Dendam (2)

11.3K 643 6
                                    

Di perjalanan pulang, Mi'an menyempatkan diri mampir di pasar. Ritual pengambilan jari manis itu menuntutnya berpuasa pati geni sehari semalam. Bukan soal lapar yang menjadi tujuannya, melainkan secangkir kopi pahit dan kepulan asap rokoklah yang tak bisa ditahannya.

"Kopi, Mbak. Jangan terlalu manis," ucapnya pada penjaga warung. Sebatang rokok segera saja terselip di bibirnya.

Entah mengapa Mi'an merasa kurang nyaman berada di pasar itu. Perasaannya seolah mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Setelah memastikan jika memang ada aura gaib, Mi'an menajamkan mata batinnya.

Pemandangan pasar seketika itu juga berubah. Jika tadi hiruk pikuk pasar dipenuhi oleh orang-orang yang sedang bertransaksi. Kali ini jin-jin yang ada di sana juga ikut terlihat. Mi'an tersenyum melihat tingkah polah para prewangan itu. Ada yang sibuk menarik tangan orang agar masuk ke toko majikannya. Ada yang memegangi kaki, menjilati piring, meneteskan air liur ke masakan dan lain sebagainya.

"Ini kopinya, Mas," ucap wanita penjaga warung sambil meletakkan segelas kopi di depan Mi'an.

Mi'an seolah tak mendengar kalimat itu. Matanya fokus memandang dua makhluk bersisik yang sedang mengencingi satu per satu masakan di warung.

"Bajingan," desisnya.

"Maaf, Mas. Bilang apa barusan?"

"O, tidak, Bu. Saya cuma teringat masa lalu. Kalau boleh tahu ini warung siapa ya?"

"Warung saya sendiri, Mas. Memangnya kenapa?"

"Mbak tidak pernah merasa ada yang aneh? Maksudnya melihat hal-hal yang ganjil atau yang lainnya?"

Moza menatap laki-laki yang baru saja ditemuinya itu. Usianya mungkin sebaya dengan adiknya. Pakaian serta penampilan juga biasa saja. Namun entah mengapa ia merasa merinding mata mereka bertemu. Tatapan laki-laki di depannya itu begitu dingin.

"Ganjil bagaimana, Mas?"

"Ya, seperti penampakan dan sebagainya begitu, Mbak."

"Sebetulnya sering, Mas. Tapi saya tidak pernah bilang ke orang lain. Takut dianggap mengada-ada, Mas."

"Boleh saya usir mereka, Mbak?"

"Mereka? Mereka siapa, Mas?" Bulu kuduk Moza tiba-tiba merinding.

"Ya mereka yang mengganggu dagangan Mbak. Boleh?“

"Silakan, Mas. Silakan."

Mi'an tersenyum. Urusan jin pengganggu warung adalah masalah receh baginya. Diambilnya selembar kain putih kumal dari tas. Kemudian ia mencopot dua helai benang dari kain itu, lalu digenggam. Di saat yang sama dua makhluk berbisik itu tiba-tiba terjatuh sambil meronta-ronta. Tubuh mereka terlilit oleh tali berwarna putih. Mi'an semakin menguatkan genggamannya. Tak lama kemudian gerakan kedua makhluk itu terhenti.

Tak jauh dari tempat itu, Bowo dan Bono mengawasi apa yang sedang dilakukan Mi'an dengan geram. Kedua jin itu adalah suruhan mereka. Bowo yang tergila-gila pada Moza berusaha untuk membangkrutkan warungnya. Tujuannya agar Moza yang jatuh miskin bisa diperistrinya dengan jebakan utang seperti perempuan-perempuan sebelumnya.

Kedua preman pasar itu lalu mendekati warung Moza. Bono duduk di sebelah kiri Mi'an, sementara Bowo di sebelah kanannya. Mi'an yang sudah tahu maksud mereka hanya tersenyum. Perlahan ia meraih gelas kopi yang belum sempat diminum sama sekali itu. Saat gelas itu tak bisa bergerak, ia tahu mereka telah mengumumkan perang.

"Permainan anak-anak ini nampaknya masih juga dimainkan oleh orang tua. Memalukan," bisik Mi'an sambil mengangkat gelas kopi dan meminumnya. Sementara itu, entah mengapa tangan Bono yang sebelumnya berada di meja kini telah terkulai.

Bowo yang melihat adiknya gagal bermaksud membantu. Namun kedua tangannya tiba-tiba terasa dingin dan tak bisa digerakkan. Perlahan hawa dingin itu menjalari sekujur tubuhnya lalu berhenti tepat di pangkal leher.

"Saat hawa dingin itu mencapai kepala, anggap saja hari ini adalah hari kematianmu. Aku tidak mencari musuh tuan-tuan. Tapi kalau kalian memaksa, aku juga tidak akan segan menghabisi kalian."

"Maafkan aku, anggap saja kami sudah kalah." Akhirnya Bowo berbisik.

Mi'an lalu menarik kembali serangannya. Sengaja ia langsung menggunakan cara kasar agar tidak terlalu lama tertahan di tempat itu. Setelah bisa menggerakkan badannya, Bowo dan Bono lalu meninggalkan warung Moza.

'Tunggu. Jangan pergi dulu." Mi'an mencegah kedua orang itu.

"Ada apa lagi? Kami kan sudah menyerah."

"Bawa binatang-binatang kalian pergi dari tempat ini. Jangan lupa beri ganti rugi untuk kejahatan yang telah kalian lakukan."

Bono dan Bowo saling pandang. Bagaimanapun juga, setelah kejadian itu nyali mereka sudah ciut. Apalagi saat mereka melihat sorot mata Mi'an yang begitu dingin tanpa emosi.

"Nanti akan kami ganti rugi. Tenang saja. Pokoknya beres."

"Baiklah kalau begitu. Sekarang ajak mereka pulang."

Mi'an membuka genggaman tangannya. Dua makhluk bersisik itu lalu berdiri dan segera bergabung dengan Bono dan Bowo. Mata mereka menatap Mi'an dengan sorot mata penuh dendam. Sementara Mi'an sendiri hanya tersenyum mengejek. Setelah menjelaskan semuanya pada Moza, Mi'an lalu bergegas meninggalkan pasar dan menuju terminal.

Saat melewati hutan jati di daerah Bajul Mati, tidur Mi'an terganggu oleh suara desis. Ketika Mi'an membuka mata, sebilah keris berwarna hitam kebiru-biruan telah berada tak jauh dari lehernya. Rupanya kejadian di pasar tadi masih belum selesai. Kali ini guru dari Bowo dan Bono sendiri yang datang.

"Pantas saja kau sombong, Bocah. Rupanya tubuhmu ada isinya juga. Tapi jangan khawatir, sebentar lagi kerisku itu akan mengakhiri kesombonganmu," ucap suara tanpa wujud yang hanya bisa didengarnya itu.

"Cobalah kalau bisa pengecut. Kenyataannya kerismu itu tak bisa bergerak lebih jauh lagi kan?"

"Keparat kau, Bocah. Aku sengaja tidak ingin langsung membunuhmu, karena itu kerisku belum menikammu."

Di lain tempat, Ki Sarpa, guru Bono dan Bowo sedang bersila di kamarnya. Peluh menetes deras dari sekujur tubuh laki-laki tua itu. Tubuh Ki Sarpa lalu bergoyang-goyang sebelum akhirnya terjengkang sambil memuntahkan darah segar. Bono dan Bowo yang melihat kejadian itu segera berlari untuk menolong gurunya. Setelah tahu jika sang guru ternyata telah tewas, mereka bergegas kabur.

Mi'an mengambil keris patah yang tergeletak di lantai bis, lalu membuangnya lewat jendela.

"Aku pasti akan menemukanmu mbah Sirna. Hutang nyawa itu pasti akan kubalas," bisiknya sebelum kembali memejamkan mata.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang