Perjalanan keluar dari lembah Mayangkara ternyata tidak semudah saat mereka datang. Setelah menyusuri tebing-tebing curam, akhirnya mereka bisa keluar ketika matahari sudah di atas kepala. Situasi yang masih belum jelas membuat Taligeni melarang mereka menggunakan ilmu Lipat Bumi.
"Sembunyikan energi kalian agar tidak terdeteksi. Kita tak tahu siapa dan berapa lawan kita saat ini."
"Iya, Kek."
Moza dan Iis kemudian menaiki kendaraan umum untuk kembali ke Malang. Hari sudah malam saat keduanya memasuki rumah Mak Ina. Lama tak terawat, kondisi rumah itu ternyata masih tetap bersih. Setelah bertanya pada tetangga kiri dan kanan, ternyata Ega dan pembantunyalah yang datang ke sana untuk membersihkan rumah itu. Seekor kelelawar yang menggantung di pohon asam mengawasi seluruh gerak gerik mereka.
Taligeni yang dari tadi melingkar di tangan Moza tiba-tiba saja melepaskan diri. Tubuhnya lalu meluncur cepat menuju pohon asam. Tak lama kemudian sebuah benda terjatuh di bawah pohon itu. Sebelum benda itu menghilang, Moza dan Iis bisa melihat seekor kelelawar menggelepar dengan sebilah keris menancap di tubuhnya.
"Kehadiran kita sudah diketahui. Kelelawar itu adalah utusan dari lawan," ucap Taligeni setelah kembali ke tangan Moza.
"Lalu bagaimana sekarang, Kek?" tanya Moza.
"Is, bukankah kau lebih baik melapor dulu pada Kapten Daniel? Siapa tahu dia mempunyai informasi."
"Kakek benar. Kapten Daniel pasti sangat khawatir karena aku menghilang. Ayo kita ke sana dulu, Za. Baru setelah itu kita ke rumah Ega."
"Aku ikut saja, Is. Pokoknya yang penting kita bisa menemukan Mak Ina dan yang lainnya."
Malam itu Kapten Daniel seperti bermimpi ketika melihat kehadiran Iis di depan pintu rumahnya. Berulangkali ia mengucap syukur, Ribka yang masih ada di sana juga tak kalah senangnya melihat kehadiran Moza dan Iis. Nduk sendiri sudah melesat pergi begitu melihat kemunculan dua gadis itu di halaman rumah Daniel.
"Kupikir kau sudah mati, Is. Mi'an sendiri yang datang ke sini mengabarkan itu."
"Alhamdulillah, Tuhan masih bermurah hati, Pak."
Daniel dan Ribka lalu menceritakan apa yang terjadi sesudah pertempuran terjadi. Berita kematian Mbah Lawu dan Darwis membuat Moza dan Iis kembali menangis. Kedua orang itu sudah mereka anggap sebagai kakeknya sendiri. Saat Ribka mengatakan Hendro tewas, wajah Taligeni yang mewujudkan diri sebagai seorang kakek beruban terlihat kaget dan tak percaya.
"Hendro tewas? Tidak mungkin. Sebelum ke tempat ini, aku membunuh salah satu kelelawarnya," sanggahnya.
Ribka menatap Taligeni. Samar-samar ia terbayang pada tubuh Dalbo yang ditelan Gundala Wereng. Tapi saat ular itu ingin menelan Hendro, mayatnya sudah menghilang bersama dengan kaburnya monyet-monyet Wanara Gimbal dan Buto Wanara.
"Mayatnya memang menghilang, apa mungkin ia juga selamat?"
"Hendro juga bukan orang sembarangan, Rib. Dia bersekutu dengan makhluk pengisap darah yang mampu menyembuhkan diri dengan cepat." Taligeni menjelaskan siapa Keblek.
"Soal Mi'an, aku tidak tahu dia sedang berada di mana. Tapi jangan khawatir, Nduk pasti sudah menuju ke sana. Sebentar lagi dia pasti tahu. Kalian menunggu di sini saja sampai Mi'an datang," saran Kapten Daniel. Setelah berunding dengan Moza dan Taligeni, Iis menyetujui usul Kapten Daniel.
Setelah menemukan posisi penginapan Mi'an. Nduk segera meluncur turun. Jathayu, Musang Api, dan Condromowo yang sedang menunggu Mi'an tentu saja bersiaga saat merasa ada energi yang mendekat. Kewaspadaan mereka menghilang ketika tahu siapa yang datang.
"Di mana, Mi'an?! Di mana dia?!" tanya Nduk dengan napas tersengal-sengal.
"Sabar, Nduk, sabar. Malang ke Jakarta itu jauh. Memangnya ada apa? Mi'an dan Candrasa sedang mencari makanan," jawab Jathayu.
"Mereka selamat. Moza, Iis, dan Talipicis sekarang ada di rumah Kapten Daniel."
Condromowo langsung mengucap syukur. Dadanya kini terasa begitu lega. Ketika ia akan meloncat keluar untuk mencari Mi'an, pintu kamar penginapan terbuka. Mi'an dan Candrasa sudah kembali ke kamar. Bungkusan nasi yang dibawanya terjatuh saat mendengar kabar dari Nduk.
"Kita harus kembali ke Malang secepatnya. Gundala Wereng pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini," ucap Mi'an setelah bisa menenangkan diri.
"Biar aku yang urus. Kalian tunggu sebentar."
Jathayu memejamkan mata. Kemudian dia membuat lingkaran dengan ujung cakarnya. Pelan-pelan di dalam lingkaran itu terlihatlah rumah Daniel.
"Kalian cepat masuk dalam lingkaran, aku akan menyusul belakangan," perintahnya pada Mi'an dan yang lain.
Candrasa, Musang Api, Condromowo, dan Nduk segera melangkah memasuki lingkaran. Mi'an sendiri masih sibuk menghitung uang yang diambilnya dari tas.
"Kau sedang apa, An?! Ayo cepat masuk! Ilmu ini membutuhkan energi yang tidak sedikit! Uangmu tidak akan hilang. Kalau sampai hilang, nanti aku ganti." perintah Jathayu yang jengkel dengan kelakuan Mi'an.
"Bukan soal itu, Yu. Aku sedang menghitung biaya penginapan. Soalnya utang di dunia nanti akan ditagih di akhirat," jawab Mi'an sambil meletakkan uang di meja sebelum melangkah masuk dalam lingkaran.
Setelah Mi'an, Jathayu sendiri yang memasuki lingkaran itu. Tak lama kemudian mereka semua telah sampai di halaman rumah Daniel. Tanpa menunggu yang lain, Mi'an segera berjalan menuju rumah. Suara tangisan Moza terdengar saat pintu rumah itu terbuka.
Kali ini giliran Moza dan Iis yang menceritakan pengalaman mereka. Sebagai sama-sama manusia yang terkena kutukan, Condromowo tentu sangat tertarik dengan Mayangkara.
"Setelah urusan ini selesai, aku pasti akan mengunjungi Mayangkara," batinnya.
Rencana pun lalu disusun. Akhirnya disepakati jika mereka akan kembali ke lereng Lawu. Di sanalah mereka akan menunggu kedatangan Harto dan Sirna. Hari itu Condromowo juga mengembalikan mustika yang selama ini dibawanya, tapi Moza menolaknya.
"Kembalikan setelah pertarungan selesai, Ndra. Kita tidak tahu bagaimana akhirnya nanti. Untuk saat ini, mustika itu lebih aman berada terpisah dariku."
Hari itu juga mereka berangkat ke lereng Lawu. Tempat di mana pertempuran pertama terjadi.
Di apartemennya, Harto mulai mengemasi barang-barang. Kalabrama hanya melihat saja apa yang sedang dilakukan tuannya itu.
"Kau masih butuh aku tidak?" tanyanya pada Harto.
"Kau ini bicara apa? Tentu saja aku perlu kamu dan dua saudaramu itu."
"Bukankah sudah ada jin-jin dari Nusa Karang?"
"Jadi itu masalahnya? Dengar baik-baik, Kalabrama. Aku menyewa mereka itu sebagai tambahan pasukan. Kau tahu sendiri kekuatan Gundala Wereng. Belum lagi jika Sirna punya jin-jin lain yang belum dikeluarkan. Kau ingin mati konyol, Kalabrama?"
"Sudahlah, ayo kita segera berangkat ke lereng Lawu. Gadis keparat dan temannya itu ternyata masih hidup."
Mak Ina yang sedang terbaring di kamar itu tentu saja mendengar pembicaraan mereka. Perasaannya sangat bahagia ketika mendengar Moza dan Iis selamat. Doa-doanya selama ini terjawab sudah.
Sementara itu di tempat Mbah Sirna, Gundala Wereng juga sedang berbahagia. Kabar muncul Moza membuat mimpinya untuk membuka segel kekuatan akhirnya tak lagi menjadi mimpi kosong.
"Setelah aku memakan mereka, kalian akan menjadi korbanku berikutnya. Bersiaplah," ancam Gundala Wereng pada tiga orang yang terikat di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...