Di sisi hutan yang lain, Harto juga mengawasi Moza. Di sebelah kirinya, tiga jin dari Nusa Karang sudah berubah wujud menjadi manusia lipan, kalajengking, dan laba-laba. Kalabrama, Kalageni, dan Kalalatu sendiri berada di samping kanan Harto. Keenam jin itu hanya tinggal menunggu perintah untuk memasuki medan laga.
"Apa yang kau tunggu, To. Mumpung mereka disibukkan oleh Hendro," bisik Kalabrama.
"Apa kau tidak merasakan aura yang mengerikan itu, Kalabrama?"
Kalabrama lalu memusatkan perhatiannya. Apa yang dikatakan Harto benar. Ada energi asing beraura menakutkan di sekitar tempat itu. Samar-samar, hidungnya juga mencium aroma busuk.
"Jin mana lagi yang dibawa Sirna kali ini?“
"Karena itulah aku masih menunggu. Kekuatan Gundala Wereng sudah bisa kita perkirakan, tapi pemilik energi asing ini entah seperti apa wujud dan kemampuannya."
"Aku mengenal energi ini, Tuan. Berhati-hatilah dengan mereka. Seluruh tubuh makhluk ini dipenuhi racun mayat. Siapapun yang sampai terkena racun itu, tubuhnya akan membusuk." Manusia lipan tiba-tiba saja ikut berbicara.
"Siapa mereka? Apakah kau pernah berhubungan dengan makhluk-makhluk ini?" tanya Harto.
"Tidak pernah, tapi ratusan tahun yang lalu nama Sosromolo cukup ditakuti oleh banyak orang. Pemilik mereka sangat kejam, sudah tak terhitung jumlah korban yang dibunuhnya."
"Sosromolo, rasanya aku juga pernah mendengar tentang dia, To. Kehadirannya di suatu tempat akan membuat penduduknya terserang wabah penyakit."
"Kalabrama benar, memang itulah tugasnya. Tenaganya biasa saja, tapi ilmu kebal dan racunnya luar biasa."
Saat mereka sedang bercakap-cakap itulah, sebuah bayangan hitam besar memasuki arena pertarungan. Dari pendar kemerahan yang tampak, Harto tahu Gundala Wereng telah bergerak.
"Kita bergerak sekarang, To?" tanya Kalabrama.
"Kau di sini saja dulu. Kalian bertiga, masuklah ke arena. Tugas kalian adalah membunuh gadis itu sebelum Gundala Wereng mendapatkannya."
Manusia lipan, kalajengking, dan laba-laba segera bergerak untuk melaksanakan tugas yang diberikan Harto. Monyet-monyet dan kelelawar yang berusaha menghalangi, mereka habisi tanpa ampun. Tanpa perlawanan berarti ketiganya sudah berhadapan dengan Gundala Wereng yang ditemani oleh dua jenglot.
Gundala Wereng terkejut melihat kehadiran tiga manusia serangga itu.
"Sampah-sampah dari Laut Selatan ternyata ikut hanyut ke tempat ini juga," ejeknya.
"Apa bedanya? Toh yang dari utara juga sama-sama sampahnya." Manusia kalajengking membalas ejekan Gundala Wereng.
"Senapati Wilis, biar aku yang melawan cacing dari utara ini. Kau dan Gonggo Wulung awasi saja pergerakan dua jenglot itu," ucap manusia lipan.
"Baiklah, Klabang Ungu. Aku titip potongkan lidah cacing itu."
Gundala Wereng menggeram ketika melihat tangan Klabang Ungu berubah menjadi sepasang sabit yang berwarna ungu gelap. Seluruh tubuh manusia kelabang itu kini memendarkan cahaya yang sama.
Dua larik sinar merah keluar dari mata Gundala Wereng meluncur ke arah Klabang Ungu. Ular hitam itu rupanya tak ingin membuang waktu dan ingin langsung menghabisi manusia kelabang. Tapi lawannya bukanlah makhluk kelas rendah. Klabang Ungu bergerak cepat dan berhasil menghindari serangan itu. Sepasang sabitnya kemudian ganti menyerang Gundala Wereng. Percik bunga api keluar saat sabit itu membentur sisik Wereng.
Iis yang melihat kehadiran Gundala Wereng, dua jenglot, dan tiga jin dari Nusa Karang dilanda kecemasan. Sendirian, ia jelas tak mampu menghadapi makhluk-makhluk itu. Bau bangkai yang tercium juga membuat perutnya mual. Beruntung energinya cukup kuat, sehingga racun yang ada di aroma itu tidak membuatnya mabuk dan pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...