Malam itu Iis tak bisa tidur. Kamarnya terasa panas. Ac yang terpasang di sana seolah tak berguna. Entah mengapa dadanya juga berdebar-debar. Takut, gadis itu lalu menelpon Alit.
"Halo, ada apa, Is?"
"Perasaanku kok tidak enak ya, Mas? Tidak biasanya seperti ini."
"Hawanya memang sedang panas, Is. Tapi baiklah, aku akan ke sana."
Perasaan Iis sedikit lebih tenang mendengar Alit akan datang. Namun saat ia menoleh ke jendela, wajahnya langsung pucat pasi. Seekor ular hitam sebesar pohon kelapa tampak sedang menatapnya di halaman. Di samping ular itu berdiri seseorang dengan menggunakan jubah bertudung. Meski dilanda ketakutan, Iis masih sadar jika keselamatannya terancam. Dengan tangan yang masih gemetar, ia mengambil pistol dinasnya. Apapun yang terjadi, Iis sudah bertekad untuk tidak menyerah tanpa perlawanan.
Alit hampir saja terjatuh dari motor ketika melihat Gundala Wereng dan Mbah Sirna di halaman rumah Iis. Penampakan Nagasari saja sudah mengerikan, apalagi yang dilihatnya berukuran jauh lebih besar dari ular Mbah Lawu tersebut. Tapi mengingat yang akan menjadi korban adalah Iis, Alit mengabaikan semua ketakutannya. Motor yang dinaikinya segera melaju memasuki halaman.
Mbah Sirna terkekeh melihat Alit berdiri menghadangnya. Jarak mereka kira-kira limabelas meter.
"Apakah kau datang untuk mengantarkan nyawamu, Bocah?!"
"Nyawaku bukan untuk gratisan, keparat!"
"Sombong sekali bocah bau kencur ini, Wereng. Padahal untuk camilanmu saja dia belum pantas," ucap Mbah Sirna.
"Kita selesaikan saja pemuda itu secepatnya, Na. Ingat, ada banyak orang lain yang juga menginginkan gadis itu," bisik Wereng.
"Apa kau tidak merasakan kita sedang diawasi? Ada tiga orang yang berada di seberang tempat ini."
"Aku tahu itu. Tapi kekuatan mereka tidak seberapa. Kita tidak perlu khawatir soal itu, Reng."
"Jangan bodoh, Na. Kau tahu Talipicis, kan? Bisanya bisa membuat celaka ular-ular tangguh yang meremehkannya."
"Baiklah, ayo kita selesaikan urusan di tempat ini. Kau atau aku yang akan melumat bocah itu?"
"Kau saja, Na. Aku akan mengawasi kecoak-kecoak yang bersembunyi itu."
Mbah Sirna lalu merapal mantra. Asap keluar dari mulutnya yang terbuka. Gumpalan-gumpalan asap itu kemudian menjelma menjadi tiga makhluk berekor seukuran anak-anak. Kepala mereka botak, bertanduk, bermata satu, berhidung pesek, dan bertelinga lancip. Deretan gigi runcing memenuhi mulut makhluk-makhluk itu. Sementara kaki dan tangannya dihiasi oleh kuku melengkung panjang yang lancip.
"Sudah lama aku tidak memberi makan kalian anak-anak. Sekarang nikmatilah pemuda di depan kalian itu," perintah Mbah Sirna.
Ketiga makhluk itu meloncat ke arah Alit. Tiba-tiba saja terdengar suara tembakan. Salah satu makhluk itu terjatuh ke tanah. Iis ternyata telah berada di luar rumah dengan senjata teracung ke depan. Tubuh makhluk yang tumbang bergetar. Tak lama kemudian dia terbelah menjadi dua makhluk yang serupa. Mbah Sirna tertawa saat melihat pasukannya kini menjadi empat.
"Mereka pikir 'prewanganku' selemah itu," bisiknya.
Alit melepaskan tali yang selama ini melilit pinggangnya. Meski belum matang, ia yakin ilmu yang sempat dipelajarinya dari sang kakek itu pasti akan ada manfaatnya. Jarak antara dirinya dengan makhluk-makhluk Mbah Sirna semakin dekat.
"Masuk ke rumah, Is! Cepat hubungi Timur dan Johan. Katakan ini masalah hidup dan mati kita!" teriaknya pada Iis.
Makhluk-makhluk itu mengepung Alit. Lidah mereka keluar-masuk seolah tak sabar untuk menikmati daging Alit. Seolah sehati, keempatnya menyerang bersamaan. Sambil berloncatan menghindar, Alit memutar-mutar talinya. Sesekali ia menyerang makhluk itu. Namun setiap ujung talinya berhasil menumbangkan salah satu makhluk itu, ia berubah menjadi dua.
Semakin lama jumlah makhluk yang mengepung Alit semakin banyak. Tubuhnya juga sudah dipenuhi oleh luka-luka bekas kuku tajam mereka. Alit tahu ia tak akan memenangkan pertarungan itu. Namun ia tidak menyesal, mati untuk menyelamatkan seseorang yang dicintai bukanlah sebuah hal yang memalukan. Satu hal yang disesalinya adalah ia tidak sempat berpamitan dengan keluarganya.
"Andai waktu itu serius belajar, tentu aku tidak akan selemah ini. Kakek, maafkan cucumu yang bodoh ini," bisik Alit sebelum jatuh pingsan.
Belasan makhluk itu menghentikan serangannya. Mereka kemudian mulai menyatukan diri dan kembali menjadi tiga. Pelan-pelan ketiganya mendekati tubuh Alit. Saat jarak mereka tinggal beberapa langkah lagi, terdengar suara ledakan keras memekakkan telinga.
"Aku tidak pernah bersilang langkah denganmu, Pemuja Ular. Mengapa kau ganggu cucuku?" ucap seorang laki-laki berpakaian serba hitam.
Mbah Sirna menatap sosok yang baru datang itu. Seluruh rambut, kumis, dan jenggot laki-laki itu telah memutih. Tangannya memegang tali serupa dengan yang dibawa Alit. Bedanya, di tali itu samar terlihat loncatan-loncatan energi yang membuat tangan itu seolah memegang petir. Mbah Sirna tahu ia tak bisa memandang sebelah mata orang tua itu.
"Cucumu menghalangi jalanku, Pak Tua."
"Meski demikian, apa pantas kau berhadapan dengan seorang bocah? Kolor cucuku mungkin memang belum bisa melumatkan jin-jin laknatmu itu. Tapi mari kita coba dengan kolorku."
"Kau pikir bisa menghadapi kami berdua, Pak Tua?! Kau terlalu sombong!"
"Siapa bilang aku hanya berdua?"
Gundala Wereng mendesis keras. Seekor harimau dengan ukuran raksasa tiba-tiba saja muncul dari kegelapan.
"Ini tidak bagus, Na. Kekuatan harimau itu tidak bisa kuremehkan," bisiknya pada Mbah Sirna.
Sebuah mobil yang mendadak berhenti tak jauh dari tempat itu membuat perhatian mereka teralih. Dari mobil Timur dan Johan berlari mendekati Alit. Pedang kayu nibung di tangan Timur seperti mengeluarkan api. Johan sendiri bersenjatakan sebilah keris corok yang memendarkan cahaya kehijauan.
"Kalian bawa pergi Alit. Biar aku yang menghadapi manusia ular itu," perintah kakek Alit saat Timur dan Johan tiba.
"Baik, Kek," jawab keduanya sambil menggotong tubuh Alit.
Mbah Sirna memaki dalam hati. Jika hanya Timur dan Johan, ia yakin mampu mengatasinya. Namun kemunculan orang tua dan harimau itu membuat segala sesuatunya berubah. Mau tak mau, ia harus menghitung ulang kekuatannya.
"Bagaimana menurutmu, Reng?"
"Kau yakin mampu menghadapi orang Ponorogo itu, Na?"
"Jika sendirian mungkin bisa. Tapi bila kedua bocah itu ikut campur, situasinya akan sedikit sulit."
"Kalau begitu kita pergi saja. Konyol rasanya jika harus mati gara-gara barang yang sudah tak ada."
"Maksudmu, Reng?"
"Aku jelaskan nanti. Ayo kita pergi."
Mbah Sirna membuka mulut. Tiga jin peliharaannya itu berubah menjadi asap dan masuk kembali ke tubuhnya.
"Aku akan pergi, Pak Tua. Tapi jangan pikir karena aku takut kepadamu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan malam ini."
"Terserah kau saja, Pemuja Ular. Jika kau mau bertarung, aku akan melayanimu."
"Mungkin kalau sudah senggang nanti aku akan mengunjungimu, Pak Tua."
Setelah Mbah Sirna lenyap, kakek itu menghampiri Johan dan Timur yang sedang menjaga Alit. Diangkatnya tubuh Alit ke punggung harimau.
"Aku akan bawa dia bersamaku. Semoga saja teman kalian ini masih bisa bertemu kalian lagi."
Mereka lalu menghilang. Johan dan Timur segera memasuki rumah untuk mencari Iis. Tapi setelah memeriksa ke seluruh ruangan, Iis tak mereka temukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...