Usai duel

3.8K 293 10
                                    

Suasana arena menjadi senyap. Bahkan sampai Gundala Wereng terbang meninggalkan tempat itu, tak ada satu pun yang bergerak. Keriuhan baru terjadi setelah Candrasa meraung keras. Sontak suara itu membuat yang lain tersadar dan berlomba menuju arena pertarungan. Tapi selain menolong Moza, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Mi'an dan Gundala Wereng telah lenyap. Hujan air mata pun jatuh di Nusa Karang.

Ki Galih Segara meminta Maaf pada Nagawelang atas insiden yang terjadi. Karena Gundala Wereng telah melakukan pelanggaran berat, maka statusnya sebagai raja Pulau Ular Utara dan Buaya pun batal. Ia bahkan menjadi buronan di kalangannya sendiri. Untuk sementara, kekuasaan kedua pulau itu dipegang oleh Senopati Layaran. Anak buah Gundala Wereng yang tersisa menjadi tawanan sampai ada keputusan dari Istana Laut Utara.

Satu per satu rombongan meninggalkan Nusa Karang. Atas izin Ki Galih Segara, Ganggang Wilis memilih tetap tinggal di Nusa Karang untuk sementara waktu bersama rombongan Nagawelang. Mereka kini tak lagi tinggal di hutan Merak. Nyi Sembur yang merasa segan pada Ganggang Wilis mengizinkan Nagawelang dan rombongannya tinggal di istana.

Kesedihan jelas masih terbaca di wajah Mak Ina, Moza, Iis, Timur dan yang lain. Tapi tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain hanya mendoakan Mi'an. Pada kesempatan itu, Kilic, Nduk, Jathayu, Musang Api dan Ribka mengungkapkan keinginan mereka untuk pamit.

"Aku harus kembali untuk menggantikan posisi Guru Pius," ucap Ribka.

"Aku dan Nduk juga akan pulang. Hutan peninggalan Darwis adalah amanah yang harus kujaga. Setelah pensiun nanti, kembalilah ke sana, Mur. Kau adalah pewaris dari hutan itu." Musang Api berbicara kepada Timur.

"Akan kuusahakan, Kek," jawab Timur.

Dua hari kemudian, rombongan Nagawelang meninggalkan Nusa Karang. Mak Ina, Moza, Iis, Timur, Alit, Johan, Candrasa, dan Condromowo memutuskan untuk kembali ke lembah Mayangkara. Ajeng juga ikut bersama mereka. Kondisi Baluran yang belum jelas, membuat ia harus menunda kepulangannya. Taligeni ikut bersama rombongan Nagawelang untuk menghadap ke Istana Laut Utara.

Mayangkara menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Saat mendengar apa yang terjadi pada Mi'an, wajahnya berubah.

"Semoga saja pengorbanan Mi'an tidak sia-sia," ucapnya pada Moza dan yang lain.

Hari demi hari dilalui Moza dan Ajeng dengan melatih diri. Kesibukan itu membantu mereka untuk terlepas dari kesedihan atas lenyapnya Mi'an. Mak Ina,Timur, Iis, Alit, dan Johan telah kembali ke Malang. Candrasa dan Condromowo memilih untuk melakukan penyelidikan di Baluran.

Apa yang terjadi di Nusa Karang membuat Mbah Sirna bersukacita. Sama seperti Moza, ia yakin Mi'an pasti sudah tewas di perut Gundala Wereng. Harapannya untuk mendapatkan mustika Wijaya Kusuma kembali berkobar. Apalagi saat ini Mbah Sirna telah berhasil mendapatkan dua puluh jenglot Sosromolo.

Malam ini Mbah Sirna sengaja menunggu pulangnya dokter Asti yang dijemput Johan. Di antara anggota kelompok Mi'an, Mbah Sirna menganggap Johan lah orang terlemah di kelompok itu. Tujuan Mbah Sirna adalah mencai tahu tempat persembunyian Moza. Setelah lama menunggu dan Johan tidak juga keluar, Mbah Sirna memutuskan untuk memasuki tempat praktek dokter Asti.

"Orang pacaran kok ditunggu, goblok benar aku ini," gerutunya.

Kemunculan Mbah Sirna yang begitu tiba-tiba membuat Johan tak bisa berbuat banyak saat tangan kakek sesat itu mencengkeram tangan Asti.

"Jangan macam-macam, Han. Aku tahu kau punya sedikit ilmu. Tapi ilmumu itu jelas bukan tandinganku. Katakan saja di mana Moza berada atau akan kupatahkan leher kekasihku ini."

"Meski kuberitahu juga percuma, kau tak akan bisa menembus penghalang tempat itu," ujar Johan.

"Karena itu tak masalah jika kau mengatakannya, kan?"

Melihat tangan Mbah Sirna semakin kuat menekan leher Asti, Johan tak punya pilihan lain. Ia pun menceritakan lokasi lembah Mayangkara pada Mbah Sirna. Setelah berhasil mendapatkan keterangan, Mbah Sirna pun menghilang dari tempat itu. Johan langsung menghubungi Timur untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi.

Saat tiba di gunung Lawu, Mbah Sirna baru tahu apa yang diceritakan Johan ternyata benar. Ia tak bisa memasuki lembah Mayangkara. Untuk menyampaikan pesan, Mbah Sirna melakukan cara kejam. Diitangkapnya banyak monyet, lalu disiksanya. Dari keterangan Johan, Mbah Sirna tahu monyet-monyet itu akan datang ke lembah Mayangkara untuk meminta pengobatan.

Mayangkara, Moza, dan Ajeng tahu jika monyet-monyet itu dilukai oleh Mbah Sirna. Timur, Iis, dan Alit yang diharapkan untuk membantu ternyata terhalang oleh tugas. Mereka diperbantukan untuk mencari koruptor yang sengaja disembunyikan oleh kroninya.

"Aku akan keluar, Ayah. Aku tidak tega melihat para sahabatku ini disiksa oleh Mbah Sirna."

"Ilmumu masih belum bisa melawan pasukan mayat hidup milik Mbah Sirna, Za," ucap Mayangkara.

"Bagaimana dengan panah apiku, Tuan?" tanya Ajeng.

"Entahlah. Aku sendiri belum pernah berhadapan dengan Sosromolo. Tapi dari yang kudengar, ilmu kebal mereka luar biasa."

Moza akhirnya menuruti anjuran Mayangkara untuk menunggu kehadiran Timur, Iis, dan Alit sebelum keluar dari lembah. Demi keamanan, Mayangkara meminta seluruh Monyet untuk tinggal di lembah.

Tanpa sepengetahuan mereka, diam-diam Mbah Sirna telah meninggakan lereng Lawu. Berbekal informasi tentang Dewi Merak Putih yang ternyata ada bersama Moza, Mbah Sirna memutuskan untuk pergi ke Baluran.

Candrasa dan Condromowo yang telah beberapa lama berada di daerah kekuasaan Handaka untuk menyelidiki kekuaatannya juga berusaha mencari tahu keberadaan keluarga Ajeng. Namun gerak-gerik mereka ternyata memancing kecurigaan Mahesa Waja, salah satu prajurit utama di Kerajaan Handaka. Ia dan empat orang anak buahnya lalu mendatangi Candrasa dan Condromowo.

"Apa keperluan kalian datang ke. Baluran?" tanya Mahesa Waja.

"Hanya berjalan-jalan saja, Tuan. Kawanku ini dari laut, ia ingin melihat suasana yang berbeda," jawab Condromowo.

"Mengapa kalian bertanya-tanya tentang keluarga merak?" Mahesa Waja menatap tajam Condromowo.

"Dulu aku memiliki teman di keluarga itu, Tuan."

"Lupakan saja. Keluarga itu ada di penjara karena melakukan pengkhianatan."

"Benarkah? Aku tidak menyangka," ucap Condromowo.

"Jangan melakukan hal yang aneh-aneh lagi, atau aku.akan menangkap kalian."

"Baik, Tuan. Maafkan kami."

Mahesa Waja lalu meninggalkan Candrasa dan Condromowo. Handaka mengatakan jika akan ada tamu penting yang akan berkunjung. Ia pun segera menuju ke istana. Condromowo dan Candrasa sendiri melanjutkan pencarian mereka. Tentu saja dengan cara yang lebih berhati-hati dan menarik perhatian.

Informasi itu akhirnya berhasil mereka dapatkan. Keluarga Ajeng dipenjara di sebuah jurang yang dalam. Penjagaan di jurang itu sangatlah ketat. Siapapun yang tanpa izin berani memasuki tempat itu pasti terbunuh oleh para prajurit sedang bertugas. Saat mereka akan kembali untuk melaporkan hasil kunjungan pada Mayangkar itulah, keduanya melihat Mbah Sirna.

"Dukun keparat itu kenapa ada di sini, Ndra?"

"Entahlah, Sa. Tapi aku mencium bau mayat. Ilmu apalagi yang telah dipelajari oleh Sirna. Sebaiknya kita segera pergi, Sa."

"Ayo, Ndra. Sebelum dia mengetahui keberadaan kita."

Namun saat akan meninggalkan tempat itu, pasukan Mahesa Waja telah mengepung mereka.

"Sudah kuduga kalian bukan cuma kebetulan berada di Baluran, Tuan Candrasa dan Condromowo," ejek Mahesa Waja.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang