Pertempuran Nusa Karang (3)

3.7K 316 10
                                    

Saat Moza dan Ajeng siuman pagi itu, pertempuran sengit sedang berlangsung di depan mereka. Tiga pemuda berhadapan dengan dua belas pemimpin pasukan dari Nusa Karang. Melihat Moza tersenyum, Ajeng paham siapa pemuda yang sedang bertarung dengan gagah itu.

"Itukah Mi'an, Za?"

"Benar, Jeng. Rupanya dia berhasil datang ke pulau ini tepat pada waktunya."

"Ayo, Jeng, kita pulihkan kekuatan. Siapa tahu kita juga harus bertempur lagi."

Sogawisa, Dewi Lurik, Macan Langit, Panglima Lilen, Senopati Gung, dan para pemimpin pasukan penyerbu lain tak pernah menyangka jika Mi'an akan muncul. Pemuda itu langsung menyerang saat mereka akan memasuki gua tempat Moza dan Dewi Merak bersembunyi. Sisa prajurit yang datang membantu habis terbantai dalam waktu yang singkat.

Tombak Mi'an yang berhadapan dengan lima lawan bergerak cepat. Seperti nama ilmunya, bilah Catur Tunggal menusuk-nusuk serupa tetes air di derasnya hujan. Sementara itu, dua bayangannya yang bersenjata keris Naga Siluman dan pedang pipih yang tersimpan di gagang tombak Catur Tunggal juga bertempur tak kalah ganasnya.

Sogawisa yang bertempur berpasangan dengan istrinya bersama Raja Tula dan Rondo Melis, pemimpin dari kelompok laba-laba, harus sangat berhati-hati menghadapi bayangan Mi'an yang bersenjata keris Naga Siluman. Mereka sudah menyaksikan kemampuan keris yang bisa membuat korban tusukannya berubah menjadi arang itu. Hal yang sama juga terjadi pada jin-jin yang melawan bayangan Mi'an yang lain. Pedang Galih Panunggal memburu mereka seperti angin ribut.

Tak lama kemudian, Ki Samber, Nyi Sembur, Gundala Wereng, dan pasukan mereka hadir di palagan. Pasukan gabungan itu lalu mengepung tempat itu, sementara Ki Samber, Nyi Sumber, dan Gundala Wereng duduk menyaksikan pertarungan dengan ditemani para pemimpin pasukan yang tersisa.

Kehadiran mereka membuat Mi'an khawatir. Ia bertekad untuk segera menyelesaikan pertarungan itu. Jurus-jurus utama dari ilmu tombak Udan Wayah Rendeng pun dimainkannya. Gerakannya berubah menjadi semakin cepat dan ganas. Tusukan demi tusukan dilancarkannya hanya untuk satu tujuan, menghentikan lawannya secepat mungkin.

Korban pertama adalah Senopati Gung. Pemimpin kelompok tawon yang juga bersenjata tombak ini harus menyerah saat ujung tombak Mi'an menembus dadanya. Tubuh Senopati Gung langsung terkapar dan kemudian lenyap. Selanjutnya giliran Panglima Lilen, Macan Langit, Ki Royokadung, dan Dewi Sewutapak yang menyusul kemudian.

Sogawisa dan yang lain pun akhirnya kalah juga. Mi'an lalu menyatukan tubuhnya kembali dan berdiri di depan gua sambil menunggu pergerakan Ki Samber dan Gundala Wereng.

"Pemuda itu yang hebat, atau pasukanmu yang memang lemah, Ki Samber?" ejek Gundala Wereng.

Ki Samber menggeram. Ia dan istrinya lalu turun dari kalajengking yang selalu ditungganginya.

"Kalasapta, Kaladahana, bunuh pemuda itu," perintahnya.

Seketika itu juga, dua kalajengking itu berubah menjadi manusia tinggi besar berpakaian serba hitam. Kalasapta bersenjata pedang 'urumi' dengan tujuh bilah tajam. Sementara Kaladahana menggenggam cambuk bunga mekar yang ujungnya bercabang banyak. Tanpa suara, mereka langsung mendekati Mi'an.

Melihat senjata mereka, Mi'an tahu jika keduanya adalah ahli pertempuran jarak jauh. Senjata-senjatanya tak akan banyak berguna jika harus menghadapi cambuk dan pedang sepasang kalajengking itu. Saat sedang memikirkan cara untuk melawan kedua senjata itulah, sebuah benda melayang ke arahnya. Dengan sigap, Mi'an menangkap benda itu. Saat menoleh, ia melihat Moza sedang berdiri sambil tersenyum.

Benda yang dilemparkan Moza ternyata adalah cambuk Rara Wulung yang dipungutnya dalam pertempuran terdahulu. Di tangan Mi'an, cambuk itu berubah warna menjadi putih kebiruan. Ingin segera menuntaskan urusan, Mi'an memilih untuk menyerang lebih dahulu.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang