Tawanan Pesugihan

5.3K 395 0
                                    

Mi'an tersenyum saat pohon iprik raksasa sudah terlihat di kejauhan. Sebentar lagi monyet-monyet raksasa yang mengejarnya tak akan bisa berbuat apa-apa. Penghalang yang dipasang Mbah Lawu terlalu kuat untuk siluman-siluman sekelas penjaga tawanan.

Tiba-tiba Mi'an menghentikan langkah dan jatuh berlutut. Wajahnya berubah, seolah sedang menahan kesakitan yang teramat sangat. Tak butuh waktu lama, puluhan ekor monyet telah mengepungnya. Melihat Mi'an diam tak bergerak, kawanan monyet itu segera menyerang. Gada, tombak, pedang, keris, dan kapak mereka mengarah ke tubuh Mi'an. Saat ujung-ujung senjata itu semakin mendekat, Mi'an mendadak berdiri dan melompat.

Entah dari mana, seekor ular putih bertanduk sebesar paha orang dewasa telah melingkari tubuh Mi'an. Cahaya biru tampak berpendar dari tubuhnya. Kontras dengan warna kulitnya, mata ular itu merah seperti bara. Setelah beberapa kali menjulur lidah, dengan cepat ular itu melesat menuju kawanan siluman monyet.

Pertempuran pun pecah. Gerakan ular yang cepat menyulitkan monyet-monyet untuk menyarangkan senjatanya. Satu demi satu ular itu mematuk dan membelit mereka. Setiap monyet yang mati lalu berubah menjadi gumpalan cahaya yang langsung disambar oleh mulut si ular. Kemudian terdengar suara raungan keras. Kemudian dua ekor monyet yang ukurannya jauh lebih besar muncul dan langsung menyerang ular putih Mi'an. Seekor monyet meraih lehernya, sementara yang lain berhasil menggenggam ekornya.

Monyet-monyet lain segera saja berloncatan menghajar tubuh si ular dengan senjatanya masing-masing. Suara benturan benda keras berulangkali terdengar saat senjata-senjata itu bertemu dengan sisik si ular. Tak berdaya, tubuh ular tersebut hanya bisa menggeliat tanpa henti.

Dari arah pohon iprik terdengar suara gemerisik. Monyet raksasa yang kedua tangannya sedang mencekik leher ular putih tak bisa berbuat apa-apa ketika seekor ular besar berwarna hitam tiba-tiba saja menyambar kepalanya. Seiring dengan tubuhnya yang ditelan ular hitam, cekikan monyet itupun melemah.

Begitu bebas, kepala ular putih langsung menyerang balik. Dililit dan digigitnya monyet yang menggenggam ekornya. Semakin keras tubuh si monyet meronta, maka semakin kencang juga ia terlilit. Sampai akhirnya tubuh monyet itu tak bisa bergerak lagi dan berubah menjadi gumpalan energi yang langsung ditelan oleh ular Mi'an. Sadar jagoan mereka kalah, belasan monyet yang tersisa berhamburan melarikan diri. Di bawah cahaya purnama yang redup, kedua ular itu berhadapan.

"Mengapa kau hanya memakan energinya, Candrasa? Apa kau tidak ingin tumbuh sebesar aku?"

"Mi'an yang melarang, Kak. Ia hanya memperbolehkanku memangsa energi mereka," jawab Candrasa sambil menatap iri tubuh Nagasari yang sebesar tiang telepon.

"Pemuda yang aneh. Entah kau beruntung atau sial mendapat pasangan seperti dia. Tapi setidaknya dengan tubuh sekecil itu, rasa laparmu tak akan sebesar aku."

"Mungkin itu tujuan dia, Kak. Mi'an tidak ingin banyak membunuh makhluk lain."

"Terserah dia lah. Aku pamit dulu. Ada hakim korup yang harus kutelan tadi, tapi terpaksa kutinggalkan untuk membantumu di sini."

"Terima kasih, Kak. Sampaikan salamku pada Mbah Lawu."

Mi'an tersadar ketika sinar matahari menyentuh wajahnya. Saat membuka mata, tubuhnya berada di samping batu besar tempat ia biasa menikmati fajar. Belasan ekor monyet yang berkerumun di sekitar tubuhnya tampak senang saat tahu ia telah siuman. Perlahan Mi'an bangkit, lalu duduk bersandar di batu. Empat ekor monyet yang tadi digendongnya satu per satu datang dan mencium tangannya sambil menangis. Menatap mereka, semua lelah yang dirasakan Mi'an lenyap, berganti bahagia.

Saat panas matahari sudah terasa menyengat dan Mbah Lawu belum kembali juga, perasaan Mi'an menjadi sedikit khawatir. Belum pernah sang kakek pergi selama itu. Apalagi Candrasa juga gagal mengadakan kontak dengan Nagasari. Saat senja tiba, perasaan khawatir di dada Mi'an semakin menjadi.

Tiba-tiba terdengar ramai teriakan di luar pondok. Mi'an langsung berdiri, membuka pintu, dan berlari menuju kerumunan para monyet. Kakeknya tergeletak bersimbah darah di sana. Tangan Mi'an gemetar saat membalikkan badan sang kakek. Dua luka panjang tampak menghiasi perutnya. Tangan Mi'an meraba leher Mbah Lawu. Meski pelan dan lemah, ia masih bisa merasakan denyutan halus itu. Segera saja digotongnya tubuh sang kakek masuk ke pondok.

Beruntung saat tinggal bersama Mak Ina dulu, Mi'an sempat belajar ilmu pengobatan darinya. Darah yang mengalir dari luka di perut Mbah Lawu sudah bisa dihentikan dengan jalan menotok simpul-simpul darahnya. Kakeknya beruntung, meski dalam, kedua luka itu tidak sampai membuat isi perutnya keluar.

"Luka-luka itu harus dijahit, An." Suara Candrasa terdengar di kepalanya.

"Bagaimana caranya?"

"Kau pikir aku dokter?"

"Di mana ada dokter di tempat seperti ini?"

"Ayo pergi. Akan kupinjami kau kekuatanku. Jangan khawatir, ini bukan bagian dari perjanjian. Aku melakukannya demi Nagasari."

"Di mana dia, Sa?"

"Jika belum mati, dia pasti sudah ditawan oleh orang yang melukai Mbah Lawu."

"Ayo cepat, An. Luka-luka itu akan segera terinfeksi jika tidak segera mendapat pertolongan."

"Tunggu dulu, An! Ada seseorang yang datang!"

Saat itulah terdengar suara pintu diketuk dari luar. Wajah Mi'an terlihat ragu dan bingung. Selama ini belum ada seorang pun yang berani mendatangi tempat ini di malam hari. Mi'an mempersiapkan dirinya. Jika terpaksa, malam ini ia rela untuk mengikat perjanjian dengan Candrasa.

"Siapa?"

"Aku, An. Mak Ina."

Seperti tersengat arus listrik. Mi'an segera berlari dan membuka pintu. Mak Ina dan Moza bergegas masuk ke dalam.

"Nanti saja pertanyaannya, An. Di mana kakekmu?"

"Ada di kamar, Mak."

"Ayo, Za. Cepat, sebelum terlambat."

"Kau ke luar dulu, An. Tenangkan monyet-monyet itu. Mereka tentu takut dengan dua ekor harimau putih yang datang bersama kami."

"Oh iya, An. Seharusnya mereka juga sudah datang."

"Mereka siapa, Mak?"

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang