Aroma asap kayu bakar menyambut terbukanya mata Ribka pagi itu. Sedikit demi sedikit kesadarannya pulih.
"Aku pulang?" bisiknya heran saat mengenali bilah-bilah papan dan rumbia yang menjadi atap rumah itu. Ketika ia berusaha untuk bangkit, sebuah suara melarangnya.
"Jangan bergerak dulu, Rib. Tubuhmu masih terlalu lemah. Sudah sehari semalam kau pingsan."
"Guru Pius? Benarkah itu kau, Guru?"
"Benar, Rib. Ini aku," jawab orang itu sambil mendekat.
"Maafkan perbuatanku waktu itu, Guru. Aku sungguh menyesalinya."
Guru Pius hanya tersenyum. Luka melintang di wajah pria tua itu membuat dada Ribka sesak oleh sesal. Sepuluh tahun yang lalu, Ia lah yang mengukir goresan itu dengan pisau tulang kasuari miliknya.
"Sudah sejak lama aku memaafkan luka ini. Satu-satunya yang belum bisa kumaafkan adalah kegagalanku mencegahmu memasuki jalan sesat itu."
"Istirahatlah, Rib. Setelah sehat nanti, temui aku di rumah. Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
"Oh iya, semua peralatanmu ada di rumah."
"Iya, Guru. Saya pasti akan ke sana."
Setelah Guru Pius pergi, Ribka mulai mengamati bekas tempat tinggalnya itu. Tak banyak yang berubah, semua masih seperti saat ditinggalkannya dulu. Sedikitnya debu menunjukkan seseorang telah merawat rumah itu seusai kepergiannya.
"Kakak pulang?" Sebuah suara mengejutkan Ribka.
"Jacob? Benarkah itu kau, Jacob?! Bagaimana bisa kau masih hidup?!"
Jacob langsung berlari dan memeluk Ribka erat sambil menangis. Ribka mengelus rambut pemuda itu. Air matanya juga mengalir deras.
"Guru Pius yang menyelamatkanku, Kak. Sendirian ia menyerang sarang hantu-hantu berkepala anjing dan babi hutan itu."
"Mungkin ini sudah takdir," bisik Ribka.
Ribka sendiri tak menyangka akan kembali ke Papua. Saat berangkat ke makam, ia yakin telah membawa botol berisi tanah Mesir. Namun kenyataannya berkata lain. Buktinya saat ini ia malah berada di tanah kelahirannya.
Setelah merasa sehat, sore itu Ribka mengunjungi rumah Guru Pius. Empat mumi, marakas, pisau tulang, dan boneka-bonekanya teronggok di samping rumah. Semuanya diikat menjadi satu dengan tali hitam yang dihiasi berbagai macam potongan tulang, batu, dan kayu.
"Masuklah, Rib." Suara Guru Pius terdengar dari dalam rumah.
Ribka lalu memasuki rumah. Guru Pius rupanya telah mengetahui kedatangannya. Dua gelas teh panas, sagu kering, dan goreng ubi di meja adalah buktinya.
"Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, Guru. Mengapa Guru tidak memberitahu jika Jacob selamat?"
"Kau pikir aku tidak berusaha, Rib? Tapi kekuatan kegelapan itu selalu menghalangi. Mereka tidak rela yang telah tersesat kembali ke jalan yang benar."
"Waktu itu, aku sudah memintamu untuk bersabar. Namun kau malah menuduhku bersekongkol dengan mereka yang akan menumbalkan Jacob."
"Maafkan aku, Guru. Kupikir pertemuan rahasia Guru dengan tukang tenung itu untuk membuat kesepakatan rahasia."
"Malam itu, aku sedang bernegosiasi untuk menebus Jacob, Rib."
"Keparat kau, Simon. Aku akan mencarimu nanti." Ribka menggeram sambil membayangkan orang yang menghasutnya.
"Simon sudah mati, Rib. Mereka membunuhnya sebagai ganti Jacob."
Ribka terdiam dalam renungan. Andai saja dia dulu mau mendengar ucapan Guru Pius, tentu ia tak perlu berpetualang mencari ilmu untuk membalas dendam. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia sudah terperosok terlalu dalam di kolam yang hitam itu. Hasrat membalas dendam kini tak lebih dari alasan basi. Menjadi yang terkuat adalah tujuannya yang utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...