Pengumpulan Kekuatan

5.2K 362 3
                                    

Kehadiran tiga orang itu membuat suasana pondok Mbah Lawu semakin ramai. Iis tentu saja senang dengan kehadiran Alit yang telah menjadi kekasihnya.

"Kok Ega tidak diajak, Mas?" tanya Iis.

"Repot dia, Is. Toko bunganya sedang banyak order."

Dari tempatnya berdiri, Timur melihat sosok Mi'an yang sedang duduk di batu besar. Ia lalu menghampirinya.

"Bagaimana kabarmu, An?" Tangan Timur menepuk pundak temannya itu.

"Entahlah, Mur. Aku sendiri kadang bingung dengan apa yang sedang terjadi serta apa yang seharusnya kulakukan."

Timur terdiam. Ia bisa memahami apa yang dirasakan Mi'an. Andai dia di posisi Mi'an, kondisinya juga tak akan jauh berbeda.

"Lalu apa rencanamu selanjutnya, An. Kejadian seperti kemarin bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, kan?"

"Aku harus menjadi kuat, Mur. Entah bagaimana caranya. Mungkin jika terpaksa aku akan mengikat janji dengan Candrasa."

"Jangan terburu-buru, An. Sebaiknya kau berunding dulu dengan Mak Ina serta Kakekku. Pengalaman mereka lebih banyak. Barangkali saja ada jalan keluar yang bisa mereka berikan."

"Semoga saja ada, Mur."

"Oh iya, Mur. Tolong bilang ke Iis dan yang lain, jangan bermain terlalu jauh. Di hutan sana masih banyak 'barang halus' yang tak bertuan."

Timur lalu meninggalkan Mi'an dan kembali ke pondok. Ada hal yang ingin dibicarakannya dengan Mak Ina, Mbah Lawu, dan juga kakeknya sehubungan dengan Moza.

Sesampainya di pondok, Timur segera meminta Mak Ina dan Darwis untuk berkumpul di kamar Mbah Lawu.

"Bagaimana hasil penyelidikanmu, Mur?" tanya Mak Ina.

"Masih samar-samar, Mak. Tapi orang-orang yang kumintai bantuan yakin jika Moza masih ada hubungan dengan Nyai Puspa Menur, Mak."

"Perempuan yang kabarnya memiliki kekuatan penyembuh luar biasa itu? Bukankah dia telah menghilang berpuluh tahun yang lalu?" ucap Mbah Lawu.

"Benar, Mbah. Tapi sampai saat ini mustikanya masih menjadi benda paling diburu. Orang-orang percaya mustika itu bisa membuat pemiliknya hidup abadi."

"Hidup abadi. Seumpama benar juga untuk apa. Justru karena ada kematianlah yang membuat hidup itu bermakna," bisik Darwis.

"Kata-kata kakek akan dianggap lelucon untuk para koruptor yang memenuhi negeri ini. Jika mereka sadar akan makna kematian, mereka tidak akan sibuk memenuhi rekeningnya dengan uang curian, Kek."

"Apa yang membuat orang-orangmu yakin Moza ada hubungannya dengan Nyai Puspa Menur, Mur?"

"Sepasang harimau putih itu, Mak. Keduanya sudah lama dikenal sebagai pengawal Nyai Puspa. Hadiah dari salah seorang keturunan senapati Pajajaran yang pernah diselamatkannya dulu."

"Begitu ya? Mungkin bisa jadi Moza memang keturunan Nyai Menur. Bisa jadi itu sebabnya pada level ringan ia bisa dengan mudah mengusir kekuatan hitam di tubuh seseorang."

"Mungkin kekuatannya juga yang membuat luka-lukaku tidak bertambah parah. Saat tidak sadar semalam, aku merasakan sebuah energi terus menerus mengalir mengusir hawa dingin yang ada di dalam tubuh ini."

"Oh iya, Mak. Menurut orang-orangku, kabar Moza adalah pewaris mustika Nyai Puspa Menur sudah tersebar luas. Ada banyak orang yang menginginkan mustika itu. Karena itu ada baiknya Mak Ina memikirkan keselamatan Moza dan Mak Ina sendiri."

"Kalian tinggal saja di sini. Menggabungkan kekuatan tentu lebih menguntungkan daripada harus melawan mereka sendirian," ucap Mbah Lawu.

"Aku harus membicarakannya dengan Moza terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, dia berkepentingan dengan urusan ini."

"Kalau kau tinggal di sini, In. Aku juga akan ikut pindah. Timur sudah mewarisi semua ilmuku, jadi kehadiranku tentu lebih berguna di tempat ini."

"Wariskan juga ilmumu pada Mi'an, Kek. Walau di dalam tubuhnya tidak mengalir darah keluarga kita, namun aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri."

"Kalau dia bersedia, aku akan mewariskannya, Mur."

"Terimakasih, Kek."

Setelah berunding dengan Moza, mereka akhirnya memutuskan untuk tinggal di tempat itu. Mi'an yang sedang sibuk mencari kekuatan tentu saja setuju ketika Darwis menawarkan diri untuk menjadi salah satu gurunya.

Sementara itu, Harto, Felix, Sirna, Dalbo, dan Hendro sedang dilanda kebingungan. Terbukanya rahasia tentang mustika keabadian membuat rasa saling curiga satu di antara mereka semakin menguat. Nyi Weling tentu saja senang dengan perpecahan itu. Diam-diam, dialah yang membocorkan rahasia mustika itu pada dukun-dukun yang ia kenal. Rupanya ia masih menaruh dendam pada kematian Ki Upas dan Ki Sumo.

Bocornya rahasia itu membuat persaingan menjadi ketat. Bagi para pemuja kenikmatan dunia, apalagi yang bisa lebih memikat selain dari keabadian dalam kesehatan. Bergudang-gudang harta juga percuma jika tubuh sakit parah atau binasa. Karena itulah orang-orang yang percaya berlomba untuk mencari tahu keberadaan Moza. Demi untuk memenangkan persaingan, saling serang di antara para pemburu mustika pun tak bisa terelakkan.

Malam ini giliran Hendro yang kedatangan tamu. Sepasang dukun kembar mencoba peruntungannya dalam perebutan mustika. Sarmo dan Karmo yang terkenal sebagai dukun teluh bergaransi mengirimkan keris-kerisnya ke rumah Hendro untuk menundukkannya.

Kedua keris itu berputar-putar di sekitar rumah Hendro. Penghalang yang dipasang membuat keris-keris itu kesulitan untuk memasuki rumah. Benturan energi yang terjadi tentu saja diketahui oleh Hendro.

"Bahkan tikus curut saja kini berani bermain-main denganku," rutuknya.

"Keblek, kemari kau!"

Seekor kalong yang tadi menggantung di lampu melayang turun. Saat tiba di depan Hendro, kalong itu langsung berubah menjadi makhluk yang mirip manusia.

"Kirim kembali keris-keris itu ke pemiliknya. Sarungkan mereka di dada orang-orang tak tahu diri itu."

Manusia kalong itu segera terbang ke arah keris Sarmo dan Karmo. Dua jin yang menjadi 'isi' keris tersebut tentu tak menyerah begitu saja. Pertarungan pun terjadi. Tapi kemampuan peliharaan tentu berbanding lurus dengan tuannya. Sarmo dan Karmo jelas bukan tandingan Hendro. Kurang dari setengah jam, kedua jin keris itu akhirnya harus pasrah menjadi mangsa Keblek.

Selanjutnya Keblek melesat ke selatan. Sepasang dukun kembar itu akan dipastikannya menjadi hidangan penutup jamuan makan malam.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang