Mi'an belajar seperti orang kesurupan. Dendam tak lagi menjadi tujuan utamanya. Mimpi itu telah berganti dengan keinginan untuk melepaskan diri dari status pewaris. Satu per satu ia memilih dan memilah ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya bertahun-tahun yang lalu di pengembaraan.
Tak hanya belajar dari Mbah Lawu, Mak Ina, dan Darwis. Mi'an juga menyerap ilmu-ilmu dari Nduk, Ara, tiga harimau putih, Nagasari, dan juga Condromowo. Tentu saja tidak semua ilmu mereka dipelajarinya. Hanya ilmu yang saling menguatkan yang dipilihnya. Hari demi hari Mi'an mengisi waktunya dengan berlatih dan terus berlatih.
Candrasa juga tak kalah sibuknya. Mau tak mau ia harus menguatkan diri juga. Tanpa kekuatan utama, apa yang bisa dilakukannya adalah menyimpan cadangan energi sebesar-besarnya. Beruntung Mi'an tak pernah melakukan pertarungan berat. Bahkan tak seperti sebelumnya, dia telah diizinkan untuk menelan tubuh mangsanya. Pelan-pelan wujudnya pun bertambah besar.
Berkumpulnya Mbah Lawu, Mak Ina, dan Darwis membuat penghalang yang terpasang di tempat itu semakin kuat dan tebal. Keberadaan Moza pun semakin susah terdeteksi. Hal itu tentu menyulitkan orang-orang yang memburunya. Termasuk juga Harto dan sekutunya. Pagi itu mereka sedang berkumpul di kantor Harto.
"Bagaimana bisa kita kehilangan jejak dia, To? Siapa lagi yang ikut campur dalam urusan ini?" tanya Dalbo.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Bo. Bukankah untuk urusan seperti itu kau ahlinya? Jangan-jangan, kau menyimpan informasi itu untuk dirimu sendiri?!"
"Aku setuju dengan Harto. Orang yang menguasai cermin pusaka dari penguasa Karang Bolong tentu bisa menemukan siapapun yang diinginkannya," ucap Felix sinis.
"Apa perlu kuceritakan tentang ular raksasa yang akan kau makan sendirian itu, Fel?" Dalbo membalas sindiran Felix.
"Kau memata-mataiku, Bo?!" Felix berdiri, demikian juga Dalbo.
"Kalian ini .. keluarkan cermin itu, Bo," perintah Mbah Sirna.
Dalbo lalu mengeluarkan cermin yang terbat dari perak digosok halus. Ia meletakkan benda itu di meja. Foto Moza kemudian ditaruh di permukaan cermin. Setelah menggores tangan dengan pisau, Dalbo meneteskan darahnya di foto itu. Asap langsung mengepul, sementara foto Moza perlahan menghilang.
Permukaan cermin mengeluarkan cahaya menyilaukan. Tapi tak ada gambar apapun yang tampak di sana.
"Kalian lihat sendiri, kan? Cermin itu tak bisa menembus penghalang yang melindungi Moza," ucap Dalbo.
"Mengapa kita tidak menyerang gadis polisi itu? Setidaknya pasti ada keterangan yang bisa kita dapatkan dari dia," usul Hendro.
"Hendro benar. Mengapa kita lupa jika masih ada gadis bernama Iis itu. Siapa yang akan mengunjunginya? Aku sedang repot mengurus tempat untuk menyembunyikan politisi korup yang datang dari Singapura tadi pagi."
"Titipkan saja dia di kamar Nyi Weling, To. Kasihan Nenek itu, sudah lama ia kesepian sejak Ki Upas mati."
"Ide bagus. Politisi belang dan ular belang, pasangan yang cocok."
"Biar aku saja yang mengunjungi Iis. Kebetulan urusan pasienku sudah selesai semua." Mbah Sirna menawarkan diri.
"Jangan sampai dia dimakan ularmu lo, Na. Bisa kehilangan jejak kita nanti."
"Tenang ae, Ndro. Lagipula tak ada gunanya memangsa gadis itu. Di tubuhnya tak ada ilmu apapun."
Pertemuan mereka lalu bubar. Dalam. perjalanan pulang. Mbah Sirna berdiskusi dengan Gundala Wereng.
"Kau yakin Moza adalah pewaris itu, Reng?"
"Aku tidak pernah melupakan aroma dan aura makhluk yang pernah kutelan, Na. Saat ia menempelkan tangannya di tubuh Mi'an dulu, aku tahu dia adalah sang pewaris."
"Tapi jika kau bunuh dia, bagaimana dengan mustika itu?"
"Setelah kekuatanku terbuka, kau tak butuh mustika itu. Keabadian akan menjadi milikmu dengan sendirinya."
"Bagaimana dengan Harto dan yang lain, Reng?"
"Jangan bermain-main, Na. Aku tahu mereka tak jauh berbeda denganmu. Sama-sama licik dan serakahnya. Mustika itu hanya ada satu. Bagaimana kalian akan membaginya nanti."
"Sudahlah, kau bantu saja aku untuk mendapatkan Moza. Kemudian akan kuhabisi mereka berempat."
"Baiklah, Reng. Akan kuhitung dulu waktunya. Lalu akan kita kunjungi Iis."
Sementara itu, di Hutan Larangan Wanara Gimbal sedang menerima laporan dari anak buahnya. Serangan-serangan yang dilakukan Mbah Lawu dan Mi'an telah membuat pasukan dan budaknya jauh berkurang. Kemarahan membuat mata penguasa monyet-monyet siluman itu semakin merah.
Sebagai jin pesugihan, Wanara Gimbal memang tak memiliki kekuatan besar. Kelebihannya adalah gudang yang dipenuhi harta. Selama ini bisnisnya lancar-lancar saja. Manusia-manusia serakah tak pernah sepi mendatangi patung monyet yang menjadi perwakilannya untuk menukar iman mereka dengan harta.
Sebagai gantinya, saat mereka telah berubah menjadi monyet, ia akan menjualnya pada jin-jin lain untuk menjadi pembantu atau mainan anak-anak mereka. Keuntungan dari hasil jual beli itulah yang ia berikan pada orang-orang yang memujanya.
"Sudah saatnya kita mencari bantuan, Tuan," ucap lutung bawahannya.
"Kalian ada usul?"
"Bukankah saudara Tuan mengikat perjanjian pada dukun hebat bernama Dalbo? Bagaimana jika Tuan mencoba menghubunginya."
"Usul yang bagus. Kalau begitu pergilah ke sana sekarang. Semoga saja penguasa Alas Ngawi itu bersedia membantu."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...