Sepeninggal Ki Samber dan pasukannya, hutan merak menjadi sepi. Mi'an menghampiri Moza dan Ajeng yang berada di gua. Setelah memastikan keduanya baik-baik saja, ia keluar dan berjaga di mulut gua sambil berusaha mengembalikan kekuatannya. Sedikit demi sedikit diserapnya energi yang berada di tempat itu. Pertarungan yang berulangkali terjadi membuat ketiga tompel yang ada di dadanya kembali melebar. Meski tak separah sebelumnya, tapi hal itu tetap mengganggu aliran energinya.
Tak lama kemudian, rombongan Nagawelang datang. Hutan itu seolah menjadi tempat reuni. Iis, Nduk, Ribka segera membantu Moza dan Ajeng di gua, sementara Timur, Alit, Johan, Candrasa, dan Condromowo menemui Mi'an.
"Bagaimana lukamu, An?" tanya Candrasa.
"Sudah lumayan. Cuma pertempuran kemarin menguras banyak energi ku, Sa. Akibatnya ketiga tompel itu melebar lagi."
"Coba lihat?" Condromowo meminta Mi'an menunjukkan lukanya.
Tiga tompel yang awalnya sebesar koin itu kini telah melebar menjadi sebesar tutup gelas.
"Coba panggil Taligeni dan Nagawira ke mari, Sa."
"Baik, Ndra."
Taligeni dan Nagawira pun hadir. Atas permintaan Condromowo, keduanya memeriksa tompel Mi'an.
"Bagaimana menurut kalian? Apakah kayu itu bisa membantunya?"
"Pasti bisa, tapi apakah bisa menyembuhkannya, itu yang belum dapat dipastikan," jawab Nagawira.
"Kalau begitu kita coba saja. Berhasil atau tidak, itu urusan nanti," usul Candrasa.
"Tidak usah, Sa. Kita masih belum tahu bagaimana caranya keluar dari tempat ini. Kayu itu lebih baik digunakan untuk keadaan darurat saja." Mi"an menolak usul Candrasa.
"Tapi, An ...?"
"Ingat pesan Mayangkara, Sa. Kekuatan sejati harus berasal dari dalam diri sendiri. Benda-benda itu hanya bantuan saja dan tidak boleh menjadi kekuatan utama. Pertemuanku dengan Ki Selowukir juga menegaskan hal itu."
"Aku bertekad untuk menaklukkan tiga tompel ini dengan kekuatanku sendiri, Sa. Kau tenang saja, aku yakin akan bisa melakukannya."
Kehadiran gadis cantik yang dikawal dua orang berseragam emas dan perak membuat semua yang ada di tempat itu bersiaga.
"Tidak apa-apa. Semua tenang. Tuan Putri ini yang tadi membantuku saat menghadapi Ki Samber dan pasukannya!" seru Mi'an.
Gadis itu ternyata adalah Ganggang Wilis. Ia dan kedua pengawalnya lalu menghampiri Mi'an.
"Selamat datang, Putri. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terimakasih untuk apa yang sudah Putri lakukan. Perkenalkan, nama saya, Mi'an."
"Tidak usah berterimakasih. Aku hanya tidak suka melihat cara bertarung seperti itu. Di mana gadis merak dan gadis yang satunya lagi?"
"Ada di dalam gua, Putri."
"Aku akan ke sana. Oh iya, namaku Ganggang Wilis. Kalian panggil saja, Wilis."
"Paman Suroemas dan Suroperak, kalian tunggu saja di sini."
Kedua pengawal itu mengangguk. Mereka lalu duduk bersama Mi'an dan yang lain. Nagatirta yang datang kemudian menepuk pundak Suroemas.
"Sepasang hiu selatan ternyata masih hidup rupanya," ucapnya sambil ikut duduk di samping Nagawira.
Suroemas dan Suroperak mengamati Nagatirta. Keduanya berusaha mengingat siapa kakek yang sedang duduk di depan mereka itu.
"Bukankah Tuan ini, Nagatirta? Pengawal dari utusan Pangeran Sabrang?" tanya Suroemas.
"Matamu ternyata masih awas, Suroemas," jawab Nagatirta.
"Jadi sekarang anda mengabdi pada pemuda ini?" tanya Suroperak.
"Tidak ada hamba dan tuan di sini, Suroperak. Kami adalah teman."
"Teman? Jangan bercanda, Nagatirta. Dunia manusia lebih kacau dari dunia kita. Mereka yang berkuasa berusaha memperbudak siapapun yang bisa diperbudaknya," ucap Suroemas.
"Suroemas benar. Aku melihat sendiri hal-hal keji yang dilakukan manusia pada semesta dan sesamanya hanya demi kekuasaan dan kekayaan." Suroperak ikut berbicara.
"Laut, tanah, sungai, dan bahkan langit mereka rusak dengan berbagai macam cara. Saat alam mencoba memperbaiki keseimbangan dirinya, mereka bilang bencana. Manusia-manusia itu tidak sadar jika sebagian besar bencana itu adalah ulah mereka sendiri."
"Itu karena mereka menuhankan otaknya, Suroperak. Orang-orang itu tidak tahu betapapun jauh pencapaian mereka, semesta pasti akan menciptakan lawan yang sebanding. Obat-obat baru ditemukan, penyakit-penyakit baru pasti akan bermunculan juga. Itu hanya sebuah contoh sederhana saja," ucap Nagatirta.
"Ah, sudahlah. Tak akan ada habisnya kita membahas manusia dan keserakahannya, Nagatirta. Sebenarnya ada urusan apa di Nusa Karang ini? Kenapa sampai Ki Galih Segara sendiri yang harus datang ke sini?"
Nagatirta lalu menceritakan soal Gundala Wereng, Moza, dan Ki Samber yang ingin menjadi penguasa Pulau Ular Utara dan Buaya.
Suroemas dan Suroperak akhirnya paham mengapa Istana Selatan mengirimkan mereka."Situasinya ternyata lebih rumit dari kusangka, Nagatirta. Pantas saja ada utusan Istana Utara di keraton," ucap Suroemas.
"Istana Utara juga akan datang?" tanya Taligeni.
"Kemungkinan besar perwakilan utara pasti hadir. Jika pertukaran ini berhasil, maka Ki Samber akan bebas menggerakkan pasukannya di utara dan selatan. Ia berhak juga mendapat perlindungan dari dua keraton. Bayangkan kekacauan yang akan terjadi. Ini kalau di dunia manusia seperti orang yang memiliki dua kewarganegaraan." Suroemas menjelaskan.
"Jadi kedua istana tidak menyetujui pertukaran ini. Tapi mengapa mereka membiarkannya?" tanya Mi'an.
"Ada peraturan yang harus dipatuhi. Setiap penguasa laut tidak bisa menyerang kerajaan yang ada di wilayahnya kecuali mereka memberontak. Penyerahan Pulau Ular dan Buaya adalah sebuah kesepakatan. Karena itu keraton tak bisa berbuat apa-apa," jawab Suroperak.
Sementara Mi'an sedang berdiskusi dengan Suroperak dan Suroemas, Ganggang Wilis mencoba mengobati Moza dan Ajeng. Iis, Nduk, dan Ribka hanya bisa terkagum-kagum saat melihat satu per satu bulu Ajeng tumbuh. Moza sendiri tidak begitu membutuhkan bantuan. Energi dari mustika Wijaya Kusuma sudah bisa mengobati luka-lukanya.
"Mengapa Putri membantu kami?" tanya Ajeng.
"Aku tidak suka seorang wanita dianggap sebagai dagangan. Jika tidak terikat peraturan, sudah lama aku ingin membunuh Ki Samber," jawab Ganggang Wilis.
"Aku tidak sedang menolong kalian. Tapi juga menolong diriku sendiri serta wanita-wanita lain dari ancaman makhluk-makhluk keji seperti Ki Samber."
"Bukankah di duniamu juga begitu?" tanya Ganggang Wilis sambil menatap Moza.
"Benar, Putri," jawab Moza sambil membayangkan wajah-wajah perempuan dan janin-janin yang diaborsi akibat eksploitasi pria-pria tak bertanggungjawab.
"Bantuanku ini tidak gratis. Aku cuma menitipkan kekuatanku agar bisa digunakan untuk berperang dengan mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...