pertempuran nusa karang (2)

3.6K 310 10
                                    

Kepungan prajurit Nusa Karang semakin menyempit. Ajeng menajamkan mata, dia sedang menunggu saat yang tepat untuk melakukan serangan. Ketika jarak mereka sudah benar-benar dekat, merak putih itu memejamkan mata matanya dan melepaskan ilmu Suryapanah.

Ribuan cahaya putih melesat ke segala arah. Setiap benda yang ditembus dan dihantam oleh cahaya itu segera terbakar dan menjadi abu. Jerit kesakitan terdengar dari seluruh penjuru hutan. Ki Samber dan Nyi Sembur yang berada di tepi hutan segera memasang energi pelindungnya. Mereka tahu jangkauan panah cahaya itu tergantung pada kekuatan penggunanya.

Kekhawatiran Raja dan Ratu Nusa Karang itu tidak berlebihan. Ratusan panah cahaya Ajeng ternyata mampu mencapai tempat mereka. Korban pun berjatuhan. Prajurit-prajurit kelas rendah kembali menjadi tumbal keserakahan para penguasa yang zalim. Semua panah cahaya itu akhirnya lenyap, keadaan hutan pun kembali sepi.

Macan Langit, Panglima Lilen, dan Senopati Gung turun dari angkasa. Mata ketiganya bersinar penuh amarah. Dari sekian banyak kelompok penyerang, anak buah mereka adalah korban terbanyak dari keganasan Suryapanah. Bersama Sogawisa serta pemimpin kelompok lain, mereka mendekati tempat persembunyian Ajeng dan Moza.

Di tempat persembunyiannya, Moza sedang menyalurkan sisa energinya pada Ajeng yang telah kehilangan semua bulunya. Energi Wijaya Kusuma pelan-pelan membuat bulu-bulu halus di tubuh Ajeng tumbuh. Setelah itu, Moza pun pingsan.

Berita pertempuran di Nusa Karang membuat Timur dan semua yang bersamanya di Panyigar gelisah dan putus asa. Pupus sudah harapan mereka untuk menolong Moza.

"Apapun yang terjadi, kita harus tetap ke Nusa Karang, Mur," usul Johan.

"Johan benar, Mas. Kita belum tahu Moza selamat atau tidak. Di samping itu masih ada Mak Ina yang harus kita tolong." Iis menambahkan.

Moza jelas belum tewas. Setidaknya sampai Gundala Wereng melakukan pertukaran," ucap Condromowo.

"Aku sudah mencoba meminta bantuan Raja Ular Selatan, tapi ia menolaknya. Pengecut itu benar-benar oportunis. Kelihatannya ia akan menyerang Nusa Karang setelah terjadi pertukaran." Nagawira ikut berbicara.

"Jika sampai pagi nanti kita masih tertahan di sini, aku akan menerobos masuk. Persetan dengan aturan."

Timur menatap Candrasa. Mata ular yang mewujud pemuda itu seolah mengeluarkan api berwarna biru.

"Aku akan ikut bersamamu, Sa," ucap Timur.

"Kami juga akan ikut, Mur." Alit berbicara mewakili Johan, Iis, dan Ribka.

"Tunggu dulu. Kita di sini itu satu kelompok. Bagaimana dengan Nagawelang dan anak buahnya? Mereka pasti akan ikut menanggung perbuatan yang kalian lakukan."

"Pikirkan baik-baik sebelum bertindak. Jangan sampai langkah kalian merugikan pihak lain." Nagatirta memberi nasehat.

Candrasa menundukkan kepala. Ucapan Nagatirta membuatnya malu. Menerobos masuk tanpa memikirkan akibatnya pada rombongan Pulau Ular Utara jelas sebuah tindakan yang egois.

Di tengah kebuntuan itu, Tumenggung Cangak dan Senapati Lorjawi memasuki ruangan.

"Kapal kalian bisa berangkat sekarang. Entah bagaimana ceritanya, tapi salah satu bangsawan bersedia mengundang kalian masuk," ucap Tumenggung Cangak sambil menyerahkan undangan dan langsung pergi.

Semua yang ada di ruangan itu kebingungan. Setiap orang bertanya-tanya siapakah bangsawan yang dimaksud oleh Tumenggung Cangak. Apa alasan dan tujuan bangsawan itu mengundang mereka masuk adalah pertanyaan selanjutnya.

"Siapa bangsawan itu, kita cari tahu nanti saja. Sekarang yang penting adalah segera kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan." Condromowo bergegas berdiri dan langsung pergi setelah mengucapkan itu. Tanpa banyak kata, semua orang mengikuti langkahnya.

Ketika rombongan Nagawelang yang dikawal lima prajurit Laut Selatan meninggalkan Panyigar, kapal Gundala Wereng telah merapat di Nusa Karang. Ular hitam yang kini berwujud pemuda berpakaian serba hitam dengan memakai mahkota serta bersenjata sebilah pedang di pinggang itu segera menyusul Ki Samber dan Nyi Sembur yang menunggunya di tepi hutan. Mak Ina berada di belakangnya. Perempuan itu berada dalam sebuah kerangkeng yang dipikul oleh empat manusia buaya.

Ki Samber dan Nyi Sembur langsung menyambut kedatangan Gundala Wereng. Keduanya menjabat tangan jin yang akan bertransaksi dengan mereka itu.

"Malam yang meriah rupanya, Ki. Dari jauh, aku tadi melihat banyak kembang api yang meluncur dari pulau ini."

"Hanya hiburan sederhana untuk menyambut kedatanganmu, Wereng," ucap Ki Samber.

"Bagaimana kesepakatan kita? Apakah masih berlaku?" tanya Gundala Wereng.

"Tunggulah sebentar lagi. Pasukanku sedang menjemput gadis itu. Di mana mahkota yang satunya?"

Gundala Wereng menoleh ke belakang. Seorang prajurit ular berjalan mendekat dengan membawa sebuah kantong. Ia lalu menyerahkan kantong itu kepada Gundala Wereng.

"Ini mahkota dan stempel Kerajaan Buaya itu, Ki."

"Stempel Pulau Ular? Tanpa benda itu mahkota hanya akan menjadi simbol tanpa kuasa, kan?" tanya Nyi Sembur.

Manusia ular hitam itu tersenyum. Ia mengulurkan tangan kanannya untuk menunjukkan sebentuk cincin yang terpasang di jari manis.

"Aku tahu peraturannya, Nyi. Lagipula ada lima prajurit Laut Selatan yang ikut untuk menjadi saksi dalam pertukaran ini. Aku tentu tidak ingin mereka memanggil pasukan bantuan untuk menyerangku karena menipumu."

Ketiga penguasa itu lalu menunggu kedatangan prajurit yang membawa Moza dari dalam hutan. Namun sampai matahari terbit dan hari berubah terang, gadis yang mereka tunggu itu tak kunjung muncul juga. Sampai akhirnya anak buah Senapati Gung datang menghampiri mereka.

"Mengapa lama sekali?! Apa harus aku sendiri yang masuk ke sana untuk mengambil gadis itu?!"

"Ampun, Ki. Seorang pemuda tiba-tiba saja muncul dan menghalangi tugas kami. Saat ini Senapati Gung dan yang lain sedang bertarung dengan dia."

"Bagaimana ciri-ciri pemuda itu?" tanya Gundala Wereng.

Prajurit itu lalu menceritakan rupa dan perawakan pemuda yang sedang bertarung dengan Senapati Gung dan para pemimpin pasukan yang lainnya. Seusai mendengar keterangan itu, Mata Gundala Wereng yang merah menjadi semakin membara.

"Berapa nyawa yang dimiliki bocah itu. Bagaimana juga ia bisa muncul di sini?"

"Kau mengenalnya, Wereng?" tanya Ki Samber.

"Namanya Mi'an, dia kekasih gadis itu."

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang