Saat Mi'an sedang melatih diri di lembah Mayangkara, Mbah Sirna juga sedang bertapa di petilasan Nyai Durgakantil. Satu-satunya orang yang tersisa dari kelompok orang bertudung itu sedang mencoba meraih puncak ilmu Batara Karang yang selama ini tidak serius dipelajarinya. Di samping itu ia juga berharap bisa mendapatkan lagi jenglot-jenglotbaru sebagai pengganti dua jenglot yang telah terbunuh.
Seperti namanya yang berarti seribu bencana, pada awalnya Sosromolo berjumlah seribu orang. Mereka adalah orang-orang yang telah bersumpah setia pada Nyai Durgakantil, jin penguasa hutan itu. Perbuatan mereka serupa dengan makhluk-makhluk dari Nusa Karang. Siapapun bisa memakai jasa pasukan Nyai Durgakantil asalkan bersedia membayar mahar yang telah ditentukan. Bedanya adalah, Nyai Durgakantil juga berambisi menjadi penguasa. Seringkali ia bergerak sendiri menyerang sebuah daerah untuk melebarkan wilayah kekuasaannya.
Sampai akhirnya ia menjadi terlalu sombong. Salah satu keluarga kerajaan yang sedang berburu di hutan itu terbunuh setelah diserang oleh orang-orangnya. Mereka menganggap bangsawan ity telah melanggar wilayah kekuasaan Nyai Durgakantil. Perbuatan itu jelas membuat pihak kerajaan marah. Sang Raja lalu mengirim pasukan untuk menumpas kelompok Sosromolo. Orang yang ditugaskan untuk memimpin penyerangan itu adalah Tumenggung Jaladri.
Pertempuran berlangsung lama. Prajurit-prajurit kerajaan yang biasanya berperang dalam bentuk gelar tentu saja kebingungan ketika harus berhadapan dengan kelompok Sosromolo yang menyerang tanpa aturan. Berbagai macam gelar seperti supit urang, garuda nglayang, wulan tumanggal, jurang grawah, dirada meta, cakra byuha, bahkan sampai samudra rob tidak ada artinya sama sekali di depan kelompok Sosromolo. Di samping karena kekuatan ilmunya, Sosromolo juga didukung oleh Nyai Durgakantil dan makhluk-makhluk ghaib menjadi anak buahnya.
Tumenggung Jaladri tentu tidak saja tinggal diam. Ia lalu menggunakan strategi lain untuk menghadapi Nyai Durgakantil. Atas izin Raja, Tumenggung Jaladri mulai mengumpulkan para pendekar dan tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan untuk melawan makhluk ghaib. Setelah jumlah mereka dirasa cukup, Tumenggung Jaladri menyerang kembali Sosromolo.
Kali ini kelompok Sosromolo dan Nyai Durgakantil mendapat lawan yang sepadan. Sebagian besar pasukan yang dikumpulkan oleh Tumenggung Jaladri adalah orang-orang yang pernah dilukai oleh Sosromolo. Sendirian, orang-orang itu jelas tidak berani melawan Sosromolo. Tapi saat bersatu, tak ada lagi yang namanya ketakutan. Gairah untuk membalas dendam membuat daya serang mereka meningkat tajam.
Satu per satu anggota Sosromolo berhasil tertangkap. Ilmu Batara Karang membuat mereka sulit dibunuh. Tumenggung Jaladri yang tidak ingin direpotkan oleh mereka lagi, memutuskan untuk mengubur orang-orang itu hidup-hidup. Ia memasukkan mereka ke sebuah gua dan meledakkannya. Berbagai macam penghalang juga dipasang agar tidak ada yang bisa menolong mereka. Nyai Durgakantil yang disegel dalam patremnya sendiri ikut dikubur bersama mereka.
Seiiring berjalannya waktu, cerita tentang Sosromolo hanya menjadi sebuah dongeng yang diceritakan dari mulut ke mulut. Zaman yang telah berubah juga ikut menyentuh hutan tempat Sosromolo dikubur massal. Alat-alat berat yang dikendalikan oleh keserakahan seolah berlomba lari dan menari di hutan yang selama ini dijauhi oleh warga yang tinggal di sekitarnya. Hal itu bukan tanpa alasan, penghalang yang dipasang Tumenggung Jaladri seringkali membuat warga yang memasuki wilayah hutan itu tersesat.
Para pekerja yang ditugaskan untuk membabat hutan akhirnya mengalami juga hal tersebut. Gergaji mesin dan alat berat mereka sering mati sendiri atau tidak bisa bergerak. Beberapa orang juga disesatkan sehingga tak tahu lagi di mana timur, utara, barat, atau, selatan dan masih banyak lagi gangguan 'non teknis' lainnya. Proyek pun menjadi terhambat pelaksanaannya.
Pemilik perusahaan tambang yang tak mau rugi akhirnya menghubungi Mbah Klawu, dukun terkenal yang menjadi langganan para kontraktor untuk urusan 'non teknis'. Setelah harga disepakati, mulailah Mbah Klawu bersama jin-jin peliharaannya membersihkan penghalang di hutan Sosromolo. Proyek pun akhirnya bisa kembali berjalan. Alat-alat berat yang selama ini tersendat bekerja seperti gila. Mereka mengeruk dan menyedot semua sumber daya yang ada di atas dan di dalam tanah hingga nanti tiada tersisa lagi.
Dalam proyek inilah patrem dan jenglot-jenglot itu ditemukan. Mbah Klawu yang berhasil membebaskan Nyai Durgakantil berhasil memaksa ratu jin itu untuk membuat perjanjian. Siapapun yang memegang patrem itu berhak memerintahkan para jenglot yang berasal dari tubuh kelompok Sosromolo. Kehadiran para jenglot itu membuat kesombongan Mbah Klawu semakin menjadi. Dalam perjalanan, kesombongan itu akhirnya bertemu dengan kesombongan yang lain. Ia berselisih paham dengan Mbah Sirna.
Gesekan itu terjadi karena klien Mbah Klawu dan Mbah Sirna bersaing dalam tender proyek yang sama. Dari saling intip penawaran harga, berlanjut ke saling curi, sampai akhirnya berujung pada perang terbuka antara Mbah Klawu dan Mbah Sirna. Dua orang yang merasa sebagai orang paling sakti itu akhirnya saling beradu ilmu. Mbah Sirna yang merasa kewalahan menghadapi Sosromolo memilih menggunakan cara licik.
Dibuatnya Mbah Klawu tergila-gila pada seorang pemuda suruhannya. Saking mabuknya, Mbah Klawu bahkan rela menceritakan rahasia dari Sosromolo, termasuk tentang patrem Nyai Durgakantil pada pemuda suruhan Sirna. Tanpa menunggu lama, Mbah Sirna segera mencuri patrem yang menjadi kunci pengendali Sosromolo. Saat itu hanya ada empat jenglot yang ada di ruang penyimpanan Mbah Klawu. Pada akhirnya, nasib Mbah Klawu dan pemuda itu sendiri bernasib tragis. Sirna dengan tega memerintahkan Sosromolo untuk membunuh keduanya agar rahasia patrem Nyai Durgakantil tetap menjadi rahasia.
Setelah itu hadirlah Gundala Wereng dalam kehidupan Mbah Sirna. Patrem dan keempat jenglot itu pun perlahan tersisih dan terlupakan. Keberadaan mereka baru terpikirkan setelah perang di lereng Lawu terjadi. Apalagi setelah Gundala Wereng nyata-nyata mengkhawatirkan. Tak ada pilihan lain bagi Sirna kecuali mencari jenglot-jenglot yang disembunyikan oleh Mbah Klawu untuk dijadikan pengganti Gundala Wereng. Karena itulah ia mendatangi hutan Sosromolo.
Sudah tujuh hari tujuh malam Mbah Sirna melakukan patigeni di guaa yang gelap dan pengap itu. Namun Nyai Durgakantil masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.
"Apa mungkin dia sudah mati?" batin Mbah Sirna.
Kemudian terciumlah bau bunga bersama kehadiran seorang wanita cantik yang dikawal delapan pengawal.
"Setelah belasan tahun tak berhubungan, ada perlu apa kau mencariku, Sirna? Jangan bilang karena rindu. Aku sudah tidak tertarik lagi melihat wujudmu."
"Jangan sombong, Nyai. Aku juga tidak sedang mabuk hingga harus merindukan jin sepertimu."
"Cepat katakan apa maumu. Kau ini sedang mengganggu bulan maduku."
"Di mana Mbah Klawu menyembunyikan anggota Sosromolo yang lain?"
"Apa kau sanggup mengendalikan mereka, Sirna?"
"Itu urusanku, Nyai. Kau tidak perlu khawatir."
"Kau tetap saja sombong, Sirna. Tapi baiklah, akan kuberitahu di mana kelimapuluh jenglot yang tersisa itu berada."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...