Antara hitam dan putih

8.5K 550 0
                                    

Sudah seminggu Mi'an tinggal di rumah Mak Ina. Selama di sana ia tak pernah sekalipun melihat wanita itu melakukan ritual. Satu-satunya amalan yang dilakukannya adalah puasa Daud serta tidur seusai pukul tiga dinihari sampai azan subuh terdengar.

Jari manis, paku, dan sobekan kain kafan yang sebelumnya diletakkan di luar telah disimpan oleh Mak Ina. Barang-barang itu dimasukkan di sebuah kotak kayu dan dikubur di halaman. Kata Mak Ina, Mi'an bisa mengambilnya kapan pun ia mau.

Entah mengapa Mi'an merasa damai di tempat itu. Hasrat untuk melakukan ritual dan amalan untuk mempertajam ilmu-ilmu yang telah dimilikinya tak lagi menggebu-gebu seperti sebelumnya. Bahkan saat ia bermimpi bertemu dengan kedua orangtuanya lagi, mereka tak lagi menatapnya dengan sorot mata sedih.

Kucing condromowo sendiri hilang dan muncul sesukanya. Meski masih menjaga jarak dengan Mi'an, kucing itu tak lagi menatapnya dengan sorot mata api. Bahkan akhir-akhir ini Mi'an merasa si kucing justru memandangnya dengan tatapan iba.

Pagi itu sepasang suami istri bertamu ke rumah Mak Ina. Wajah keduanya tampak murung dan lelah. Setelah mempersilakan mereka masuk, Mi'an segera memanggil Mak Ina

"Ada tamu, Mak. Kelihatannya mereka datang dari jauh."

"Tolong buatkan mereka minum, An. Airnya sebentar lagi mendidih. Itu gelasnya sudah kusiapkan."

"Iya, Mak."

Mi'an benar-benar kagum dengan kepekaan Mak Ina. Dua gelas berisi bubuk kopi dan daun teh serta air yang hampir mendidih itu menunjukkan jika Mak Ina telah tahu akan kedatangan dua orang tamu.

"Benar-benar orang hebat," bisik Mi'an sambil mengaduk minuman di gelas.

Mi'an lalu menyuguhkan kedua minuman itu. Setelah selesai meletakkan gelas-gelas di meja, ia bergegas kembali ke belakang. Namun Mak Ina menggamit tangannya.

"Jangan masuk, An. Duduklah di sini. Bapak dan Ibu ini membutuhkan bantuanmu."

Mi'an duduk di samping Mak Ina. Seolah tak mau kalah, kucing belang tiga juga tiba-tiba muncul dan membaringkan tubuhnya di antara Mi'an dan Mak Ina. Mi'an memberanikan diri untuk mengelus binatang itu. Awalnya si kucing meronta, namun akhirnya ia membiarkan saja perbuatan Mi'an.

"Biar anak saya saja yang ikut ke rumah Bapak dan Ibu Salman. Kondisi saya sedang kurang enak badan, takutnya malah menjadi masalah nanti."

"Tapi anak Ibu bisa mengobati Ega kan?" tanya bu Salman ragu.

"Tugas kita hanya berusaha, Bu. Apakah usaha itu nanti berhasil atau tidak, kehendak-Nya yang akan berbicara," jawab Mak Ina.

"Kami hanya khawatir dengan putri kami, Bu? Maafkan jika perkataan istri saya tadi menyakiti perasaan Ibu."

"Saya juga seorang ibu, Pak. Saya paham. Ayo An, cepat kamu ikut sama mereka."

Saat Mi'an akan membantah, Mak Ina menatapnya tajam. Ia pun akhirnya akhirnya memilih untuk mengikuti saja perintah Mak Ina. Setelah berpamitan Mi'an segera memasuki mobil sepasang suami istri itu.

Sepeninggal mereka, kucing itu tampak gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di sekitar ruang tamu. Mak Ina tersenyum melihat polah binatang itu.

"Kamu khawatir dengan Mi'an kan, Ndra? Sudah tidak usah pura-pura jual mahal. Susullah kalau kau mau. Tanpa jimat-jimatnya itu dia tak akan sekuat sebelumnya."

Kucing itu berhenti bergerak. Wajahnya menatap Mak Ina, sedetik kemudian ia sudah berlari ke luar dari ruang tamu dan menghilang begitu melewati pagar.

Rumah keluarga Salman terletak di daerah pegunungan. Halamannya yang luas dipenuhi oleh beraneka tanaman bunga. Sebuah kolam yang dipenuhi ikan koi membuat Mi'an sejenak tertegun saat keluar dari mobil. Ia teringat dengan kolam ikan yang ada di rumahnya dulu. Tanpa terasa mata Mi'an sedikit basah.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang