Saat Mi'an, Candrasa, dan Condromowo tiba di lereng Lawu pagi itu, yang menyambut mereka adalah kesunyian dan kepulan asap. Lubang-lubang di tanah dan pohon-pohon yang tumbang menunjukkan dahsyatnya pertempuran yang sudah terjadi. Pondok tempat tinggalnya selama ini juga telah menjadi abu. Belasan kerangka mereka temukan di antara puing dan abu di sana.
"Kita terlambat, Ndra. Mereka telah menghancurkan tempat ini," bisik Condromowo sambil meneteskan air mata.
"Tapi di mana mayat Mak Ina Darwis, dan yang lain? Kerangka-kerangka yang ada di pondok jelas bukan mereka."
"Kalau tidak dibawa pergi untuk diambil batu sariranya, kemungkinan mereka sudah dimakan Gundala Wereng."
"Akan kubalas dendam dan sakit hati mereka, Ndra. Ini sumpahku."
"Aku juga, Sa. Meskipun harus mengorbankan nyawa, akan kuabdikan diriku untuk menuntut balas pada orang-orang itu."
Mi'an sendiri duduk di samping batu besar. Sejak menguburkan kerangka yang ditemukan di pondok, di sanalah ia menyesali diri. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Tatapannya kosong, semua semangat hidupnya sudah lenyap. Bahkan saat Candrasa dan Condromowo menyusul dan ikut duduk di sana, Mi'an tak bereaksi.
"Aku benar-benar bodoh. Andai tidak terpengaruh oleh Ambar, kejadian ini pasti tak akan terjadi." Akhirnya Mi'an berbicara.
"Kau itu siapa, An? Tuhan? Kepastian bukan wilayah ciptaan, tapi Pencipta. Berandai-andai tidak akan menyelesaikan masalah," ucap Condromowo.
"Condromowo benar, An. Ini sudah takdir, tugas kita adalah menyikapinya." Candrasa ikut berbicara.
Seekor burung perkutut putih tiba-tiba hinggap di batu besar. Burung itu lalu berubah menjadi seorang gadis yang tubuhnya dipenuhi oleh luka. Mi'an langsung berdiri saat melihat kehadiran Nduk.
"Nduk, kau selamat?! Di mana Ara dan yang lainnya?!"
Nduk menatap Mi'an. Air matanya berlinang.
"Ara sudah tewas dalam pertempuran. Begitu juga dengan Kakek Darwis, Mbah Lawu, Nagasari, dan tiga harimau putih."
"Lalu di mana tubuh mereka?"
"Jathayu dan Musang Api membawa kabur jenazah Kakek Darwis serta Mbah Lawu di saat Sirna dan kawan-kawannya sedang sibuk bertarung satu sama lain."
"Mak Ina, Moza, Timur, Johan, dan Iis bagaimana?"
"Mak Ina ditawan oleh Harto. Ribka dibawa pergi oleh Felix. Sedang Timur, Alit, dan Johan menjadi tahanan Mbah Sirna. Moza dan Iis sendiri mungkin sudah menjadi abu ketika mereka memutuskan untuk membakar pondok."
"Maksudmu bukan orang-orang itu yang membakar pondok?" tanya Condromowo.
"Saat mereka ribut bertarung, tiba-tiba saja pondok itu sudah menjadi lautan api, Ndra. Siapa lagi yang melakukan itu selain Moza dan Iis. Apalagi Moza pernah berjanji, jika lebih baik mati daripada harus membuka segel Gundala Wereng."
Tubuh Mi'an langsung lemas saat mendengar cerita Nduk. Sedikit harapan yang tadi sempat muncul kembali pupus.
"Musuh kita tinggal tiga orang, An. Dalbo dan Hendro tewas dalam pertempuran kedua melawan Harto dan Sirna."
Mi'an seolah tak mendengar ucapan Nduk. Kabar kematian Moza dan Iis yang begitu tragis benar-benar mengguncang jiwanya. Begitu kuatnya guncangan itu hingga aliran energinya menjadi kacau dan tak terkendali. Benturan energi itu membuat ia memuntahkan darah dan jatuh pingsan.
"Tunjukkan di mana Darwis dan Mbah Lawu dimakamkan, Nduk. Mari kita bawa Mi'an ke sana."
"Ayo ikuti aku, Ndra. Akan kuantar kalian ke sana."
Sambil menggotong tubuh Mi'an, Condromowo mengikuti Nduk. Makam Darwis dan Mbah Lawu terletak di lereng yang sulit dicapai manusia. Saat mereka tiba, Jathayu dan Musang Api sedang berdiri dalam kondisi siaga. Sikap mereka langsung berubah ketika tahu siapa yang datang. Candrasa dan Condromowo segera memperkenalkan dirinya pada mereka.
Saat Mi'an terjaga, hari sudah malam. Api unggun menyala di dekat tempatnya terbaring. Condromowo, Candrasa, Nduk, dan dua makhluk yang belum dikenalnya tampak duduk di tempat itu.
"Kau sudah sadar, An. Makanlah dulu, dari tadi pagi perutmu belum terisi sama sekali. Aku dan Candrasa sudah membakar seekor ayam buatmu."
"Aku tidak selera makan, Ndra. Di mana kita?"
"Jika kau tidak makan, bagaimana kau akan membalas sakit hati ini? Tak malukah kau pada dua orang yang terkubur di sana itu? Kita berada di makam Kakekmu dan Darwis," ucap Condromowo sambil menunjuk dua gundukan tanah tak jauh dari tempat itu.
Mi'an langsung bangkit dan berlari ke dua makam yang letaknya berdampingan. Di sana tangisnya kembali pecah. Air matanya menetes membasahi nisan Mbah Lawu yang terbuat dari sepotong bambu. Setelah puas, ia kembali ke samping Condromowo.
"Masih ada Mak Ina, Timur, Johan, dan Ribka yang harus kita selamatkan, An. Kau tak boleh terus larut dalam kesedihan."
"Ribka, siapa dia? Bagaimana bisa dia terlibat dalam urusan ini?"
Nduk lalu menceritakan siapa Ribka dan apa hubungannya dengan Felix. Keterangan tambahan dari Jathayu tentang Pius dan perjuangan Ribka untuk melunasi utang kegelapannya membuat semangat Mi'an perlahan bangkit.
"Bagaimana rencana kita untuk menyelamatkan mereka?" Mi'an berbicara sambil menatap api unggun.
"Kita punya keuntungan. Sesudah perang tanding kemarin, ketiga orang itu kini jelas tak lagi bersekutu." Condromowo menatap Mi'an.
"Tapi kita harus bergerak cepat. Tanpa kehadiran mustika itu, Mak Ina, Ribka, Timur Alit, dan Johan tak ada nilainya untuk ketiga orang itu."
"Aku punya saran. Condromowo, keluarkan mustika itu," ucap Mi'an.
"Kau mau menjadikan dirimu buruan, An?" tanya Candrasa. Ia sudah bisa menebak maksud Mi'an.
"Ini satu-satunya jalan, Sa. Jika mereka tahu aku memegang mustika ini, maka nyawa teman-teman kita mungkin bisa sedikit lebih lama."
"Mi'an benar. Meski resikonya besar, cara ini mungkin akan berhasil." Jathayu ikut memberikan suara.
"Tanduk Gundala Wereng ada di tangan Harto, An. Waktu itu ia menggunakan benda itu untuk mengancamnya," ucap Nduk.
"Kekuatannya memang mengerikan. Tiga jin Mbah Sirna yang tidak bisa mati teryata tewas setelah ditikam Harto dengan tanduk yang berwujud keris itu. Tubuh mereka menjadi abu."
"Baiklah. Mari kita pergi dari sini. Tapi aku tidak ingin kalian ikut karena terpaksa. Di antara kita tidak ada perjanjian. Jika memang keberatan, tidak ada masalah. Aku akan melakukan ini sendirian."
"Kau ini bicara apa, An? Mereka adalah temanku juga." Mata Condromowo menyala saat mengucapkan itu.
"Kami berutang budi pada Kakek Darwis, An. Dan jangan lupa, Ara juga terbunuh di pertempuran itu. Bukan begitu, Nduk?"
"Ribka anak asuhku, walau harus mati, akan kuusahakan untuk menyelamatkannya."
"Kau mau melawan sepuluh Gundala Wereng pun aku akan menemanimu. Itu janjiku padamu, An." Candrasa berbisik di telinga Mi'an.
Setelah berpamitan pada makam Darwis dan Mbah Lawu, Mi'an, Candrasa, Condromowo, Jathayu, Nduk, dan Musang Api meninggalkan tempat itu.
Di sisi gunung yang lain, Moza dan Iis sedang kebingungan. Ujung terowongan yang dibuat oleh para monyet ternyata adalah sebuah lembah. Talipicis yang kelelahan karena terlalu banyak mengeluarkan energi terkulai lemas di tangan Moza.
Suara gemerisik semak-semak membuat keduanya waspada. Iis sudah mencabut pistol dan mengarahkannya ke arah sumber suara.
"Suruh sahabatmu menurunkan senjata. Aku teman dari monyet-monyet yang menyelamatkan kalian." Sebuah bisikan sampai ke telinga Moza.
"Turunkan senjatamu, Is. Kita lihat dulu siapa yang datang." Moza menarik tangan Iis ke bawah.
Tak lama kemudian seekor kera yang seluruh bulunya berwarna putih muncul dari rerimbunan semak. Tubuhnya seukuran manusia serta memakai pakaian yang terbuat dari kulit binatang.
"Namaku Mayangkara. Sama seperti Condromowo, aku juga manusia yang terkena kutukan karena kalah sumpah."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...