moza sajalah. Sebentar lagi pasti keluar anaknya."

Sepuluh menit kemudian, Moza datang dengan membawa nampan berisi minuman dan makanan. Mak Ina lalu mempersilakan Hasnah, Ega, dan Farida untuk menikmati hidangan tersebut.

"Mbak Farida ini ada perlu denganmu, Za. Dia datang dari Aceh."

"Ada perlu apa ya, Mbak? Perasaan saya tidak punya saudara dari sana?" tanya Moza dengan raut wajah bingung.

"Saya cuma menyampaikan titipan, Mbak," jawab Farida.

"Titipan?"

"Iya. Barangnya ada di mobil Bu Hasnah. Entah mengapa tadi saya tidak bisa mengangkatnya. Padahal sebelumnya tidak ada masalah."

Dada Mak Ina berdebar. Diamatinya Farida baik-baik, berharap bisa menemukan tanda-tanda energi gaib di badannya. Namun usaha itu sia-sia. Tubuh Farida kosong, tak ada sedikit pun jejak dunia lain di sana.

"Ini aneh. Apakah ilmunya sudah sedemikian tinggi sehingga bisa menyembunyikan energi itu?" batin Mak Ina.

"Mari saya temani mengambil barangnya, Mbak. Ayo, Za, kita lihat apa titipan itu."

Mereka lalu menuju mobil Hasnah. Ketika Farida membuka pintu mobil itulah jantung Mak Ina dan Moza seolah berhenti berdetak. Dua ekor harimau putih mulus tanpa belang terliha keluar dari sana. Kedua harimau itu berjalan mendekati Moza, kemudian duduk di depannya seolah menunggu perintah.

"Ini, Mak, barangnya." Farida mengulurkan sebuah benda kotak terbungkus kain.

Mak Ina menerima benda itu dan membawanya ke ruang tamu. Setelah meletakkannya di meja, ia lalu membuka lipatan kain pembungkusnya. Isi kotak kayu hitam itu ternyata dua bilah kujang dan sebuah benda sebesar bungkus rokok yang terbuat dari kulit.

"Kantong macan," bisik Mak Ina lirih.

Bisa Mbak ceritakan bagaimana benda-benda ini sampai ada di tangan, Mbak. Serta apa hubungannya dengan Moza?" tanya Mak Ina.

Farida lalu menceritakan asal muasal titipan itu. Barang-barang itu adalah peninggalan kakeknya. Dulu sang kakek adalah seorang ahli pengobatan yang terkenal. Karena biaya berobat yang seikhlasnya, orang pun berdatangan ke tempatnya.

Hal itu membuat beberapa orang merasa iri. Mereka menyewa orang untuk mengancam sang kakek. Ancaman yang tak dihiraukan berubah menjadi tindakan. Tapi sang kakek adalah pendekar tangguh. Kelihaiannya bermain rencong sulit dicarikan lawan. Para tukang pukul yang dikirim tak ada yang bisa menundukkannya.

Setelah itu mulailah mereka menggunakan serangan-serangan 'halus'. Tak memiliki kemampuan seperti itu, kakek Farida pun akhirnya harus menyerah. Serangan demi serangan membuatnya hanya bisa terbaring di tempat tidur.

Sampai seorang perantau singgah rumah mereka. Pria yang bekerja di kebun kelapa sawit itu kebetulan sedang berkunjung ke rumah temannya. Dari sanalah pria bernama Warsa itu tahu kisah sang kakek dan sakit yang sedang dideritanya.

Warsa akhirnya bisa mengusir jin-jin yang selama ini mengganggu kakek Farida. Ia lalu dianggap sebagai saudara oleh keluarga Farida. Setiap cuti panjang, Warsa selalu menghabiskan waktunya di desa Farida.

Namun akhirnya kisah persahabatan itu harus hancur karena masalah cinta. Warsa dan paman Farida ternyata mencintai gadis yang sama. Karena si gadis lebih memilih Warsa, paman Farida menuduh Warsa menggunakan guna-guna. Paman Farida yang sudah dibutakan cinta lalu menantang Warsa untuk bertarung memperebutkan Aisyah.

Saat sang kakek mengetahui pertarungan itu, ia segera menuju ke sana. Namun kedatangannya sudah terlambat, tubuh Warsa telah tergeletak berlumuran darah di samping sang Paman yang telah menjadi mayat.

"Di saat sekarat itulah, Pak Warsa berwasiat pada kakek." Farida mengakhiri ceritanya.

"Wasiat apa, Mbak?" tanya Mak Ina.

"Kalau ada yang bermimpi didatangi oleh sepasang harimau putih, maka ia harus mengantarkan kotak miliknya pada orang yang muncul bersama dengan harimau itu."

"Mbak Farida yang bermimpi?" Giliran Moza yang bertanya.

"Iya, Mbak."

"Bagaimana bisa tahu kalau saya berada di sini?"

"Mbak sendiri yang mengatakan alamat rumah ini di mimpi saya."

Mak Ina menatap Moza. Tidak semua orang punya kemampuan untuk melakukan 'ngrogoh sukma'. Tapi saat melihat wajah Moza yang kebingungan, Mak Ina justru semakin bertanya-tanya.

Seusai isya, Hasnah, Ega, dan Farida pamit. Usaha Mak Ina mengajak Farida menginap gagal karena perempuan itu ingin segera kembali ke Aceh besok pagi. Setelah mereka pergi, Mak Ina dan Moza memutuskan untuk mengunjungi Darwis di rumah Timur.

Di lain tempat, Harto tersenyum sambil menatap baskom berisi air. Apa yang selama ini dicita-citakannya akan segera terwujud.

"Setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya mustika itu akan menjadi milikku," bisiknya.

Harto tidak menyadari jika dari belakang Nyi Weling mengawasi gerak-geriknya.

Di saat Mak Ina dan Moza menuju rumah Darwis, Mi'an justru sedang berlari di tengah gelapnya hutan. Empat ekor monyet tergantung di tubuhnya, dua di dada dan dua di punggung. Di belakangnya, puluhan monyet mengikuti langkah Mi'an. Apa yang membuat monyet-monyet itu berbeda adalah tubuh mereka jauh lebih besar serta membawa senjata.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang