Setelah memperoleh mahkota kerajaan Pulau Ular dan Pulau Buaya, mulailah Gundala Wereng mengumpulkan dan membentuk pasukannya. Mau tidak mau, semua harus mengakui jika Ia adalah raja dari dua kerajaan.
Di lembah Mayangkara, suasana telah menjadi sepi. Kecuali Candrasa, Naga, dan Wira, semua sudah meninggalkan tempat itu. Mi'an sendiri berada di gua rahasia Mayangkara. Candrasa memilih berjaga di dekat pintu masuk, ia tidak ingin mengganggu latihan yang sedang dilakukan Mi'an.
Saat terjaga, hal pertama yang dilihatnya adalah seekor kera putih besar yang menatapnya sambil tersenyum. Tentu saja ia merasa terkejut dan mencoba bangkit. Namun rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang dadanya membuat ia kembali membaringkan diri.
"Tenanglah, An. Namaku, Mayangkara. Kau pasti sudah pernah mendengarnya dari Moza, Iis, atau Taligeni."
"Di mana mereka, Tuan?“
Mayangkara lalu menceritakan apa yang telah terjadi di lereng Lawu. Wajah Mi'an menjadi semakin memucat saat ia tahu Moza telah menghilang.
"Hanya Candrasa yang masih di sini untuk menjagamu, yang lain sudah pergi mencari Moza."
"Aku juga akan pergi untuk mencarinya, Tuan. Terimakasih atas bantuannya."
"Dengan kondisimu sekarang apa yang bisa kau lakukan, An? Jangankan berjalan, untuk bangkit dari tempat tidur saja kau tak mampu."
"Sudahlah, ada alasannya mereka memintaku untuk merawatmu. Setelah kau bisa duduk, aku akan mengajarimu cara melawan ketiga energi itu."
Keesokan paginya Mayangkara mulai memberi petunjuk untuk mempelajari isi kitab Puspa Manunggal warisan dari sang Raja.
"Dalam tubuhmu mengalir berbagai macam energi dari berbagai sumber. Energi-energi itulah yang di dalam kitab ini diumpamakan sebagai helai-helai penyusun mahkota bunga."
"Tapi sayangnya energi-energi itu belum bersatu. Sebagian malah saling menyerang dan melemahkan. Hal itu berbahaya, karena jika dibiarkan, maka organ-organ dalammu akan terluka."
"Bukankah kau sering mengalami nyeri di ulu hati setiap usai bertarung, An? Apalagi ketika dalam pertarungan itu kau mengerahkan energi berjumlah besar.
"Benar sekali, Tuan Mayangkara. Tapi kupikir itu cuma karena kelelahan."
"Kau salah. Itu terjadi karena saluran-saluran di tubuhmu sedang belum siap untuk dilalui oleh energi itu. Ibarat sebuah sungai, kau itu sungai kecil. Aliran air yang terlalu banyak akan membuat kerusakan di sungai yang kecil."
"Lalu apa yang harus kulakukan, Tuan?“
"Mahkota bunga butuh dasar agar dapat disusun. Aku akan menuntunmu untuk membangun dasar itu, An."
"Oh iya, panggil saja aku guru, itu rasanya lebih nyaman daripada kata 'tuan'.
"Baik, Guru. Tolong ajari aku untuk membentuk dasar itu," ucap Mi'an sambil meraih tangan Mayangkara untuk dicium.
Kitab Puspa Manunggal sejatinya adalah ilmu untuk menyerap energi dari alam. Setiap benda di semesta diciptakan dengan karateristik energinya masing-masing. Orang yang serakah akan menyerap semua energi yang ada tanpa pilih dan pilah, sementara mereka yang bijak hanya akan mengumpulkan energi yang membawa kebaikan.
Mayangkara dengan telaten menuntun Mi'an untuk menemukan energi sejatinya sendiri. Tanpa dasar yang kuat, energi yang diserapnya hanya akan menjadi kekuatan liar yang pada akhirnya cuma menjadi racun bagi pemiliknya. Hal ini sering terjadi pada pemilik pusaka yang berenergi panas. Orang yang tidak kuat, biasanya akan terpengaruh dan ikut menjadi cepat 'panas'. Itu juga alasannya orang-orang yang mengerti tidak asal memahari sebuah pusaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...