Mbah Sirna bisa merasakan hawa panas yang memancar keluar dari pedang Condromowo. Kehadirannya bersama Candrasa dan Taligeni yang sekarang sedang bertarung dengan Sosromolo adalah sebuah bencana.
"Perintahkan kedua jenglot itu untuk berhenti bertarung, Sirna. Kau tahu kemampuan Candrasa dan Taligeni, cepat atau lambat mereka akan membunuhnya. Jadi untuk apa membuang-buang tenaga?“
Mbah Sirna tak punya pilihan. Selain pedang Condromowo, di depannya Nagawira dan kedua anaknya berdiri dengan senjata terhunus. Mata mereka menyala penuh amarah. Sementara dua jenglotnya juga belum terlihat mampu mendesak Candrasa dan Taligeni.
Di saat ia akan memerintahkan Sosro untuk menyerang, tiba-tiba terdengar suara ledakan. Condromowo, Candrasa, dan semua yang ada di sana tentu terkejut. Kesempatan itu digunakan Mbah Sirna untuk melarikan diri. Dengan cepat tubuhnya menghilang di kegelapan hutan. Dua jenglotnya menyusul kemudian.
Condromowo, Candrasa, Taligeni, dan keluarga Nagawira yang lebih khawatir pada suara ledakan memilih untuk kembali ke tempat Mi'an berada. Sesampainya di sana, mereka disambut dengan pemandangan yang mengerikan. Sebuah lubang besar menganga di lokasi pertarungan Moza dan Wanara Gimbal.
Tubuh monyet itu sendiri telah menghilang, sementara Mi'an dan Moza tergeletak di tanah. Asap terlihat masih mengepul dari tubuh keduanya. Ribka dan Iis lebih beruntung, meski tergeletak, tubuh mereka tak berasap. Tampaknya mereka hanya mengalami luka dalam ringan akibat terkena sengatan energi nyasar.
"Gundala Wereng yang menyerang. Ia menembakkan bola energinya ke tengah pertarungan Moza dan Wanara Gimbal. Mi'an yang berusaha menghadang justru terlempar ke tengah energi tersebut," cerita Nduk yang baru saja datang. Tubuhnya yang berada di dekat Moza membuatnya terlempar agak jauh dari lokasi.
"Ini gawat, tubuh Mi'an dihajar oleh tiga kekuatan yang berbeda. Mudah-mudahan Tuhan memanjangkan umurnya," bisik Taligeni.
"Nduk, Nagawisa, kalian periksalah Moza, Iis, dan Ribka. Kami akan melihat keadaan Mi'an." Taligeni bergegas menyusul Condromowo, Nagawira, dan Candrasa yang telah bergerak lebih dulu.
Melihat wajah Candrasa dan Condromowo yang murung, jantung Taligeni berdebar semakin cepat. Kekhawatirannyaternyata menjadi kenyataan. Benturan energi Moza, Wanara Gimbal, dan Gundala Wereng tak mampu ditahan oleh kekuatannya. Darah yang keluar dari seluruh lubang tubuh adalah tanda jika seluruh organ dalamnya telah terluka.
"Mengapa kalian tidak membantunya? Salurkan energi kalian."
"Sia-sia, Taligeni. Seluruh aliran energinya kacau. Sisa dari benturan itu menyebabkan sebagian energi Moza, Wanara Gimbal, dan Gundala Wereng terjebak di tubuhnya. Ketiga energi itu ditambah energi Mi'an sendiri kini sedang bertarung satu sama lain untuk saling menguasai." Condromowo menjawab pertanyaan Taligeni.
"Bukan mustika itu ada padamu, Ndra? Mengapa tak kau gunakan? Atau jangan-jangan kau ingin memilikinya?"
"Jangan berkata seperti itu, Kek?! Condromowo tak mungkin sepicik itu!" seru Candrasa yang merasa ucapan Taligeni sudah keterlaluan.
"Tidak apa-apa, Sa. Aku memahami kecurigaan Taligeni."
Condromowo lalu mengeluarkan mustika Wijaya Kusuma dan meletakkannya di tanah.
"Ini mustikanya. Tapi sebelum menggunakan benda itu pada Mi'an, aku ingin mengingatkan jika mustika iitu adalah milik Moza."
"Dia pasti rela jika kita gunakan mustika itu untuk menyelamatkan Mi'an," ucap Taligeni.
"Aku yakin itu. Tapi bagaimana jika Moza juga membutuhkannya? Apa yang akan kita katakan pada Mi'an saat ia terbangun nanti dan tahu jika ia diselamatkan oleh kematian Moza?"
Taligeni terdiam. Kata-kata Condromowo benar-benar membuatnya terjebak dalam dilema.
"Kata-katamu benar, Ndra. Jika kejadiannya memang seperti itu, bisa-bisa yang dilakukan Mi'an adalah menyesali diri seumur hidupnya. Cinta itu memang selalu membingungkan."
"Sekarang biar Mi'an di sini dijaga oleh Candrasa dan Nagawira. Kita lihat saja kondisi Moza. Baru setelah itu kita tentukan untuk siapa mustika Wijaya Kusuma."
"Usul yang bagus, Ndra."
Taligeni dan Condromowo segera menuju tempat Moza terbaring. Nagawisa hanya menggelengkan kepala saat Taligeni menatapnya. Meski tak separah Mi'an, luka-luka Moza juga mengkhawatirkan.
"Apa yang harus kita lakukan, Ndra?" tanya Taligeni.
"Mustika itu milik Moza." jawab Condromowo.
"Baiklah, aku setuju."
Condromowo lalu mengeluarkan kantong macan dari kotak. Kemudian disobeknya kantong itu. Sebuah benda berkilauan yang ada di dalamnya segera dimasukkan ke mulut Moza. Semua menjauh saat tubuh Moza tiba-tiba saja diselimuti cahaya.
Kilic yang datang bersama dua adiknya turun di samping Candrasa. Tubuh ketiganya terluka di banyak tempat. Tak lama kemudian Jathayu dan Musang api juga ikut muncul juga. Kondisi mereka juga tidak jauh berbeda dengan Kilic.
"Ular itu memang hebat. Kami kesulitan untuk memangkapnya,' bisik Kilic.
"Apalagi Mak Ina juga ada di tangannya." Musang Api ikut berbicara.
"Di mana adikmu yang lain, Tuan Kilic? Bukankah kalian tadi berempat?"
"Ular itu menelan salah satu adikku, Tuan Nagawira. Tampaknya aku harus lebih lama tinggal di tempat ini untuk menagih utang itu pada Gundala Wereng."
Candrasa hanya terdiam. Melihat tubuh Moza yang diselimuti cahaya, ia tahu mustika Wijaya Kusuma telah digunakan. Itu artinya Mi'an lah yang harus bernasib sial. Tanpa sadar air matanya pun menetes.
"Aku pasti akan mencarimu, Wereng. Jika bukan kau yang mati, maka akulah yang pasti mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...