Pertempuran (2)

6.6K 470 10
                                    

Dari tempatnya bersembunyi, Ribka tiada henti memaki ketololan dan kesombongan Simo. Apalagi saat ia melihat Ki Upas, penguasa Rawa Buthek, juga tak bisa berbuat banyak menghadapi kelincahan dan kegarangan Condromowo. Satu-satunya keuntungannya saat ini adalah malam masih panjang.

Ribka sadar ia tidak memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Saat fajar tiba, kekuatannya akan semakin melemah. Mau tidak mau ia harus menyelesaikan pertarungan sebelum bulan menghilang dari langit. Empat mumi yang tersisa adalah pasukan terakhirnya.

Sepanjang karirnya sebagai pengendali, jarang sekali ia mengerahkan mereka. Keempat jin itu menguras banyak tenaga untuk bisa dikendalikan. Namun malam ini ia sudah memutuskan untuk melibatkan jin-jin dari Mesir dan Afrika ikut dalam pertempuran.

Dua mumi yang berdiri menghadap utara dan selatan perlahan membuka matanya. Namun saat akan bergerak, sebuah kekuatan menahan langkah mereka. Tubuh kedua mumi itu seolah terpaku ke tanah. Ribka tahu seseorang telah mengganggu rencananya.

"Tidak sopan rasanya seorang tamu datang tanpa menampakkan wujud!" teriaknya.

"Untuk orang yang menyerang sambil menyembunyikan diri di balik tabir, kata-kata itu rasanya agak lucu." Terdengar suara menjawab ucapan Ribka.

Lalu keluarlah si pemilik suara. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam dengan rambut dipenuhi uban muncul di depan Ribka. Sebilah keris menancap di hadapan laki-laki yang duduk bersila itu. Melihatnya, tahulah Ribka mengapa para mumi itu tak bisa bergerak.

"Siapa kau, Pak Tua? Apa urusanmu denganku?"

"Aku Darwis, kakek dari orang yang sedang bertarung dengan mayat-mayatmu itu."

"Kau pikir bisaku cuma mengendalikan mayat? Kau terlalu sombong, Pak Tua," ucap Ribka sambil mengambil pisau yang terbuat dari tulang dan sebuah marakas.

Dari tato pentagram dan rajah di kulit pembungkus marakas, Darwis menduga jika benda itu dibuat dari mayat orang asing. Isi marakas pasti adalah gigi dari mayat juga.

"Pengembaraanmu jauh juga ya? Tapi sampai berapa lama kau bisa mengendalikan mereka? Bukankah semakin banyak yang datang akan semakin besar pula energi kehidupanmu menghilang?"

"Kau tahu juga rupanya. Uban di kepalamu itu tampaknya tak memutih sia-sia."

'Tenang saja, Pak Tua. Paling sebelum mereka menghabiskan seperempat energiku, kau juga sudah mati."

Ribka lalu menggores telapak tangannya dengan pisau tulang. Meneteskan darah yang keluar pada marakas, kemudian mulai menggoyangkannya. Pelan tapi pasti, udara di tempat itu menjadi semakin dingin. Lalu satu per satu makhluk-makhluk berbentuk aneh pun bermunculan.

Jin-jin yang terikat perjanjian darah dengan marakas berkumpul di sekitar Ribka. Darwis yang tak menyangka jika akan menghadapi lawan sebanyak itu menghela napas panjang.

"Mungkin ini akan menjadi pertempuran terakhirku. Satu-satunya yang kusesali adalah, aku belum sempat mengajarkan semuanya pada, Timur," bisiknya.

"Kakek jahat! Kenapa kami ditinggal dan tidak diajak?!"

Darwis terkejut bukan kepalang saat melihat sosok yang tiba-tiba hadir di depannya. Sepasang muda-mudi berpakaian serba putih berdiri dengan pedang terhunus itu seolah memposisikan diri sebagai perisainya.

"Mengapa kalian ikut datang, Nduk, Ara? Ini tidak ada hubungannya dengan kalian?"

"Kalau Kakek mati, siapa yang akan melawan buldozer dan gergaji mesin itu, Kek?" jawab gadis berbaju putih, sementara teman prianya hanya tersenyum.

"Itu bukan demi kalian, tapi demi warga desa, Nduk."

"Terserah. Pokoknya yang kami tahu Kakek lah yang menyelamatkan hutan. Titik."

"Sudahlah, Kek. Seperti tidak tahu watak Nduk saja. Apapun tujuan Kakek mempertahankan hutan adat itu, kami juga mendapatkan manfaatnya. Ini cara kami membalas budi, Kek."

"Terima kasih, Ra, terima kasih."

"Kami yang berterima kasih, Kek. Sekarang mari kita hadapi mereka."

Darwis menatap jelmaan sepasang perkutut putih yang bersarang di pohon jambu dersono itu. Tak pernah disangkanya jika mereka akan menyusul ke Jawa. Namun apapun itu, ia bersyukur atas kehadiran Nduk dan Ara. Meski kalah jumlah, setidaknya perlawanan yang mereka berikan akan lebih berarti.

Ribka sendiri tak pernah mengira jika Darwis akan mendapatkan bantuan. Firasatnya mengatakan kedatangan mereka pasti akan diikuti oleh yang lain. Malam yang semakin larut membuat ia harus segera bertindak. Apalagi darahnya sudah banyak berkurang dihisap marakas.

"Bunuh mereka," perintahnya.

Belasan jin itu segera menerjang maju. Darwis yang bersenjata tongkat berwarna jingga bergerak lincah menghindari cakaran, sabetan ekor, serta semburan makhluk-makhluk itu. Nduk dan Ara juga melakukan hal yang serupa. Pedang mereka bergerak cepat menusuk dan membabat lawan-lawannya.

Ribka yang merasa aman keluar dari lingkaran pelindungnya. Bergegas ia menuju ke tempat keris Darwis tertancap. Namun, saat tangannya terulur untuk mencabut keris, sebuah tangan berbulu menampiknya dengan keras. Empat baris luka kini menghiasi punggung tangan wanita itu. Tanpa pikir panjang ia segera kembali ke dalam lingkaran. Saat melihat ke depan, seekor macan kumbang menatapnya dengan tajam.

Di tempat lain Timur, Mi'an, dan Mak Ina berjuang mati-matian melawan mayat hidup. Tubuh mumi itu kebal senjata. Berulangkali pedang Mi'an menebas mereka, namun tak membuahkan hasil. Hal yang sama terjadi pada Timur. Nasib Mak Ina sendiri juga tak jauh berbeda, tali api dan tusuk satenya gagal melukai mayat-mayat itu.

Manusia tidak akan bisa melawan pengaruh usia. Hal yang sama juga terjadi pada Mak Ina. Pertempuran dalam waktu lama tentu menguras tenaga dan membuatnya kelelahan. Saat sedang berusaha menghindari sebuah serangan, tiba-tiba saja pandangannya mengabur. Kesempatan itu digunakan si mayat untuk menggigit tangannya.

Teriakan Mak Ina membuat Mi'an melompat mundur. Saat ia tiba, tubuh Mak Ina sudah tergeletak di antara batu nisan. Tangan kirinya tampak berwarna hitam.

"Cepat potong tanganku, An. Satu jengkal di atas luka. Cepat! Sebelum racunnya menyebar!" perintah Mak Ina.

"Tapi, Mak?"

"Sudah, An. Turuti saja perintahku!"

Mi'an tak punya pilihan. Ditebasnya tangan kiri Mak Ina sebatas siku. Darah segar muncrat membasahi baju dan wajah Mi'an saat lengan itu terputus. Melihat kondisi Mak Ina, jantung Mi'an berdenyut cepat dan matanya menjadi basah. Tak lama kemudian ia berdiri dan berbalik. Saat Mi'an berjalan menjauh, Mak Ina tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Ia melihat uap hitam keluar dari seluruh tubuh Mi'an.

Timur yang juga sudah kelelahan menghadapi mayat hidup sendirian merasa lega saat melihat Mi'an kembali. Namun raut wajahnya berubah ketika menatap wajah Mi'an. Tak ada emosi yang tampak di sana. Sorot matanya begitu dingin dan menakutkan. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang salah sedang terjadi.

Timur melompat menjauh. Dua mayat segera mengejarnya. Di saat yang sama, Mi'an juga ikut melompat dan langsung menyerang dua mayat itu. Gerakannya begitu cepat. Tak berselang lama, tubuh kedua mumi itu sudah tercerai-berai dicabik-cabik oleh Mi'an. Setengah jam kemudian, tiga mumi yang tersisa juga mengalami nasib yang sama. Setelah itu tubuh Mi'an berdiri tak bergerak seperti patung.

Ribka tak pernah mengerti mengapa lima bonekanya mendadak hancur. Selama ini hanya sekali ia mengalami kejadian seperti itu

"Apa mungkin ini perbuatan orang bertudung? Aneh, bukankah dia juga sealiran?" batinnya sambil membayangkan peristiwa yang terjadi belasan tahun lalu itu.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang