Golongan hitam

6K 447 3
                                    

Di sebuah ruang bawah tanah, lima sosok bertudung duduk bersila saling berhadapan. Di tengah mereka, bangkai seekor ular raksasa melingkar di altar batu. Ujung ekor ular tersebut menggantung di atas wadah yang terbuat dari tengkorak.

Asap dupa cendana tak bisa menutupi aroma busuk dan amis yang memenuhi ruangan itu. Setiap orang lalu menggores telapak tangannya. Darah yang keluar dikucurkan ke lantai dan mengalir ke arah bangkai ular. Setelah lima aliran darah itu bertemu, asap pun mengepul menyelimuti si ular. Setelah beberapa saat, ujung ekor ular tersebut mulai meneteskan cairan bening.

Pelan tapi pasti cairan semakin deras menetes. Ekor ular sendiri semakin kisut dan mengering. Saat kepulan asap menipis dan menghilang, bangkit ular itu sudah lenyap, berganti menjadi onggokan tepung berwarna putih kehitaman. Orang-orang bertudung itu lalu mengambil tengkorak berisi cairan, sebagaian lagi sibuk mencari-cari sesuatu di altar.

"Sudah ketemu, To. Ini barangnya." Salah seorang dari mereka menunjukkan sebutir batu berwarna hitam pada yang lain.

Harto lalu mengambil batu hitam itu, kemudian menggenggamnya.

"Lumayan, Ndro. Kekuatan Upas ternyata tidak mengecewakan."

Mereka berlima lalu membersihkan altar. Sesosok mayat kembali dinaikkan di sana dan segera diproses. Kali ini tak butuh waktu lama untuk mendapatkan minyak dan saripati ilmu mayat itu.

Dada Nyi Weling berdebar kencang saat melihat mayat Ki Upas dan Ki Sumo dihancurkan oleh lima orang bertudung itu. Bagaimanapun juga, kedua mayat itu adalah guru dan saudara seperguruannya.

Tapi siapa yang berani melawan lima penguasa kegelapan itu. Harto, Hendro, Felix, Sirna, dan Dalbo adalah dukun-dukun dengan kemampuan yang mengerikan. Kekejaman mereka juga tanpa batas. Apa yang dilihatnya hari ini adalah buktinya. Tak peduli kawan atau lawan, mereka akan menjadikan mayatnya sebagai alat penambah kekuatan.

"Kunti, buatkan kami minum!"

Nyi Weling segera menuju dapur untuk membuat pesanan Felix. Ia tahu laki-laki bermata biru itu pemarah dan ringan tangan. Apalagi kalau sedang mabuk, nyawa orang tak bernilai di depannya.

"Bagaimana kabar Ribka, Fel? Berhasil kau panggil dia kembali?" tanya Dalbo.

Felix memandang laki-laki berkumis dan berjenggot lebat itu sambil menggelengkan kepala.

"Pius membunuh semua pesuruh yang kukirimkan. Ilmu pemanggilku juga tak mampu menembus dinding penghalang yang dipasangnya."

"Kirim jin yang hebat, Fel. Kau itu terlalu pelit."

"Kau pernah berhadapan dengan Pius, Na?!"

"Kalau kau sudah merasakan pedang besi mantike yang didapatkannya dari Kalimantan itu, baru kau akan tahu siapa Pius sebenarnya."

"Sudah, sudah, urusan Ribka dan Pius itu tidak penting. Fokus saja pada Mi'an dan Moza. Bagaimana perkembangan parasitmu, Na? Sudah ada kemajuan atau belum?"

"Masih berproses, To. Semoga saja Gundala Wereng itu bisa membunuh Seta. Aku tidak menyangka jika ular putih penggembala hujan yang ada di tubuhnya."

"Kau meremehkan siapa orangtua Mi'an yang sebenarnya, Na. Itu kecerobohan terbesarmu. Seharusnya kau habisi dia saat membunuh kedua orangtuanya dulu."

"Benar. Andai aku tidak menganggap rendah Orang Lawu itu, mungkin mustika dari Pajajaran sudah kita dapatkan, To."

"Belum tentu juga. Ingat, tanpa Mi'an, tabir penyamar di tubuh Moza juga tidak akan terbuka. Bukankah tanpa menghilangnya tabir kita tak akan bisa menemukan keberadaan mustika itu?"

"Hendro benar, To. Ah, untuk apa kita berdebat soal ini. Rencana selanjutnya bagaimana? Jangan lupa gerhana bulan itu tinggal lima tahun lagi. Aku ingin abadi tanpa harus repot mencari perawan untuk ditumbalkan. Zaman ini susah sekali mendapatkannya. Apalagi tujuh gadis sekaligus."

Di saat kelima orang itu sedang berdikusi, Mi'an sedang berguling-guling di kamarnya. Mak Ina, Darwis, Moza, Timur, Johan, dan Alit yang mencoba memegang tubuhnya terpental. Johan dan Alit bahkan sampai memuntahkan darah.

Kali ini Darwis dan Mak Ina bisa melihat apa yang terjadi. Dua ular berwarna hitam dan putih tampak membelit tubuh Mi'an. Gerakan kedua ular yang saling serang itulah yang membuat tubuh Mi'an berguling tak tentu arah.

Sambil menghunus keris, Darwis memusatkan perhatiannya. Lalu ditancapkanya keris itu ke lantai. Asap putih keluar dari tempat keris tertanam. Tangan Darwis bergetar kencang. Tak lama kemudian tangannya terlepas dan kerisnya patah. Darah terlihat meleleh di sudut bibir laki-laki tua itu.

Gerakan Mi'an semakin liar. Kebingungan melanda semua yang berada di sana. Moza dan Iis hanya bisa menangis. Sementara Ega dan Hasnah sudah sejak dari tadi pingsan. Mak Ina yang tak tega melihat penderitaan Mi'an bangkit dan berusaha meraih tubuhnya.

Seseorang tiba-tiba saja berdiri di depan Mak Ina. Tubuh pria itu menghadap Mi'an. Bajunya usang dan lusuh hingga tak jelas lagi warnanya putih atau cokat muda.

"Sudah, Mak. Biar aku yang akan menghadapi kedua makhluk itu," ucapnya sambil melemparkan seutas tali yang segera berubah menjadi seekor ular berwarna hitam kebiru-biruan.

"Nagasari, tolong bantulah Candrasa menundukkan Wereng." Pria itu berbisik.

Sedetik kemudian ular itu langsung bergabung dalam pertempuran. Tubuhnya melilit kepala ular berwarna hitam, sementara kepalanya menggigit bagian leher. Diserang kekuatan gabungan, Gundala Wereng akhirnya menyerah. Tubuhnya menggeliat beberapa kali sebelum akhirnya diam tak bergerak dan berubah menjadi sehelai rambut.

Ular putih sendiri segera memasuki tubuh Mi'an yang sudah berhenti bergerak. Pria itu lalu menghampiri dan mengusap wajahnya. Mata Mi'an perlahan terbuka.

"Aku tidak menyangka jika remaja yang kutemui tujuh tahun lalu adalah cucuku sendiri. Jika saja ular Candrasa Seta itu tidak muncul, aku tak akan pernah tahu kau masih hidup." Air mata pria tua itu menetes saat berbicara.

Kemudian ia berdiri dan berjalan menuju Mak Ina serta Darwis.

"Mak dan Tuan dari seberang, aku mengucapkan terima kasih atas semua budi yang telah kalian berikan padanya. Hari ini izinkan aku membawanya pergi untuk mendapatkan warisannya."

"Siapakah, Tuan? Bagaimana kami bisa percaya jika Mi'an adalah cucu, Tuan?" tanya Timur.

Pria itu membuka bajunya. Sebuah tanda lahir berbentuk mirip keris terlihat di dada kirinya.

"Ini adalah tanda perjanjian terlarang yang dibuat nenek moyang kami. Bukalah baju Mi'an. Kalian akan temukan tanda yang sama."

Timur segera membuka baju Mi'an. Tanda itu tercetak di dada Mi'an. Mak Ina dan Darwis saling pandang. Bukti itu menunjukkan jika pria itu berkata sebenarnya.

"Mi'an sudah kuanggap anakku sendiri. Bagaimanapun juga aku harus tahu siapa yang membawanya dan ke mana ia akan dibawa pergi."

"Aku biasa disebut Mbah Lawu. Ke lereng gunung itu juga aku akan membawa Mi'an. Jika tidak kuajari bagaimana caranya mengendalikan Candrasa, maka ia akan mati dimakan kekuatan ular itu. Kalian sudah melihat sendiri buktinya kan?"

"Apa hubunganmu dengan Mbah Sirna?"

"Ia keturunan musuh bebuyutan kami. Dialah yang membunuh kedua orangtua Mi'an serta menyusupkan Gundala Wereng ke tubuhnya. Tujuannya agar bisa menguasai kekuatan yang ada di tubuh Mi'an."

"Kami mohon diri. Utang budi ini pasti akan kami balas sudah hari nanti."

"Jaga dia baik-baik, Kek. Mi'an orang baik," ucap Moza.

"Pasti, Nak. Sampaikan salamku pada sepasang harimau putih itu, ya?"

Saat kalimat itu berakhir, tubuh Mbah Lawu dan Mi'an menghilang.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang