Setelah beberapa hari mencari, Moza akhirnya menemukan lokasi yang ciri-cirinya sesuai dengan yang digambarkan Gagak Sudra. Tempat itu berada di sisi timur pulau dan terlihat paling hijau jika dibandingkan dengan yang bagian pulau yang lain.
Pagi itu, Moza pelan-pelan berusaha mendekati lokasi yang menjadi tempat tinggal gadis yang disebut Dewi Merak Putih oleh Gagak Sudra. Klabangsura dan Klabangyuda yang tidak mengira jika Moza tahu perihal Dewi Merak tidak bereaksi. Lagipula jarak mereka dengan hutan kecil itu masih cukup jauh. Mereka baru sadar ketika Moza mulai menghimpun tenaganya.
Cahaya putih kehijauan berpendar dari seluruh tubuh Moza. Karena ini adalah urusan hidup dan mati, Moza mengeluarkan seluruh kekuatannya. Energinya berhasil membuat Klabangyuda dan Klabangsura melepaskan diri dari kedua tangannya.
"Jangan paksa kami berbuat kasar, Tuan Putri. Segera tarik kembali energi itu, atau kami akan menyerangmu," ancam Klabangsura.
"Hidup atau matiku akan kuputuskan di sini, Klabangsura. Menyingkirlah dari jalanku."
Klabangsura menggeram. Ia menoleh pada Klabangyuda. Saat melihat temannya itu mengangguk, Klabangsura pun mulai menyerang. Tubuhnya merayap cepat ke arah Moza. Sabit beracunnya terayun dan menyambar tanpa henti seperti peluru. Moza pun berusaha mengimbangi serangan itu sebisa mungkin dengan ilmu yang selama ini diserapnya dari Mak Ina dan guru-guru yang lain.
Klabangyuda sendiri masih belum bergerak. Manusia licik itu menunggu hasil pertarungan Moza dan Klabangsura. Jika Moza sampai mati, ia tak ingin bertanggungjawab atas kematiannya. Sebaliknya, jika Klabangsura yang kalah, ia akan memiliki kesempatan untuk menyingkirkan salah satu saingannnya.
Dalam ilmu kanuragan, bakat Moza memang tak sebaik yang lain. Hatinya terlalu baik untuk melukai pihak lain. Karena itulah saat di lembah, Mayangkara lebih banyak memberi tuntunan tentang pengolahan dan pengendalian energi daripada jurus-jurus beladiri. Mayangkara paham jika untuk orang seperti Moza yang dibutuhkannya adalah energi pelindung yang besar.
Sama seperti saat menghadapi Wanara Gimbal. Moza memilih untuk meloncat mundur dan duduk bersila. Sebagai senjata, ia menggunakan sebatang ranting yang ada di sekitar tempat itu. Setiap serangan yang dilakukan Klabangsura harus pasrah tertahan oleh ranting terbang yang dikendalikan Moza.
"Klabangyuda, ayo bergerak! Jangan diam saja kau!" teriak Klabangsura.
Klabangyuda masih belum mau bergerak. Beberapa manusia serangga lain kemudian muncul di tempat itu. Dari jenisnya, Klabangyuda tahu mereka adalah pasukan milik Nyi Sembur.
"Nyi Sembur memerintahkan untuk menangkap gadis itu hidup atau mati, Klabangyuda," ucap seorang wanita bertubuh laba-laba yang bernama Rara Wulung.
"Tapi kata Ki Samber ..."
"Saat gadis itu memberontak, kepemilikannya beralih ke Nyi Samber. Itu perjanjian mereka."
"Sekarang mundurlah kalian. Biar kami yang akan mengurus gadis binal itu."
Klabangsura pun menghentikan serangannya. Lima manusia laba-laba yang dipimpin oleh Rara Wulung lalu mengepung Moza. Tubuh mereka berubah menjadi lima wanita yang bersenjata cambuk. Setelah Rara Wulung memberi aba-aba, cambuk mereka bergantian melecut Moza.
Ledakan demi ledakan terdengar saat ujung cambuk-cambuk itu membentur energi pelindung Moza. Diserang terus menerus, Moza pun harus berjuang keras agar bisa bertahan. Hal itu menyebabkan energinya dengan cepat terkuras. Meski lembut, energi dari kelima cembuk itu berhasil menyusup dan menyerang Moza.
Di tengah kondisi yang tidak menguntungkan itu, sebuah hal yang mengejutkan terjadi. Gagak Sudra dan lusinan manusia serangga lain yang tinggal di pemukiman kumuh tiba-tiba muncul dan menyerbu tempat itu. Manusia-manusiabertubuh separuh semut, kecoak, dan belalang yang bersenjata seadanya itu menyerang Klabangyuda, Klabangsura, dan kelima pengawal Nyi Sembur dengan membabibuta.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...