Penyerangan Kedua (4)

4K 318 4
                                    

Meski tertawa, hati Harto sebenarnya juga gelisah. Sama seperti Mbah Sirna, bagi Harto, Kalabrama adalah satu-satunya teman yang selama ini ia percaya. Hubungan mereka tak lagi sebagai majikan dan pegawai, tapi lebih dari itu. Kematian Kalabrama membuatnya berduka. Merasa tak ada gunanya lagi berada di tempat itu, Harto memilih pergi.

"Semoga rencana cadanganku berjalan lancar," batinnya, sebelum memanggil kembali Kalalatu dan Kalageni.

Musang Api dan Jathayu terkejut saat kedua lawan mereka tiba-tiba meloncat mundur dan menghilang. Namun pertempuran mereka belum berakhir. Jenglot Mbah Sirna masih berdiri tegak tak jauh dari tempat mereka berdiri. Musang Api dan Jathayu menatap luka-lukanya masing-masing. Mereka sadar jika melawan jenglot itu adalah sebuah misi bunuh diri.

"Mungkin kita akan mati hari ini, Yu," bisik Musang Api.

"Tak masalah, setidaknya aku mati untuk membela mereka yang kupanggil teman," jawab Jathayu.

"Kalian beristirahatlah sejenak, biar aku yang meladeni jenglot itu." Mi'an datang dan langsung berdiri di hadapan jenglot.

Gundala Wereng melihat apa yang sedang terjadi. Sebenarnya ia ingin langsung menyerang Moza dan memaksanya membuka segel. Tapi ternyata jenglot yang ditelannya melakukan perlawanan. Karena itulah dia masih belum bisa bergerak.

Mbah Sirna sendiri kebingungan. Gundala Wereng telah terang-terangan mengancamnya. Mengorbankan dua jenglot yang tersisa tentu bukan pilihan yang menguntungkan. Saat melihat Harto pergi, ia memutuskan untuk mengikuti jejaknya. Tapi baru saja ia akan memanggil kembali jenglot yang sedang berhadapan dengan Mi'an. Ranting di belakang tubuhnya berbunyi.

"Di mana kau sembunyikan mereka, Sirna?!“ Terdengar suara perempuan bertanya.

Mbah Sirna mengenali suara itu. Ia tahu Mak Ina lah yang sedang berada di belakangnya.

"Mereka ada di tempatku, Mak. Kebetulan kau datang. Aku akan segera membawamu juga untuk berkumpul dengan mereka," ucapnya sambil berbalik.

Ketika Mbah Sirna akan menyerang Mak Ina, Gundala Wereng tiba-tiba saja menghadang langkahnya.

"Perempuan ini bagianku, Sirna. Jangan coba-coba menyentuhnya."

"Kau ini benar-benar tak tahu diri, Wereng!“

“Lalu kau mau apa?! Masih beruntung aku tidak menelanmu sekarang. Dua jenglotmu itu tak ada artinya buatku."

"Kau itu bodoh, Na. Harto saja tahu kapan waktunya harus berhenti."

"Pergilah dari tempat ini ini, Na. Sebelum aku berubah pikiran," ancam Gundala Wereng saat menghilang dengan membawa Mak Ina.

Harto yang sudah merasa aman dengan cepat berusaha meninggalkan lereng Lawu. Meski rencananya untuk membunuh Gundala Wereng gagal, tapi itu sudah tidak terlalu dipikirkannya lagi. Dalbo, Felik, dan Hendro sudah tewas. Sirna juga telah kehilangan sekutu terkuatnya dan bisa jadi akan terbunuh juga nanti. Itu artinya, hari ini dialah satu-satunya orang yang tersisa dari kelompok orang bertudung. Para pelanggan Dalbo, Felix, Hendro, dan Sirna pasti akan menjadi miliknya.

Harto memang sengaja melepaskan Mak Ina. Perempuan itu disembunyikannya tak jauh dari tempat ia mengawasi pertarungan. Ia ingin mencuci tangan dari urusan lereng Lawu. Jika Mak Ina nantinya bertemu dan terbunuh oleh Sirna, maka Mi'an tentu tidak bisa menyalahkan dirinya. Sekali lempar, dua burung terjatuh dari langit.

Langkah Harto terhenti ketika ia bertemu dengan Alit, Johan, dan Timur. Ketiga orang itu rupanya juga tidak menyangka jika akan bertemu dengan salah satu lawan mereka di tempat itu. Senjata ketiganya langsung terhunus. Kalageni dan Kalalatu melangkah maju untuk melindungi majikan mereka.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang