Dari tempatnya bertarung, Condromowo tentu saja melihat apa yang sedang terjadi. Jatuhnya Mak Ina membuat ia ingin secepatnya mengakhiri pertarungan dengan Ki Upas.
"Mati atau mukti," batinnya sambil berusaha menjauhkan diri dari Ki Upas.
Ki Upas sendiri mengira Condromowo mundur karena ketakutan. Mulutnya menyeringai lebar. Kemudian ia langsung melompat tinggi untuk menyerang. Raut wajah Ki Upas sedikit heran saat melihat Condromowo tidak berusaha menghindar. Kucing raksasa itu justru menatapnya dengan tajam. Sadar jika ada sesuatu yang salah, Ki Upas mencoba menghentikan serangannya. Namun semua sudah terlambat.
Ketika Ki Upas melompat, Condromowo tahu pancingannya berhasil. Ia lalu memusatkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Saat jarak Ki Upas semakin dekat, serangan pamungkas itupun ditembakkan. Dua berkas cahaya biru yang keluar dari mata Condromowo langsung menghantam dada Ki Upas. Jin berwujud manusia ular itu hanya bisa berteriak keras sebelum jatuh dari ketinggian.
Seolah mengerti jika Condromowo telah kehabisan tenaga, kucing-kucing yang tersisa berkumpul mengelilingi kucing raksasa yang telah berubah ke wujud asalnya itu.
"Bapakmu sudah kalah. Bebaskan gadis itu dan aku akan melepasmu," ucap seekor musang pada ular yang melilit tubuh Ega.
"Bagaimana aku tahu kau akan menepati janjimu?"
"Jika mau, aku bisa membunuhmu dari tadi. Kalau berhadapan dengan Ki Upas aku masih pikir-pikir. Tapi kalau cuma ular yang baru berganti kulit ribuan kali sepertimu, itu urusan remeh."
"Cobalah, aku akan bunuh gadis ini."
"Silakan. Kedatanganku ke tempat ini adalah untuk bertarung dan bukan yang lain."
Dari cara si musang memandangnya, Taksaka tahu jika ia tidak bergurau dengan kata-katanya. Nyalinya berangsur surut.
"Aku akan pergi. Ingat janjimu."
"Aku bukan golongan penipu seperti kalian, penghuni Rawa Buthek."
Taksaka perlahan melepaskan lilitannya pada tubuh Ega. Matanya tiada henti mengawasi pergerakan musang bernama Soga itu.
"Tunggu. Jangan bermain gila kau?!"
"Apa maksudmu? Aku sudah melepaskan lilitanku, kan?"
"Kau pikir aku tidak melihat apa yang kau lakukan dengan taji di dekat ekormu itu?! Cepat keluarkan penawarnya sebelum kesabaranku habis!"
"Kuhitung sampai lima. Satu, dua, tiga ...."
Soga tersenyum saat Taksaka memuntahkan sesuatu dari mulutnya.
"Sudah pergilah."
"Tapi mustikaku itu ...."
"Pergi kataku!"
"Aku akan membalas semua penghinaan ini, musang keparat," ancam Taksaka sebelum merayap pergi.
Soga lalu mengambil batu mustika ular tersebut dan menempelkannya di kaki Ega. Agar tak merepotkan, sengaja ia tak menyadarkan Ega sampai pertempuran selesai nanti.
Tumbangnya Ki Upas menjadi pertanda buruk bagi Ribka. Tenaganya telah banyak terkuras, sementara jumlah lawan pasti akan semakin bertambah. Apalagi sayup-sayup sudah terdengar suara doa-doa pujian. Adzan subuh pasti tak lama lagi dikumandangkan dan matahari akan terbit.
Satu-satunya jalan adalah melarikan diri. Pelan-pelan ia memasukkan tangan ke saku. Diambilnya sebuah botol kecil, lalu segera digenggamnya hingga pecah. Saat tanah di botol telah bercampur darah, ia merapal mantra.
Darwis tak bisa berbuat apa-apa saat tubuh Ribka dan keempat muminya tiba-tiba saja lenyap. Tenaganya sudah terkuras habis melawan jin-jin marakas yang datang silih berganti tanpa henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...