Di Semeru, Gundala Wereng masih bergulingan ke segala arah. Tak hanya dari dalam, energi yang menyerangnya juga berasal dari luar. Sampai akhirnya naga hitam itu pingsan setelah memuntahkan sebuah benda yang menyala merah seperti bara.
Ganggang Wilis tanpa sadar memekik kecil saat melihat benda itu bergerak, lalu berdiri. Hampir saja ia meloncat ke arah si manusia merah, namun Ki Selowukir segera meraih tangannya.
"Jangan mendekat dulu. Kita belum tahu siapa yang menang dalam pertarungan itu. Mi'an, atau Gundala Wereng," bisik Ki Selowukir.
"Mengapa tubuh Mi'an berwarna merah, Ki?"
"Itu energi milik Gundala.Wereng. Karena itulah aku melarangmu ke sana. Pertarungan masih belum selesai."
"Padahal pemuda itu bisa saja langsung menghabisi nyawa Gundala Wereng. Tapi mengapa dia tidak melakukannya. Aneh sekali," ucap Naga Lindu.
"Tombak Catur Tunggal masih berada di dalam tubuh Gundala Wereng. Apa sebenarnya maksud Mi'an?" batin Ki Selowukir yang juga bingung melihat situasi itu.
Mi'an sendiri telah duduk bersila. Tanah yang didudukinya perlahan ikut memerah. Sementara itu cahaya berwarna putih dan kuning bergantian memasuki tubuhnya dari segala arah. Rupanya Mi'an sedang berjuang untuk menetralisir energi api milik Gundala Wereng yang sedang berusaha menguasainya.
Hingga matahari beranjak ke barat, tubuh Mi'an dan Gundala Wereng masih belum bergerak. Ki Selowukir, Ganggang Wilis, Naga Lindu, dan Ki Sabet Mumur tetap berada di tempat itu untuk menjaga Mi'an. Di samping itu, mereka juga harus bersiap untuk menyerang jika ternyata kekuatan Gundala Wereng berhasil menguasai Mi'an.
Saat Mi'an berjuang melawan Gundala Wereng, Kidang Kilat dan Bandot Landung juga sedang berusaha mati-matian membebaskan Candrasa dan Condromowo. Dua prajurit yang pernah mengabdi pada keluarga Ajeng itu pernah dipenjara di Jurang Gembung dan berhasil meloloskan diri. Karena itulah Tapak Jalak meminta bantuan mereka untuk menolong Candrasa dan Condromowo.
"Manusia bernama Sirna itu ternyata mengunci titik energi kalian," bisik Bandot Landung.
"Benar sekali. Jika tidak begitu, aku dan Candrasa pasti bisa meloloskan diri dari gua ini."
"Aku akan coba melepaskan segel itu. Mudah-mudahan saja berhasil."
"Sebelumnya aku mengucapkan terimakasih, Ki." Condromowo memperbaiki posisi duduknya, sehingga Bandot Landung bisa lebih leluasa mengalirkan energinya.
Bandot Landung melepaskan baju kulit anjing yang dipakainya. Telapak tangannya lalu ditempelkan ke tubuh Condromowo. Peluh pemimpin bangsa kambing itu bercucuran saat energinya berusaha mengeluarkan energi racun mayat yang dimasukkan Mbah Sirna ke tubuh Condromowo. Setelah beberapa lama, Condromowo memuntahkan segumpal darah hitam. Saat energinya kembali mengalir, giliran Condromowo yang menggunakan energinya untuk membantu Candrasa. Asap hitam berbau busuk keluar dari mulut Candrasa ketika racun itu berhasil diusir dari tubuhnya.
Namun hal itu bukan tanpa resiko. Baju kulit anjing adalah cara Kidang Kilat dan Bandot Landung untuk menyamarkan bau mereka. Ketika Bandot Landung melepaskannya tadi, maka Ki Baung dan anak buahnya pun bisa mencium kehadirannya. Mereka pun berkumpul di depan gua.
"Rupanya Ki Ageng berbaik hati pada kita. Ia mengirimkan kambing untuk dijadikan sarapan!" teriak Ki Baung yang disauti lolongan anak buahnya.
Condromowo menatap Candrasa. Saat Candrasa mengangguk, ia pun mempersiapkan diri. Lima menit kemudian lolongan pasukan Ki Baung berubah menjadi jerit kesakitan. Empat larik sinar putih yang memancar dari dalam gua berhasil membuat kerumunan manusia anjing itu tercerai berai. Kesempatan itu digunakan Condromowo, Candrasa, Kidang Kilat, dan Bandot Landung untuk melarikan diri.
Di lain tempat, Moza dan rombongannya sedang berhadapan dengan Ki Caling. Mata pemimpin bangsa celeng di Baluran itu menyala. Di samping karena direndahkan oleh Handaka, ia juga ingin membalaskan dendam Gotheng, sepupunya yang mengabdi pada Felix. Untuk itulah Ki Caling mengerahkan puluhan prajurit terbaiknya. Tanpa basa-basi, Ki Caling langsung melakukan serangan.
Perang brubuh pun terjadi. Moza dan yang lain tak punya kesempatan untuk memilih lawan. Pertempuran jarak dekat juga menyebabkan senjata cambuk Moza serta ilmu panah api Ajeng tak bisa digunakan. Beruntung Moza masih memiliki pedang putih dari Mayangkara. Ajeng sendiri menggunakan sepasang mata panah sebagai senjata.
Pertempuran berlangsung sengit. Nagatirta, Taligeni, Naga, dan Wira menyerang pasukan Ki Caling seperti badai. Mayat-mayat babi hutan bertebaran di tempat itu. Namun jumlah mereka seolah tak ada habisnya. Satu terbunuh, prajurit baru langsung muncul untuk menggantikannya.
Ki Caling dan para pemimpin pasukannya masih belum turun ke palagan. Ia menunggu sampai Moza dan yang lain kelelahan baru akan ikut menyerang. Di bawah kepemimpinan raja yang licik seperti Handaka, maka semua anak buahnya pun akan ikut menjadi kejam dan licik. Di dunia Ki Caling masih lumayan, setidaknya mereka harus benar-benar memiliki kekuatan untuk mendapat jabatan. Sementara di dunia manusia lebih parah lagi, jabatan bisa diperoleh cukup dengan menjadi penjilat.
Ketika Ki Caling melihat Moza dan kelompiknya mulai terdesak, ia pun segera meloncat ke arena pertempuran. Nagatirta yang dari tadi menunggu kesempatan itu segera menyambut si Raja Celeng.
"Akhirnya kau turun juga ke gelanggang. Kupikir kau akan menghabiskan seluruh anak buahmu, lalu kabur," ejek Nagatirta.
"Aku tidak serendah raja-raja munafik di dunia manusia, Ular tua!"
"Begitu, ya? Kupikir karena kau sering ngepet bersama mereka, sifatmu juga ikut berubah."
"Kau terlalu banyak bicara. Bersiaplah, akan kucabik-cabik tubuhmu sekarang."
Ki Caling segera menerjang Nagatirta. Bindi yang dipenuhi duri-duri tajamnya menyambar-nyambar dengan cepat disertai suara gemuruh. Tapi lawannya adalah Nagatirta. Kemampuan ular yang pernah menjadi penjaga patirtan di lereng gunung Sindoro ini tentu saja tak bisa dipandang enteng. Seperti namanya yang berarti naga air, jurus-jurusnya pun bergerak serupa air.
"Bangsat! Ternyata kau tadi menyembunyikan kemampuanmu, Ular tua!"
"Apa gunanya pedang untuk mengiris kutil?" sindir Nagatirta.
Muka Ki Caling merah padam saat mendengar pasukannya disebut kutil oleh Nagatirta. Tubuhnya lalu berubah menjadi manusia celeng. Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu hitam yang berdiri tegak.
"Aneh, kau ini celeng atau landak? Atau jangan-jangan, kau adalah hasil percobaan Handaka yang mengawin silangkan celeng dan landak?"
Kemarahan Ki Caling semakin memuncak. Bindinya semakin ganas memburu Nagatirta. Ilmu Wulu Eri dan mustika Rante Babi yang membuat tubuhnya kebal sekaligus beracun menjadikan Ki Caling yakin Nagatirta tak akan bisa melukainya. Hal itulah yang ditunggu Nagatirta. Ia memang sengaja memancing kemarahan Ki Caling agar kewaspadaan Raja Babi itu melemah.
Nagatirta meloncat mundur. Saat Ki Caling ikut meloncat untuk mengejar, tiba-tiba saja Nagatirta menyemburkan air dari mulutnya. Sekujur tubuh Ki Caling pun basah kuyup.
"Permainan apa ini?! Kau pikir aku adalah anak-anak yang takut air?!"
"Bau badanmu tidak sedap. Karena itu aku memandikanmu," jawab Nagatirta.
"Keparat kau!"
Saat itulah Ki Caling merasakan hal yang aneh. Tiba-tiba saja ia menggigil kedinginan. Uap tipis terlihat mengepul dari sekujur tubuhnya. Pelan tapi pasti, Ki Caling pun membeku. Air yang disemburkan Nagatirta rupanya berisi energi ilmu Banyu Sewindu. Energi ilmu itu mampu menembus lubang sekecil apapun.
"Kau boleh saja kebal. Tapi jangan lupa jika energimu juga berkurang banyak untuk mengerahkan ilmu Wulu Eri. Aku yakin energimu yang tersisa tak akan mampu melawan Banyu Sewindu."
"Kau licik, Ular tua," bisik Ki Caling sebelum terdiam untuk selamanya.
"Tak lebih licik darimu, Raja Babi."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...