Kera putih bernama Mayangkara itu menatap Talipicis yang terkulai di tangan Moza.
"Cepat kemarilah, energi yang melindungi kalian sudah lenyap. Jangan sampai mereka menyadari jika kalian masih hidup."
Moza menarik tangan Iis yang masih ragu-ragu. Keduanya lalu berjalan mendekati Mayangkara. Sesampainya di sana, Mayangkara mengambil Talipicis. Perlahan, ditiupnya ular kecil itu berulangkali.
"Bangunlah kawan, tugasmu masih panjang. Siapa yang akan mengawal kedua gadis ini jika kau mati?" bisiknya di antara tiupan.
Entah karena tiupan atau bisikan, Talipicis pelan-pelan bergerak. Setelah beberapakali menggeliat, ular itu lalu mengangkat kepalanya.
"Siapakah, Tuan? Talipicis berutang nyawa pada, Tuan."
"Namaku, Mayangkara. Kita semua punya utang budi, tak perlu berterimakasih. Siapakah namamu. Mengapa kau mengunci kekuatanmu sendiri?"
"Aku sudah terikat janji untuk tidak menggunakannya lagi."
"Kesetiaan itu memang penting, tapi tentu jika untuk sebuah hal yang benar. Kesetiaan buta justru akan menjerumuskan kita dalam kesesatan atau bencana."
"Jika kau tak mau menyebutkan namamu, tak masalah. Tapi tolong pikirkan ucapanku baik-baik. Andai bisa keluar dari tempat ini, akan kugunakan kekuatanku untuk berbuat kebaikan seperti Mi'an dan Mbah Lawu."
"Bagaimana kau tahu tentang Mi'an dan Mbah Lawu?"
"Monyet-monyet itu yang bercerita. Tempat ini adalah perlindungan mereka yang kedua."
"Mengapa kau tidak bisa meninggalkan tempat ini?"
"Lihatlah baik-baik apa yang ada di sekelilingmu."
Talipicis menegakkan lehernya. Saat itulah dia melihat dinding penghalang tebal yang memagari tempat itu.
"Siapa yang memasang penghalang sekuat ini, Tuan?"
"Tuanku sendiri. Ia tidak ingin aku membalas dendam atas kematiannya."
"Aneh, bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang hamba pada tuannya?"
"Tuanku itu mengorbankan dirinya untuk kedamaian negerinya. Jika aku membalas dendam dengan mengadakan pemberontakan, maka nyawanya akan terbuang sia-sia. Karena itulah sebelum dia melakukan pengorbanan itu, dikurungnya aku di sini."
"Jika kau sudah memahami itu, mengapa dia mengurungmu?"
"Pemahaman itu baru kudapatkan setelah bertahun-tahun terpenjara di sini."
"Aku tidak pernah menyetujui keinginannya untuk menyerahkan kekuasaan. Karena itu aku melanggar sumpah dan memberontak padanya. Maka kutukan sumpah itu pun datang." Talipicis melihat mata Mayangkara berkaca-kaca.
"Apakah kutukan itu tidak bisa dicabut, Tuan?"
"Tuanku itu sudah mencobanya, namun gagal. Saat pamit untuk terakhirkalinya, ia memelukku sambil menangis dan meminta maaf."
"Sudah ratusan tahun berlalu, tapi penyesalan yang ada di dadaku masih saja terasa perih. Andai saja dulu aku tidak senaif itu ... jangan sia-siakan kekuatanmu, Tuan Talipicis. Lakukan apa yang memang harus dilakukan."
"Namaku, Taligeni, Tuan Mayangkara."
Moza dan Iis tentu saja tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Taligeni dan Mayangkara. Keduanya hanya melihat Kera putih dan ular itu hanya saling pandang dan kadang sesekali menoleh kepada mereka.
"Mungkin kehadiran kalian adalah jawaban dari doa-doaku selama ini, Taligeni. Sudah lama aku ingin melihat saudara-saudaraku dari bangsa manusia. Setidaknya sekali sebelum maut menjemput. Marilah, kita lanjutkan pembicaraan ini di pondokku."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...