Kerajaan Baluran

3.9K 299 9
                                    

Mbah Sirna lalu mendatangi Candrasa dan Condromowo. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.

"Dari tadi aku mencium bau kotoran kucing dan amis ular. Rupanya kalian yang mengeluarkan aroma itu."

"Sama. Aku juga mencium bau busuk bangkai. Karena itulah aku berniat untuk pergi sebelum muntah di sini." Condromowo membalas penghinaan Mbah Sirna.

"Kita apakan mereka, Tuan?" tanya Mahesa Waja.

"Tangkap saja. Barangkali ada gunanya untuk urusan yang akan kubicarakan dengan Handaka."

Candrasa tentu tak ingin menyerah begitu saja. Tapi saat tangannya menyentuh gagang pedang, sebuah tangan berjari kurus dan berkuku runcing memegang tengkuknya.

"Yakin kulitmu mampu menahan kuku Sosromolo, Candrasa?" tanya Mbah Sirna sambil tersenyum sinis.

Condromowo melihat pasukan Baluran sudah mengepung rapat tempat itu. Melakukan perlawanan jelas bukan pilihan, kecuali Mbah Sirna benar-benar ingin membunuh mereka.

"Apa maumu, Sirna?" tanya Condromowo.

"Menyerahlah. Serahkan senjata kalian."

"Turuti kemauan Sirna, Sa. Kita lihat saja apa yang ia inginkan nanti."

Candrasa menyerahkan kedua pedangnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Condromowo. Setelah itu Mahesa Waja mengikat tangan mereka dan membawanya ke istana. Kedatangan Mahesa Waja dan Mbah Sirna disambut oleh Macan Blorok dan Macan Kombang, kepala pasukan pengawal Istana Baluran.

"Siapa yang kau bawa, Mahesa?" tanya Blorok.

"Penyusup dari Lawu dan Laut Utara, Rok."

"Apa mereka ada hubungannya dengan Ratu dan Kanjeng Sunan?"

"Jelas tidak. Mana berani aku menangkapnya jika mereka adalah duta?"

"Ki Ageng ada, Rok? Tamu yang ditunggunya sudah datang."

"Tunggulah sebentar. Aku akan melapor ke dalam," ucap Macan Blorok sebelum masuk ke istana.

Tak lama kemudian Macan Blorok keluar bersama seorang wanita cantik yang berpakaian coklat kehitaman. Sebilah pedang yang tergantung di punggungnya menunjukkan jika wanita itu bukanlah seorang pelayan.

"Salam hormatku, Tumenggung Bubut. Tamu yang ditunggu Ki Ageng sudah datang. Bersamanya juga ada dua penyusup yang berhasil kami tanggkap."

"Aku sudah mendengarnya dari Macan Blorok. Mbah Sirna biar ikut bersamaku. Untuk ular dan kucing itu, penjarakan mereka di Jurang Gembung."

"Siap laksanakan, Tumenggung," jawab Mahesa Waja.

Mbah Sirna lalu mengikuti Tumenggung Bubut. Setelah melalui beberapa lorong yang dipenuhi oleh prajurit perempuan, sampailah mereka di ruangan Handaka. Raja banteng yang terkenal mata keranjang itu terlihat santai, ia berbaring dengan dikelilingi banyak dayang-dayang. Saat melihat kehadiran Mbah Sirna, Handaka perlahan bangkit dan duduk.

"Aku sudah mendengar apa yang terjadi di Laut Selatan, Sirna. Terus terang, ancaman Ajeng tidak begitu menakutkan buatku."

"Sekarang katakan mengapa aku harus menerima bantuanmu untuk menghadapi mereka?"

"Anggap saja kita mempunyai kepentingan yang sama, Ki Ageng. Lagipula bantuanku tidak akan merugikan Baluran sama sekali."

"Lalu siapa yang akan menjadi pemilik mustika itu nanti?"

"Aku akan memberikan patrem Nyai Durgakantil padamu Ki Ageng. Rasanya Sosromolo cukup berharga sebagai pengganti mustika itu."

"Aku akan pikirkan dulu usulmu itu, Sirna. Untuk sementara nikmatilah waktumu di istana ini. Tumenggung Bubut akan mengantarmu ke kamar."

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang