Penyerangan Kedua (3)

3.9K 313 5
                                    

Di tengah serunya pertempuran, Nduk yang telah menjelma menjadi perkutut putih justru sedang berada di rerimbunan semak. Tubuhnya terbang dari satu semak ke semak yang lain. Sudah dari tadi dia mencoba mencari tanaman itu, namun belum belum juga ketemu. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Alih-alih tanaman pesanan Taligeni, ia malah bertemu dua ular raja kobra yang sedang melata. Kedua ular itu segera menegakkan leher mereka. Nduk pun segera terbang menjauh.

Setelah beberapa saat saling pandang, tahulah Nduk jika kedua ular itu juga bangsa jin. Tak ingin terjadi salah paham, Nduk memilih pergi. Misinya jelas lebih penting daripada harus mengurusi ular-ular itu. Lokasi pertemuan yang jauh dari medan perang membuat Nduk tidak berprasangka buruk pada mereka.

Sejak perang saudara selesai, Taligeni yang merasa gagal menjalankan amanah sebagai penasehat memutuskan untuk tidak menggunakan kekuatannya lagi. Untuk menghindari khilaf, kekuatan itu ia titipkan pada tanaman bayam duri. Namun sejak bertemu Mayangkara, sudut pandangnya mulai berubah. Bahkan saat teringat Nagawira, ia merasa malu karena telah menjadi makhluk yang munafik. Bisa menasehati, tapi tak mau menjalani.

Tekad untuk mengambil kembali kekuatan itu semakin bulat ketika Buto Wanara dan dua pembantunya berhasil membuatnya tak berdaya. Saat itu ia merasa benar-benar tak berguna. Karena itulah dia meminta Nduk untuk mencari lokasi tumbuhnya tanaman bayam duri di sekitar sana.

"Aku sudah menemukan tanaman itu, Kek. Cepat susul aku." Bisikan Nduk bergema di kepala Taligeni.

"Syukurlah, Nduk. Aku akan segera menuju ke sana."

"Rib, Is, aku akan pergi dulu sebentar. Kalian bertahanlah semampunya," pamit Taligeni sebelum menghilang.

Ribka dan Iis hanya mengangguk. Serbuan jin-jin Alas Ngawi yang datang seperti banjir membuat mereka harus berkonsentrasi penuh agar tidak tertikam senjata para jin monyet itu. Kemampuan yang belum sepenuhnya pulih menyebabkan ilmu kumbolo geni Ribka tidak sedahsyat sebelumnya. Beruntung Iis ikut mendampinginya. Meski kurang pengalaman, pedang merah Iis adalah bantuan yang sangat berharga.

Taligeni menemukan Nduk sedang berada di sebuah tebing. Ia menghela napas lega saat melihat beberapa gerumbul bayam duri ada di depan gadis itu.

"Terimakasih, Nduk. Sekarang kembalilah. Mereka membutuhkan bantuanmu. Sebentar lagi aku akan menyusul."

"Baik, Kek. Aku pergi dulu," ucap Nduk sambil melesat pergi.

Taligeni merubah wujudnya menjadi ular talipicis. Ia kemudian melilit batang bayam hingga duri-duri tanaman itu menusuk tubuhnya.

"Bayam duri, izinkan aku mengambil kembali titipanku," bisik Taligeni.

Ketika Taligeni sedang berusaha mendapatkan kekuatannya kembali, situasi peperangan semakin panas. Candrasa yang sedang berhadapan dengan Buto Wanara masih terlibat pertempuran sengit. Ilmu pancasona yang dimiliki Buta Wanara membuat setiap lukanya langsung menghilang. Tembakan bola dan sinar energi juga tak bisa berbuat banyak. Gada yang dipegang Buto Wanara seperti mampu menyelesaikan setiap serangan itu.

Condromowo sedikit lebih beruntung, meski kedua lawannya juga memiliki ilmu pancasona, gada mereka bukanlah senjata mustika. Beberapakali serangan sinar matanya bisa menyentuh dan membuat monyet-monyet raksasa itu terpental. Meski tak ada luka luar, Condromowo tahu mereka pasti terluka dalam.

Mbah Sirna mengamati jalannya pertarungan sambil tersenyum. Saat melihat Kalabrama muncul, ia sudah merasa menang.

"Harto pasti sudah tidak punya pengawal lagi. Sosromolo, ayo kita temani dia."

Aroma busuk yang tercium semakin kuat membuat Harto mempererat genggaman di gagang tombaknya. Dari kejauhan, ia bisa melihat sosok Mbah Sirna dan jenglot yang mengelus aroma busuk itu berjalan mendekatinya.

"Aku tidak ingin berperang, To. Untuk apa juga melawan orang yang sudah kalah." Suara Sirna mendahului tubuhnya.

"Kau terlalu sombong, Na. Sebentar lagi Kalalatu dan Kalageni akan menghabisi burung dan musang itu."

"Lalu kenapa? Setelah itu jenglotku yang akan membunuh mereka."

"Sudahlah, To. Akui saja kekalahannu. Nanti setelah perang ini selesai, aku akan mengangkatmu sebagai pembantuku."

Harto melirik Sirna yang telah duduk tak jauh darinya. Jenglot yang telah memanusia sendiri berdiri di antara mereka. Dalam hati Harto mengeluh, situasi yang berkembang ternyata berbeda jauh dari yang diperkirakannya. Diam-diam tangannya masuk ke saku. Setelah menemukan apa yang dicari, ia mulai mencabut jarum-jarum yang menancap di boneka itu.

Kalabrama yang sedang berhadapan dengan jenglot Mbah Sirna bertempur dengan sangat berhati-hati. Ia tidak ingin mengalami nasib seperti Gonggo Wulung dan Senapati Wilis. Sengaja ia memilih menggunakan serangan jarak jauh sambil sesekali melakukan tikaman dengan keris yang dibawanya.

Tidak seperti dua jenglot yang melawan jin-jin Nusa Karang yang membiarkan tubuhnya dihajar oleh senjata. Kali ini Kalabrama melihat jenglot yang dihadapinya lebih memilih menghindari tusukan keris. Hal ini membuat semangat Penguasa Kawah itu bertambah.

"Rupanya tanduk Gundala Wereng ini benar-benar ampuh. Bahkan jenglot Sosromolo saja tidak berani bersentuhan langsung dengannya," batin Kalabrama.

Kalabrama yang kepercayaan dirinya telah kembali menyerang dengan ganas. Api berulangkali disemburkannya untuk mengalihkan perhatian jenglot agar bisa menikamkan kerisnya. Karena ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan, Kalabrama memutuskan untuk menggunakan ilmu pamungkasnya, Wujud Geni

Mulut Kalabrama menyemburkan api tiada henti hingga membentuk manusia api serupa dirinya. Makhluk itu lalu meloncat dan memeluk erat jenglot Mbah Sirna. Di saat yang sama, Kalabrama ikut meloncat untuk menikam jenglot yang sudah kesulitan bergerak itu. Namun ternyata ia salah perhitungan.

Saat tubuh Kalabrama telah berada di belakang Wujud Geni, tiba-tiba saja kuku jenglot itu memanjang dan menusuk tubuhnya. Wujud Geni pun perlahan memudar dan menghilang seiring dengan ambruknya tubuh Kalabrama. Penguasa kawah api itu tewas tanpa sempat berpamitan kepada dua saudaranya.

Keris Gundala Wereng pun berpindah ke tangan jenglot. Tapi sebelum ia sempat membawanya kepada Mbah Sirna, sebuah bayangan hitam panjang menyambar tubuhnya. Gundala Wereng ternyata telah lebih dulu bergerak untuk mendapatkan keris itu. Setelah ia menelan jenglot dan keris, cahaya kemerahan yang keluar dari tubuhnya semakin terang dan sebuah tanduk yang berwarna merah menyala tiba-tiba muncul di dahinya.

"Kau ingin bermain-main denganku, Sirna?" tanyanya sambil menatap tempat Mbah Sirna dan Harto bersembunyi.

"Setelah gadis itu membuka segelku, kau akan mengerti siapa Gundala Wereng yang sebenarnya. Jika macam-macam, aku tak akan segan-segan menelanmu juga."

Wajah Mbah Sirna pucat pasi. Ia tidak menyangka jika Gundala Wereng yang telah dianggapnya sebagai sekutu sejati akan mengkhianatinya. Harto sendiri hanya tertawa kecil. Ia sudah menduga jika Gundala Wereng hanya memanfaatkan Sirna untuk memuluskan kepentingannya.

"Siapa yang sebenarnya kalah, Na? Aku atau kamu?“ ejek Harto sambil menatap wajah Mbah Sirna.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang