Pengantar Pesugihan

4.3K 330 3
                                    

Namun sayang, tak ada satu nelayan pun yang mau mengantarkan mereka. Nama Pulau Ular saja tidak pernah mereka dengar, apalagi letak pulaunya. Setelah seharian berputar-putar, Mi'an akhirnya singgah di warung yang ada di pelabuhan itu. Wajahnya terlihat kusut dan lelah.

"Kamu yang ingin menyewa kapal ke Pulau Ular?" Laki-laki penjaga warung tiba-tiba saja bertanya.

"Benar, saya Mi'an, Bapak tahu caranya?"

"Tunggulah sampai jam duabelas malam. Kebetulan hari ini malam Jumat Kliwon, biasanya ada kapal yang akan menuju ke sana."

"Tapi sebaiknya urungkan saja niatmu itu. Kamu masih muda, tubuhmu juga sehat. Kenapa tidak bekerja saja daripada mencari pesugihan."

"Saya tidak mencari pesugihan, Pak."

"Lha terus untuk apa kamu ingin ke pulau itu? Semua orang di sini tahu tujuan orang-orang ke sana untuk mencari pesugihan."

"Ada urusan yang harus saya selesaikan di sana, Pak."

"Ya sudah. Aku cuma mengingatkan saja. Rezeki halal itu lebih bisa dinikmati dan menentramkan."

"Saya tahu itu, Pak. Terimakasih."

Waktu berjalan. Pagi berganti siang dan akhirnya menjadi malam. Mendekati tengah malam, sebuah kapal berbentuk seperti binatang aneh terlihat mendekati pelabuhan. Bapak pemilik warung itu tiba-tiba muncul. Pakaiannya telah berganti, ia kini lebih mirip abdi dalem kerajaan.

"Siapa anda sebenarnya, Pak?" bisik Mi'an.

"Aku cuma orang terkutuk yang salah dalam membuat pilihan, namaku Wardi."

"Ayo ikut. Jangan katakan apapun. Biar aku saja yang nanti berbicara.. Mudah mudahan saja cuma pelayan yang ada di kapal itu."

"Itu bukan kapal manusia, An. Aku tidak bisa ikut menaiki kapal itu. Mereka akan mengetahui keberadaanku dalam dirimu."

"Lalu bagaimana?" tanya Mi'an.

"Berikan pedang, keris, dan mustika itu padaku. Akan kucari jalan untuk masuk ke sana sendiri," jawab Candrasa.

Mi'an lalu pamit sebentar pada Wardi. Alasannya untuk buang air kecil. Di balik gerumbul pohon bambu, ia menyerahkan ketiga benda pusaka itu pada Candrasa.

"Kau tidak curiga aku membawa kabur pusaka-pusaka ini?"

"Bukankah kita teman?"

"Baiklah. Berhati-hatilah. Dari bentuk jin-jin itu, mereka penghuni muara." Candrasa mengingatkan.

"Kita ikuti saja, Sa. Barangkali memang ini jalan yang harus kita lewati."

Mi'an dan Wardi lalu berjalan menuju kapal. Dua orang yang tubuhnya bersisik, berkepala mirip kadal, dan berbau amis menghentikan mereka dengan tombaknya.

"Tunggu dulu! Siapa pemuda ini?!" tanya salah satu dari mereka.

"Dia calon pewarisku. Aku mengajaknya agar nanti tahu tempat tugasnya," jawab Wardi.

"Pewaris? Mengapa tidak ada pemberitahuan jika kau akan mengajak seseorang?"

"Kau tidak percaya padaku? Anak dan Istriku ada di tangan kalian, kan? Bagaimana mungkin aku berani berbohong?"

"Baiklah, tapi aku mencium bau kucing dan ular."

"Pekerjaan pemuda ini memang pedagang sate ular, anjing, kucing, dan biawak. Kapan-kapan akan kusuruh dia membuatnya untukmu."

Saat mendengar kata biawak, mata makhluk itu menatap Mi'an. Ada pendar kemarahan di sana.

"Ya sudah, ayo cepat naiklah. Aku tak ingin mati kehabisan napas di sini. Aroma tempat ini sangat memualkan."

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang