Pertempuran Dua Energi

3.9K 300 25
                                    

Ganggang Wilis tidak bisa bergerak.Tubuhnya seolah terpaku ke bumi. Kondisinya serba salah. Menarik kembali energi secara mendadak akan membuatnya terluka dalam. Orang yang memegang pundaknya jelas memahami hal tersebut. Namun ternyata ia tidak berniat jahat. Ganggang Wilis merasakan pundaknya menjadi hangat saat orang itu membantu menarik energinya kembali masuk ke tubuhnya.

"Biarkan Gundala Wereng menjalani putaran rodanya, Putri Selatan. Kita cukup menjadi saksinya saja."

Ganggang Wilis berbalik untuk mengetahui siapa yang telah menghalangi serangannya. Orang itu ternyata adalah seorang kakek yang berpakaian serba hitam. Meski terlihat lemah, Ganggang Wilis tahu kakek itu bukanlah orang biasa.

"Namaku, Selowukir, Den Ayu. Bukan siapa-siapa, hanya makhluk rendah yang diamanahi untuk menjaga tempat ini," ucap kakek itu seolah bisa membaca pikiran Ganggang Wilis.

"Apakah Gundala Wereng datang sendirian ke tempat ini, Kek?"

"Tidak. Ada dua naga yang datang ke sini. Naga hitam dan naga putih. Keduanya sedang bertarung, karena itulah aku menghalangi seranganmu tadi."

"Naga putih? Candrasa maksudnya, Kek?"

"Bukan. Mengapa tidak kau cari tahu sendiri apa yang sedang terjadi pada Gundala Wereng"

"Tampaknya kita kedatangan dua tamu, Putri. Para pengawalmu sudah hadir di sini sekarang."

"Salam hormatku, Ki Selowukir. Izinkan kami, Naga Lindu dan Sabet Mumur ikut menikmati jalannya lakon 'Bima dan Kayu Gung Susuhing Angin' yang sedang dipentaskan di depan sana."

"Silakan saja, Tuan-Tuan. Gunung ini bukan milikku, aku hanya menjaganya saja."

Ganggang Wilis hanya bisa menunduk saat Naga Lindu dan Ki Sabet Mumur muncul. Ia tahu ayahnya lah yang telah mengirim dua pengawal pribadinya itu untuk mencarinya.

"Paman Lindu, Paman Mumur, aku minta maaf sudah merepotkan kalian," bisiknya.

"Tidak apa-apa, Wilis. Kalau tidak begini, kapan kami bisa jalan-jalan menikmati pemandangan pegunungan. Bukan begitu, Mur?" jawab Naga Lindu.

Setelah bersalaman dengan Ki Selowukir, kedua prajurit itu pun lalu duduk. Tatapan mereka tertuju pada Gundala Wereng.

"Menurutmu siapa yang akan menang dan siapa yang akan tumbang, Ki?" tanya Ki Sabet Mumur pada Ki Selowukir.

"Menurutku, meski angin di dalam lebih kecil, tapi isinya lebih padat, lengkap, dan seimbang. Jika diumpamakan keris, maka itu adalah keris yang dibabar oleh Mpu Pangeran Sidayu atau anaknya, Mpu Adipati Jenu.

"Aku juga berpendapat demikian, Mur. Energi Gundala Wereng seperti keris Margopati yang dibabar tidak ikhlas oleh Mpu Madrim. Ketidakikhlasan itu menyebabkan Margopati menjadi keris haus darah dan telah merenggut banyak nyawa orang tak bersalah." Naga Lindu ikut memberikan pendapat.

"Tapi kita lihat saja nanti. Semua makhluk punya kehendak, namun hanya kehendak-Nya lah yang akan mewujud. Semoga saja kehendak-Nya sejalan dengan kehendak kita," ucap Ki Selowukir.

Ganggang Wilis tentu saja tidak paham apa maksud pembicaraan Ki Selowukir dengan dua pengawal ayahnya itu. Sebenarnya ada keinginan Ganggang Wilis untuk bertanya, tapi apa yang terjadi pada Gundala Wereng lebih menarik perhatiannya.

Saat Ganggang Wilis menuruti saran Ki Selowukir tadi, ia akhirnya tahu jika Gundala Wereng ternyata sedang bertarung dengan energi yang ada di dalam tubuhnya sendiri. Energi gabungan empat warna terlihat mencoba menyusup ke setiap jalur energi Gundala Wereng yang berwarna merah.

Sementara itu di Baluran, Handaka sedang mempersiapkan pasukannya untuk menyambut kedatangan Moza dan Ajeng. Kedasih Klawu yang dimintanya untuk memata-matai lereng Lawu telah memberi kabar jika Moza, Mak Ina, dan Ajeng yang ditemani oleh tiga empat ular telah meninggalkan gunung Lawu dan bergerak ke Baluran.

Di Jurang Gembung, sesosok tubuh tampak mengendap-endap di antara bebatuan dan tumpukan tulang belulang. Laskar Baung yang tidak menyadari jika tempat mereka telah dimasuki penyusup. Tidak adanya gangguan yang datang ke Jurang Gembung membuat mereka tak lagi sewaspada dulu.

Sosok itu mendekati gua tempat Candrasa dan Condromowo ditawan. Setelah yakin tidak ada yang mengetahui keberadaan dirinya, sosok itu lalu memasuki gua. Condromowo dan Candrasa langsung menyiapkan diri saat melihat ada yang mendekati mereka.

"Jangan takut, aku utusan dari keluarga Ajeng." Suara bisikan wanita terdengar.

Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Tapak Jalak. Dulu dirinya adalah pelayan di dalam keluarga merak. Namun seiring dengan jatuhnya kekuasaan ke tangan Handaka, maka ia pun ikut tersingkir. Bersama anggota keluarga merak yang berhasil selamat, ia melarikan diri dan mencari perlindingan ke Meru Betiri.

Kedangannya ke Baluran adalah untuk mencaritahu kebenaran berita tentang Ajeng. Sebagai pelayan yang pernah menjadi pengasuh Ajeng, Tapak Jalak jelas ingin mendapat kabar tentang momongannya yang dikabarkan telah meninggal itu.

"Syukurlah jika dia masih hidup. Itu artinya Baluran masih mempunyai harapan."

"Maksudmu, Nyi?" tanya Condromowo.

"Sejak Ajeng dikabarkan meninggal. Raja dan Ratu Merak menjadi kehilangan semamgat hidup. Karena itulah Handaka bisa dengan mudah mengalahkan mereka."

"Aku harus segera mengabarkan hal ini pada Raja dan Ratu. Kalian bersabarlah dulu. Jika rencanaku berhasil, Kidang Kilat dan Bandot Landung pasti akan datang sebentar lagi untuk membebaskan kalian."

"Aku pergi dulu, Tuan Condomowo dan Candrasa. Terimakasih atas bantuan yang telah diberikan pada Ajeng, Baluran berutang banyak pada kalian."

Tapak Jalak segera meninggalkan Jurang Gembung. Sebelum pergi, matanya menatap tebing tercuram yang ada di tempat itu. Seulas senyum perlahan terlukir di bibir wanita itu saat melihat dua titik hitam tampak bergerak perlahan menuruni tebing itu.

Perjalanan Moza, Mak Ina, dan rombongan menuju Baluran tak banyak mendapat halangan. Baru setelah mereka mendekati wilayah kekuasaan Handaka lah, rintangan-rintangan itu mulai bermunculan. Mulai demit kelas rendah seperti gondoruwo, gundul pringis, jaelangkung,, wewe, sampai dengan demit yang agak tinggi ilmunya semacam kemamang, lampor, dan jin api anak buah banaspati.

Tentu saja jin-jin itu tidak bisa berbuat banyak saat menghadapi Moza dan kelompoknya. Namun tujuan Handaka memerintahkan mereka bukanlah untuk menang, melainkan agar Moza dan yang lain kehabisan tenaga sebelum sampai ke Istana Baluran.

"Ki Caling, sekarang giliranmu untuk menghadang mereka. Aku ingin tahu apakah mustika rante babimu itu masih ada gunanya di tempat ini. Bukan begitu, Mbah Sirna?"

"Akan kubawa mayat mereka ke sini, Ki Ageng. Kalau senggang nanti, aku juga ingin mencoba caling ini pada manusia yang katanya memiliki ilmu kebal tak tertembus," ucap Ki Caling sambil melirik Mbah Sirna.

Handaka tersenyum tipis. Ia memang sengaja memancing kemarahan Ki Caling dengan membandingkannya dengan Mbah Sirna. Ia tahu dengan cara itu Ki Caling akan bertarung mati-matian untuk mempertahankan harga dirinya.

"Kau ini memang licik, Ki Ageng," bisik Mbah Sirna saat Ki Caling sudah pergi.

"Seperti kau tidak pernah melakukannya saja, Mbah. Dusta, fitnah, berpura-pura menjadi pahlawan atau korban, dan banyak hal kotor lain adalah acara rutin bangsamu setiap lima tahun sekali kan?"

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang