Hari penyerangan sudah ditentukan. Harto dan kawan-kawannya mempersiapkan dirinya masing-masing. Mereka tahu orang-orang yang bersembunyi di lereng Lawu tidak bisa diremehkah begitu saja. Tanpa persiapan yang matang, rencana mereka bisa berujung kegagalan yang memalukan.
Di kamar rahasianya, Harto mengeluarkan sebuah tombak pendek. Sama seperti 'Calok Lancur ' milik Hendro, gagang tombak itu juga dihiasi batu-batu sarira dari para korbannya. Disamping itu, berbagai macam bulu, tulang, potongan kayu, dan rambut terlihat bergantungan di bawah selutnya. Semua benda itu adalah jimat yang diperolehnya dalam pengembaraan.
Kamar itu dipenuhi oleh pusaka. Ada yang diperoleh dengan melakukan ritual di tempat tempat wingit. Ada juga yang datang sendiri atau rampasan. Sebagian lagi dibelinya lewat perantara seperti Bandi dan kawan-kawannya. Namun di antara semua pusaka itu, keris yang telah dimodifikasi menjadi tombak pendek itu adalah pusaka andalannya.
Harto masih mengingat bagaimana laku yang harus dijalaninya untuk mendapatkan pusaka itu di lereng Pegunungan Kendeng. Empat puluh hari, empat puluh malam ia harus bersila di sebuah petilasan tersembunyi yang keberadaannya dilindungi oleh penghalang. Tak terhitung berapa banyak jin yang mencoba mengganggu usahanya itu. Mulai yang berwujud raksasa, binatang, sampai wanita cantik satu per satu datang dan berusaha membuat tapanya batal.
Setelah mengangkat dan menempelkan tombak itu ke dahi, Harto pelan-pelan menarik warangka tombak. Cahaya lampu yang menimpa wilahan membuatnya berkelap-kelip. Tombak berlekuk satu yang biasa disebut 'Sengkol' itu berukuran pendek. Panjangnya kurang lebih hanya duapuluh sentimeter. Sebuah lubang tampak di tengah bilah logam pipih berwarna hitam itu. Pamengkang Jagad, seperti itulah orang menyebutnya.
Tak ada pamor di tombak kelengan. Seperti semua senjata yang dibuat di era perang, tujuan senjata itu memang untuk membunuh. Itulah yang membedakannya dengan senjata-senjata di era damai. Fungsi keris-keris itu seringkali hanya sebagai alat untuk menunjukkan perbedaan kelas sosial. Banyak pamor hanya menjadi ajang pamer derajat, kekuasaan, dan kekayaan pemiliknya. Bagi Harto, memiliki senjata-senjata berwujud indah, tapi tak berguna di medan laga adalah sebuah kesia-sian.
Ingatan Harto melayang pada diskusinya dengan Mbah Widji. Saat itu usianya masih muda. Mbah Widji sendiri adalah salah seorang kolektor benda pusaka tempatnya belajar.
"Kamu tidak bisa berpikir seperti itu, To. Itu egois namanya."
"Tapi senjata kan memang untuk membunuh, Mbah?"
"Zaman, kondisi sosial, dan faktor ekonomi juga berpengaruh besar pada fungsi sebuah benda, To."
"Kalau kamu prajurit, sudah wajar jika yang menjadi tujuannmu adalah mencari senjata yang mematikan. Apalagi jika peperangan banyak terjadi. Lha kalau kamu pedagang, petani, atau nelayan, untuk apa senjata pembunuh?"
"Tapi keris kan senjata, Mbah?"
"Mbok ya logikamu itu dipakai, To. Dalam peperangan, apa artinya sebilah keris jika harus melawan pedang suduk, lar bango, atau tombak? Jangankan melawan senjata-senjataitu, orang bersenjata keris berhadapan dengan orang bersenjata alu pemukul lesung saja mungkin akan kalah."
"Niat dan tujuan menentukan sudut pandang serta lakumu, To."
"Maksudnya, Mbah?"
"Kalau kamu pemabuk, kecil kemungkinan kamu akan membeli jamu. Niat, pikiran, langkah dan uangmu akan selalu menuju warung-warung penjual tuak atau arak."
"Hal itu berlaku pada semuanya. Termasuk juga pusaka. Pilihan pusaka tiap orang bergantung dengan tujuan orang tersebut memilikinya. Aku sendiri memandang koleksiku sebagai sebuah seni, karena itulah yang kucari pusaka-pusaka yang indah."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...