Dalam perjalanan pulang dari rumah Iis, Timur sedang berpikir keras. Lenyapnya Iis tentu akan menimbulkan masalah. Tanpa keterangan yang jelas, status temannya itu akan menjadi desertir.
"Han, kita pergi ke rumah Kapten Daniel dulu. Urusan ini harus dia ketahui. Kalau tidak begitu bisa geger nanti."
"Dari tadi aku juga berpikir soal itu, Mur."
Saat mobil mereka mendekati rumah Kapten Daniel, sebuah pemandangan aneh memaksa Timur serta Johan bergegas turun dan berlari memasuki rumah sang Kapten dengan senjata terhunus. Dua siluman berkepala babi hutan dan anjing yang tidak menduga kedatangan mereka segera saja terbunuh saat pedang dan keris itu menikam tubuh mereka.
Tiga siluman lain yang sedang mengintimidasi penghuni rumah menjadi korban Timur dan Johan berikutnya.
"Anda tidak apa-apa, Kapten? Mengapa makhluk-makhluk itu menyerang rumah ini?" tanya Timur sambil membantu Kapten Daniel berdiri. Istri dan anak Daniel sendiri pingsan di lantai.
"Entahlah, Mur. Mungkin ada hubungannya dengan anak pejabat yang kemarin kita tangkap gara-gara narkoba itu. Setan-setan itu tadi menyebut namanya. Kalian sendiri mengapa ada di sini?"
"Kita bawa anak dan istri Kapten ke kamar dulu, Mur. Kasihan mereka," bisik Johan.
Timur dan Johan lalu mengangkat mereka ke kamar. Setelah itu Timur menemani Daniel di ruang tamu, sementara Johan pergi ke dapur untuk membuat minuman. Sambil menunggu Johan, Timur bercerita tentang Iis.
"Terus maumu bagaimana, Mur?" tanya Daniel.
"Bisa tidak, Kapten atur Iis dalam penugasan khusus dengan saya? Masalah ini terlalu rumit jika sampai diketahui banyak orang, Kep."
"Memang. Sama dengan yang baru saja terjadi. Siapa yang akan percaya kalau kuceritakan ini pada orang lain."
"Baiklah, Mur. Selesaikan urusanmu dengan Iis. Cari dan selamatkan dia. Masalah administrasi biar aku yang urus."
"Terus bagaimana dengan anak pejabat itu, Kep? Makhluk-makhluk itu pasti akan dikirim lagi oleh Felix."
"Felix? Itu nama dukunnya, Mur?"
"Saya tahu sedikit anjing dan babi hutan itu, Kep," jawab Timur sambil membayangkan luka di dada Mbah Lawu.
"Sebentar, Mur. Orang yang kau maksud ini bukan si pengacara itu, kan?"
"Memang dia orangnya, Kep."
"Bajingan! Pantas saja dia selalu menang membela kliennya. Rupanya permainan kotor ini yang dilakukannya."
"Hanya jika orang itu tidak bisa disuap, Kep."
"Aku tidak akan kalah dengan intimidasi jin-jin itu, Mur. Aku yakin mereka tidak bisa melawan kuasa Tuhan."
"Sudah pasti itu, Kep. Tapi tak ada salahnya untuk berusaha. Biar nanti kupasang penghalang, setidaknya nanti istri dan anak Kapten bisa sedikit lebih aman."
"Terserah kau saja, Mur. Urusan seperti ini aku tidak tahu apa-apa."
Setelah Johan selesai membuat kopi. Timur lalu mengajaknya membantu membuat pagar. Sekeliling rumah itu mereka taburi dengan garam bercampur lada.
Di Ponorogo, Ki Surojoyo berjuang keras untuk menyelamatkan Alit. Dengan berbagai macam ramuan serta bantuan tenaga dalam ia berusaha menjaga cucunya itu agar tetap bernapas.
"Jika dia bertahan hidup, kuharap kau bersedia menjaganya, Ki Belang," bisiknya sambil menatap harimau yang berbaring di samping tempat tidur.
"Apa dia bersedia, Tuan?"
" Dia pasti bersedia. Toh makananmu cuma tujuh butir telur ayam kampung dan segelas kopi pahit."
"Murah, ya?"
"Tapi persahabatan kita jelas tak ternilai harganya, kan?"
"Kau sudah menyelamatkan hidupku, Tuan. Menjadi pembantumu saja sudah lebih dari cukup. Apalagi kau malah menganggapku sebagai teman."
"Kita memang tak seharusnya berhubungan, Ki Belang. Tapi takdir berkata lain. Kita jalani saja takdir ini sebaik-baiknya."
Saat Alit sedang terbaring di antara hidup dan mati, Mi'an sedang berada di hutan Larangan. Lawan yang ia hadapi saat ini berbeda dengan lawan-lawan sebelumnya. Jika biasanya monyet-monyet siluman itu berbulu abu-abu, kali ini yang datang adalah monyet-monyet berwarna hitam. Pola serangan mereka juga lebih liar dan ganas.
"Mereka bukan penghuni asli hutan ini, An. Pancaran energinya berbeda." Candrasa yang melingkar di lehernya berbicara lewat telepati di sela pertempuran.
Seekor monyet yang tubuhnya lebih besar dari yang lain menatap Mi'an yang sedang berusaha membebaskan diri dari kepungan puluhan monyet. Kedua lengan binatang itu dipenuhi oleh gelang Sosrobahu. Sedang kedua tangannya memegang gada yang berwarna kuning berkilauan.
"Jika monyet besar itu ikut turun, berhati-hatilah dengan gada wesi kuningnya, An. Kekuatan cukup dahsyat. Apalagi jika monyet itu tahu cara menggunakannya."
Monyet besar itu menggeram. Monyet-monyet yang mengepung Mi'an tiba-tiba saja membubarkan diri.
"Kekuatanmu tidak seberapa. Bagaimana mungkin sepupuku itu kesulitan untuk melawanmu? Jangan-jangan Wanara Gimbal hanya ingin bermalas-malasan saja," ucap monyet besar sambil berjalan mendekati Mi'an.
"Jadi benar kau bukan penghuni hutan ini? Pantas saja cara bertempur kalian berbeda."
"Namaku, Setra Wulung. Senapati Alas Ngawi. Bersiaplah, malam ini aku akan memecahkan kepalamu."
"Silakan, tentu saja jika bukan aku duluan yang meremukkan ubun-ubunmu."
Setra Wulung yang menganggap remeh Mi'an langsung meloncat sambil mengayunkan gadanya. Namun Mi'an dengan gesit menghindari serangan itu. Setelah berulangkali menyerang dan tidak membuahkan hasil, tahulah Setra Wulung jika tadi Mi'an sengaja menyembunyikan kemampuannya. Amarah monyet itu semakin menyala saat Mi'an memungut sebatang ranting sebagai senjata.
"Bocah sombong! Kau belum tahu dengan siapa sedang berhadapan!"
Setra Wulung berdiri sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Tubuhnya perlahan membesar. Jika tadi dia setinggi Mi'an, kini menjadi duakalinya. Tak lama kemudian gadanya menyambar. Kali ini Mi'an tak lagi bermain-main.
Serangan-serangan Setra Wulung datang seperti badai. Monyet-monyet yang lain berhamburan menjauh. Mereka tak ingin menjadi korban serangan gada itu. Mi'an sendiri harus mengakui jika ilmu Setra Wulung cukup tinggi. Apalagi saat gada itu akhirnya bisa menghantamnya. Dadanya terasa sesak, seolah sedang tertimpa batu besar.
"Apa aku perlu turun tangan?" tanya Candrasa.
"Jangan dulu. Aku harus memaksimalkan kemampuanku, Sa."
"Kau harus memiliki senjata, An. Aku bisa berubah menjadi pedang atau tombak."
"Nanti, Sa. Sekarang biar aku coba dulu ilmu-ilmu yang telah kupelajari."
"Baiklah. Tapi saat kau benar-benar terdesak, sudah menjadi kewajibanku untuk melindunginu."
"Aku tahu itu, Sa."
Mi'an meloncat mundur, lalu memposisikan diri seperti orang berlutut. Kedua tangannya lurus ke tanah, sementara wajah menghadap ke atas. Setra Wulung menyangka Mi'an menyerah. Tawanya terdengar membahana. Namun tawa itu langsung berubah menjadi jeritan ketika dua larik sinar berwarna putih kebiruan menerjang dadanya. Tubuh monyet itu menyusut dengan cepat dan akhirnya berubah menjadi monyet biasa.
Monyet-monyet yang lain berlomba melarikan diri. Namun gerak Candrasa lebih cepat. Setidaknya ada belasan ekor monyet yang berhasil dilahapnya. Sementara yang lain cuma dihisap energinya. Setelah suasana menjadi sepi, Mi'an menghampiri mayat Setra Wulung. Dipungutnya sepasang gada wesi kuning yang tergeletak di samping mayat. Di genggaman Mi'an, kilau keemasan di gada itu berangsur lenyap.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...