Hari Penyerangan (3)

4.2K 323 5
                                    

Sementara itu, kondisi Mak Ina dan Darwis juga tak kalah sulitnya. Dengan hanya mengandalkan satu tangan, Mak Ina tentu saja kesulitan untuk menghadapi Harto yang tak hanya ahli di bidang ilmu kebatinan saja. Jurus dan ilmu beladirinya juga di atas rata-rata.

"Sudahlah, Mak. Menyerah saja. Toh gadis itu bukan siapa-siapamu." Harto berusaha membujuk Mak Ina.

Sabetan tali yang memendarkan cahaya merah seolah menjadi jawaban dari Mak Ina. Harto meloncat mundur, ia tahu kekuatan yang disalurkan pada tali itu bisa melukainya. Meski ilmu welut putih melapisi tubuhnya, Harto tak ingin menyia-nyiakan energinya untuk melawan tali Mak Ina.

"Aku sudah di sini, To. Apa perlu aku melibatkan diri dalam pertarungan?"" suara Bajul Sosro yang menggunakan ilmu pameling berbisik di telinga Harto.

"Tidak usah, Sro. Kau bergabung saja dengan Kalageni dan Kalalatu. Bantu mereka menjaga tanduk itu."

"Baiklah. Tempat ini seperti pasar malam, To. Monyet-monyet Alas Ngawi baru saja datang. Mereka dipimpin oleh rajanya sendiri dan bergabung dengan Wanara Gimbal."

"Mereka pasti sekutu Dalbo, Sro. Kalau terjadi apa-apa, jangan ragu untuk menghabisi mereka nanti."

"Baiklah. Sekarang aku akan bergabung dengan Kalageni dan Kalalatu."

Harto lalu kembali fokus pada pertarungannya dengan Mak Ina. Ujung tombak sengkolnya bergerak cepat seperti tetesan hujan mengepung tubuh lawannya. Laki-laki itu ingin secepatnya mengalahkan Mak Ina. Dengan demikian ia bisa menghemat energi untuk menghadapi pertempuran sebenarnya. Berperang melawan teman-temannya sendiri.

Tak jaub dari Mak Ina, Darwis harus berhadapan dengan banyak lawan. Selain Hendro, puluhan kelelawar pengisap darah juga ikut nenyerangnya. Beberapa luka akibat sabetan calok sudah menghiasi tubuhnya.

"Kau licik, Dro!"

"Ini bukan lomba, Wis. Dalam perang, urusannya adalah menang atau kalah, bukan benar atau salah. Lagipula, siapa yang menyuruhmu ikut campur dengan urusan ini?"

Darwis tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia sadar apa yang dikatakan Hendro benar. Sepanjang hidupnya memang belum pernah ditemuinya perang yang benar-benar berpijak pada 'benar dan salah'. Apalagi jika perang itu untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka akan berusaha keras untuk menang, karena benar atau salah akan ditulis oleh pemenang.

Beberapa ekor kelelawar tiba-tiba saja berjatuhan dari langit. Tubuh mereka tercabik-cabik. Hendro dan Darwis sontak melihat ke atas. Sebuah bayangan tampak berkelebat cepat ke segala arah di angkasa. Ke mana pun bayangan itu berada, kelelawar bangkai kelelawar berjatuhan.

"Maafkan aku terlambat datang, Kek. Aku harus menyelesaikan urusan orang-orang suruhan perusahaan yang sedang mencoba membakar hutan kita!" teriak bayangan itu.

"Tidak apa-apa, Musang Api. Aku sudah sangat berterimakasih kau mau datang!"

"Sekarang ayo kita lanjutkan pertarungan kita, Dro."

Hendro terkejut ketika ia tak bisa menggerakkan kakinya. Saat melihat sebilah kujang menancap di depan Darwis, mulutnya sibuk memaki. Rupanya Darwis memanfaatkan keterkejutannya atas kehadiran Musang Api untuk menggunakan ilmu Paku Bumi.

"Sekarang siapa yang curang?!"

"Siapa juga yang tadi berbicara soal menang atau kalah?"

"Kau pikir ilmu receh ini bisa mengalahkanku, Wis?"

Hendro memejamkan matanya. Tak lama kemudian kujang di depan Darwis bergetar keras, seolah ada tangan yang mencoba mencabutnya. Darwis sendiri merasakan dadanya menjadi sesak. Ketika kujang itu akhirnya tercabut, tubuh Darwis terpental beberapa meter.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang