Golongan Putih

5.2K 390 4
                                    

Pertanyaan Mi'an terjawab oleh kehadiran Nduk, Ara, dan Darwis yang menunggang harimau putih. Beda harimau itu dengan dua harimau yang hadir sebelumnya adalah, harimau Darwis masih memiliki loreng. Selanjutnya datang Condromowo. Di punggungnya tampak Iis sedang sibuk menenangkan seorang perempuan berbaju putih yang terlihat histeris.

"Apa-apaan ini, Is? Di mana ini? Menyesal aku memejamkan mata tadi."

"Sudahlah, Dok. Kalau Dokter Asti masih rewel, aku tinggalkan Dokter di Gunung Lawu ini lo?" ancam Iis.

Dokter Asti mengamati tempat itu. Ia bukan penakut. Sebagai dokter yang biasa melakukan outopsi, ia sudah biasa bertemu dengan berbagai macam mayat yang mengerikan. Namun ia belum pernah melihat serta mengalami hal aneh seperti yang dirasakannya saat ini. Bertemu tiga ekor harimau putih, seekor kucing raksasa, dan perjalanan kilat dari Malang ke Gunung Lawu adalah pengalaman yang membuat jantung berdetak jauh lebih cepat dari biasanya.

"Kupikir cerita-cerita kakek dulu adalah dongeng," bisiknya.

"Aku jelaskan nanti, Dok. Sekarang ada pasien yang harus kau tolong. Dokter tidak lupa membawa jarum dan benang, Kan?" Iis menyeret tangan Dokter Asti masuk ke pondok.

Mi'an menatap Darwis. Entah mengapa ia merasa pernah melihat wajah orang tua itu.

"Apa kita pernah bertemu, Kek?"

Darwis tersenyum. Ia lalu menceritakan apa yang terjadi ketika malam itu Mi'an kehilangan kesadarannya di makam. Mi'an langsung mencium tangan Darwis setelah orang tua itu selesai bercerita. Kemudian ia mendekati Nduk dan Ara untuk meminta maaf.

"Ayo kita masuk, An. Biar mereka saja yang menjaga tempat ini."

Saat Mi'an dan Darwis masuk. Tiga gelas kopi telah ada di meja. Tak lama kemudian Iis keluar dari dalam.

"Bagaimana luka kakek, Is? Apakah ada harapan?" tanya Mi'an.

"Masih dijahit sama Dokter Asti. Mudah-mudahan saja Tuhan bermurah hati."

Asti tak pernah melihat luka seperti itu seumur hidup dan karirnya. Luka laki-laki yang sedang terbaring di depannya seolah dibuat oleh cakar raksasa atau sabit berukuran besar. Dari bekas irisannya, ia yakin apapun senjata yang melukainya tak terbuat dari besi.

"Bagaimana, Dok? Apakah Kakek kami ini bisa sembuh?" tanya Moza.

"Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, Mbak. Selanjutnya sudah menjadi urusan Tuhan."

Moza menatap Mak Ina. Sementara tangannya yang menggenggam tangan Mbah Lawu terus mengeluarkan asap tipis.

Di tempat terpisah, Felix sedang mengagumi hasil tangkapannya. Seekor ular hitam raksasa berhasil ditundukkan oleh jin berkepala anjing miliknya.

"Gembel dari Lawu itu tidak tahu jika orang yang akan dimangsanya ada di bawah perlindunganku," bisiknya.

Nagasari memandang marah pada Felix. Ikatan tali yang terbuat dari pintalan galih kayu kelor, santigi, dan awar-awar yang dilumuri minyak siluman babi hutan membuat dirinya kehilangan kekuatan. Tapi bagaimanapun juga, ia harus mengakui kehebatan siluman anjing yang berasal dari Mesir itu.

Felix lalu meninggalkan gudang. Seekor anjing dan babi hutan menyambut kedatangannya sambil menatap penuh harap. Tubuh mereka penuh luka-luka. Felix mengeluarkan sebuah botol. Bau amis bercampur busuk memenuhi udara saat ia membuka tutup botol.

"Semoga saja nama besar Ki Upas bukan cuma bualan kosong," ucapnya sambil meneteskan isi botol ke tubuh babi dan anjingnya.

Begitu minyak yang berasal dari tubuh Ki Upas itu menyentuh kulit babi dan anjing, keajaiban terjadi. Luka-luka mereka perlahan menutup dan sembuh.

"Sekarang tinggal menunggu Harto bergerak. Begitu dia mendapatkan mustika itu, aku akan merebutnya."

Seekor ular kecil bepunggung coklat tua dan berdada coklat muda melata memasuki gudang. Mata Nagasari langsung bercahaya saat melihat kehadiran ular istimewa yang mampu membunuh ular apapun yang digigitnya itu.

"Talipicis, bagaimana bisa kau menemukanku? Bukankah di tempat ini terpasang penghalang?"

"Penghalang itu hanya berfungsi untuk mencegah pendatang dari luar, Nagasari. Tapi tidak akan berguna jika kau sudah ada di dalam."

"Siapa yang menyuruhmu? Bukankah kau tak bertuan?"

"Perintahku adalah mengawasi Wereng, pengkhianat itu. Pemilik siluman babi dan anjing impor ini adalah anggota Sirna."

"Sudah, aku akan berusaha melepaskan tali keparat itu. Bersiaplah, lehermu mungkin akan tersakiti oleh benturan kekuatanku dengan tali itu."

Tubuh Talipicis lalu melilit tali yang mengikat leher Nagasari. Benturan energi yang terjadi membuat tali yang dililit Talipicis berubah warna menjadi semerah bara. Nagasari hanya bisa berdesis menahan sakit dari lehernya yang terbakar dan berasap. Pelan-pelan warna merah itu meredup dan akhirnya menghilang. Secepat kilat Nagasari menggoyangkan kepalanya untuk melepaskan ikatan.

"Pergilah. Selesaikan saja urusanmu dengan mereka nanti setelah Tuanmu sembuh. Ingat, kau sudah terikat perjanjian dengannya."

"Cepat pergi! Felix, Babi, dan Anjing itu sedang menuju ke sini! Lewat bawah tanah, penghalang Felix hanya kuat di permukaan."

Saat Felix tiba di gudang, ular tawanannya itu telah menghilang. Amarah membuat seluruh tubuhnya mengeluarkan uap putih yang berbau busuk seperti kotoran binatang.

"Keparat! Aku benar-benar tidak menyangka ular itu bisa memutus tali penyegel kekuatan itu!"

"Dia mendapat bantuan, Tuan. Aku bisa mencium bau ular lain di tempat ini," ucap sosok manusia berkepala anjing yang berdiri di sebelahnya.

"Siapakah Tuan dari ular itu? Apakah Sirna ingin bermain-main denganku?"

"Itulah yang membingungkan, Tuan. Aku tak bisa menemukan jejak manusia di ular itu. Jangan-jangan dia utusan dari kerajaan ular sendiri."

"Sudahlah. Anggap saja kita kurang beruntung malam ini. Tak mengapa, setidaknya si pemilik ular itu pasti sudah menjadi mayat. Tak ada satu pun yang bisa selamat setelah terluka oleh caling Gotheng."

Di pondok Mbah Lawu, keributan terjadi di halaman. Mi'an dan Darwis segera keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Di halaman, seekor ular hitam raksasa tampak kebingungan dikepung tiga harimau putih dan kucing raksasa.

"Nagasari," bisik Mi'an.

Mi'an segera menjelaskan siapa ular tersebut. Condromowo dan para harimau lalu menghentikan aksi pengepungan mereka. Nagasari pun segera melesat masuk untuk menemui tuannya yang sedang terbaring tak berdaya.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang