Perjalanan menuju rumah Candrasa Seta tidaklah mudah. Gua yang menjadi istana raja ular terletak di pulau terpencil yang ada di Laut Utara. Kabar Mustika Wijaya Kusumah yang dipercaya bisa membuat pemiliknya abadi telah menyebar luas. Nama Mi'an juga ikut dikenal. Orang-orang yang menginginkan mustika itu menyebut Mi'an sebagai pengawal Moza. Hal itu membuat Mi'an harus semakin berhati-hati.
Sepanjang perjalanan itulah Mi'an dan Candrasa menjadi semakin dekat. Candrasa memahami apa yang menjadi beban Mi'an dan alasan utamanya untuk menemui raja ular. Ular putih itu tahu Mi'an mencintai Moza. Namun beban sebagai pewaris membuat Mi'an berusaha keras menahan perasaan itu. Jalan yang dipilih Mi'an tak jauh beda dengan kakeknya. Mbah Lawu sengaja tidak menikah agar tidak ada lagi orang yang akan mewarisi Nagasari.
Hari ini mereka telah sampai di Tuban. Mbah Lawu sudah mengingatkan agar tidak bersentuhan atau membuat masalah dengan Kerajaan Dewi Lanjar yang menguasai sebagian besar Laut Utara dan memiliki istana di Pantai Slamaran. Karena itulah Mi'an sengaja memilih pantai yang terpencil dan jarang didatangi orang di Tuban sebagai titik keberangkatannya.
"Ada yang mendatangi kita, An. Bukan orang sembarangan. Energinya begitu kuat."
"Aku tahu, Sa. Tapi sepertinya bukan energi jahat."
"Kita lihat saja nanti, An."
Kehadiran Condromowo yang tiba-tiba muncul di dekat api unggun tentu saja mengejutkan Mi'an. Kucing itu langsung bergelung di pangkuannya.
"Ada apa, Ndra? Apa ada kabar dari Mak Ina?" tanya Mi'an khawatir.
"Condromowo sudah mengikuti kita sejak awal, An. Aku sengaja tidak memberitahumu. Ia muncul karena merasakan energi yang sama dengan kita."
Tak lama kemudian orang yang mereka bicarakan muncul. Seorang laki-laki tua dengan pakaian compamg-campinglangsung duduk di depan Mi'an.
"Berikan kantong macan itu," ucapnya sambil menatap Mi'an.
Mi'an tahu yang sedang duduk di depannya adalah lawan. Ia langsung berdiri dengan kaki terbuka. Tangannya refleks memegang hulu pedang di perutnya.
"Siapa kau, Kek. Apa urusanmu dengan kantong macan itu?"
"Aku cuma orang yang ingin hidup abadi," jawab si kakek sambil langsung menyerang Mi'an dengan tongkat yang dibawanya.
Pertarungan berlangsung sengit. Pasir dan batu berhamburan. Sementara bunga api memercik saat pedang Mi'an bertemu tongkat si kakek. Sudah puluhan jurus berlalu, tapi Mi'an masih belum bisa mendesak lawannya. Bahkan Mi'an lah yang kemudian harus mengakui kehebatan si kakek. Pukulan demi pukulan tongkat menghantam tubuhnya.
Tubuh Mi'an akhirnya terjatuh. Kakek itu tersenyum penuh kemenangan. Tapi tiba-tiba ia meloncat seperti menghindari sesuatu. Sebuah benda berwarna kuning melayang di udara.
"Rupanya kau pernah berguru ke Borneo juga. Sayang ilmumu masih mentah," ucap si kakek sambil melemparkan tongkatnya ke udara.
Pedang dan tongkat yang melayang itu lalu bertarung. Keduanya saling hadang dan serang. Namun lagi-lagi si kakek lebih unggul. Tongkatnya berhasil memukul jatuh pedang Mi'an. Candrasa merasa heran dengan Condromowo. Entah mengapa kucing itu tidak menunjukkan sikap seperti biasanya. Dia justru seolah menikmati pertarungan Mi'an dengan si kakek.
Mi'an sudah mengambil posisi berlutut. Candrasa tahu sebentar lagi Mi'an akan mengeluarkan serangan pamungkas. Melihat lawan begitu kuat, kali ini ia ikut menyalurkan kekuatannya. Mi'an tersenyum saat merasakan energinya pelan-pelan bertambah besar.
"Terimakasih, Sa," bisiknya.
"Sudah menjadi tugasku, An. Lain kali jangan terlalu sombong. Mintalah pasti akan kuberikan."
"Kau tidak terikat perjanjian denganku, Sa."
"Persetan dengan perjanjian itu, An."
Setelah itu dua larik sinar putih kekuar dari mata Mi'an. Wajah si kakek tampak terkejut. Sedetik kemudian terdengar ledakan keras. Tubuh Mi'an terpental ke belakang, sementara si kakek sendiri jatuh berlutut.
"Lumayan, lumayan, tapi masih belum cukup," bisiknya.
Kakek itu lalu mendekati Mi'an yang pingsan. Candrasa Seta segera bersiap. Uar itu melingkar dengan leher berdiri tegak di depan tubuh Mi'an. Anehnya si kakek justru tersenyum.
"Apa kau tidak mengenali aku, Seta?" tanya kakek itu sambil melambaikan sebilah keris.
Candrasa Seta gemetar. Ia mengenali keris naga siluman berluk tigabelas yang berpendar kebiruan itu. Sang pemilik keris pernah menolong salah satu tuannya ratusan tahun lalu.
"Raden Dipoyono, benarkah ini? Bagaimana mungkin Tuan masih hidup?"
"Aku hanya makhluk yang diperintahkan untuk menyampaikan amanah oleh orang sakti itu, Seta. Tuanku sendiri sudah bertemu dengan Pencipta kita semua."
"Apa isi amanah itu, Tuan?"
"Jangan panggil aku tuan. Kita sama-sama makhluk suruhan. Namaku, Nagatirta."
Nagatirta lalu menjelaskan isi amanah itu. Perintahnya adalah mewariskan ilmu dan keris naga siluman kepada siapapun yang datang ke pantai itu.
"Bagaimana jika orang lain yang datang ke sini?"
"Tidak akan ada orang lain. Penghalang di tempat ini hanya bisa ditembus oleh mustika Wijaya Kusuma."
"Sudah lebih dari seratus tahun aku menunggu kedatangan pemuda itu, Seta. Akhirnya penantianku usai juga. Setelah dia sadar nanti, aku akan mewariskan ilmu Raden Dipoyono kepadanya."
"Takdir langit selalu sulit dimengerti sampai hikmahnya ditemukan. Jika Moza tidak menitipkan mustika itu, tentu Mi'an tak akan bisa sampai ke tempat ini. Semoga saja nanti takdir keduanya berakhir baik," batin Candrasa.
"Kau sudah tahu siapa Nagatirta ya, Ndra?"
"Aku mengenali tanda matahari segi delapan yang tergantung di tongkat kakek itu, Sa. Saat menyerang Mi'an, aku juga tidak merasakan aura pembunuh."
"Raden Dipoyono memang salah satu pengawal istana Majapahit, Ndra."
"Demikian juga aku, Sa. Karena itulah aku tenang-tenang saja tadi."
"Mengapa kau tidak memberitahuku?"
"Aku tahu dia tidak bermaksud jahat. Tapi aku juga sedang bertanya-tanya apa tujuan Nagatirta sebenarnya."
"Jika dia berniat jahat, aku pasti akan melawannya, Sa. Percayalah."
"Aku percaya, Ndra. Aku percaya."
Setelah Mi'an sadar, Candrasa lalu menceritakan siapa Nagatirta dan apa tujuannya. Mi'an lalu menimbang baik dan buruknya tawaran Nagatirta. Setelah berdiskusi dengan Candrasa dan Condromowo, ia akhirnya menerima tawaran itu.
Tiga bulan lamanya Mi'an digembleng oleh Nagatirta. Tak hanya ilmu pedang, Mi'an juga belajar ilmu tombak serta lempar senjata. Di samping mempelajari ilmu-ilmu baru, kesempatan itu juga digunakan Mi'an untuk mematangkan ilmu-ilmu lamanya. Terakhir, Nagatirta menyerahkan keris Naga Siluman pada Mi'an.
"Untukmu, Raden Dipoyono juga mewariskan sesuatu, Seta."
"Benarkah? Apa itu?"
Nagatirta mengeluarkan kotak kayu kecil. Ia lalu membukanya, sebuah batu kristal ada di dalam kotak itu.
"Ini warisanmu, Seta. Ambillah."
Candrasa tak tahu harus berbuat apa. Batu kristal itu adalah sarira dari Raden Dipoyono. Ia tidak pernah menyangka akan mendapat hadiah sebesar itu.
"Cepat ambillah, Seta. Kau pasti akan membutuhkannya untuk menghadapi Gundala Wereng."
Candrasa lalu menelan sarira itu. Cahaya kebiruan yang memancar dari tubuhnya menjadi semakin terang. Tanduknya pun perlahan memanjang.
"Tugasku sudah selesai, aku pamit. Berhati-hatilah saat menuju Pulau Ular. Mustika yang kalian bawa pasti akan menarik perhatian banyak pihak."
Setelah mengucapkan itu, Nagatirta menghilang. Mi'an lalu mencari perahu untuk disewa menuju Pulau Ular. Keinginannya untuk menggunakan ilmu pemindah dilarang oleh Candrasa dan Condromowo, sebab akan dianggap sebagai tantangan oleh jin-jin penghuni Laut Utara.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...