Kerajaan Duyung

4.2K 331 5
                                    

Candrasa dan Condromowo beradu pandang. Kalimat yang diucapkan Talipicis membuat pikiran mereka ingin semakin cepat meninggalkan tempat itu.

"Ayo segera kita hancurkan tempat ini, Sa?" Mata kucing itu menyala saat berbicara.

"Aku tahu kau mengkhawatirkan Mak Ina, tapi kita harus fokus pada Mi'an dulu, Ndra."

"Kau benar, Sa. Sebaiknya kau mencari senjata sebagai pengganti dua pedangmu itu, Sa."

"Kita ke gudang penyimpanan senjata saja, Paman Candra. Aku tahu di mana letaknya. Kemarin sebelum dibawa ke penjara, aku dan Wira berhenti di situ untuk menaruh pedang dan keris Paman Mi'an."

"Bagus. Ayo tunjukkan tempatnya, Naga."

Keempatnya langsung menuju gudang senjata. puluhan prajurit istana yang berpapasan dengan mereka menjadi makanan ringan untuk Candrasa yang memang kelaparan. Setelah beberapa lama menyusuri lorong-lorong istana, sampailah mereka di gudang itu. Dua orang perwira penjaga yang bertugas tak bisa berbuat apa-apa saat Condromowo memaksa mereka menyerahkan kunci pintu.

Ada ratusan ratusan senjata di ruang penyimpanan itu. Berbagai macam pedang, keris, tombak, kapak, luwuk, golok, dan masih banyak lagi jenis senjata lain bergantungan di dinding dan tertata di rak.

"Terlalu banyak pilihan kadang malah semakin merepotkan," bisik Candrasa.

"Jin dan manusia memang sulit lepas dari godaan serakah, Ndra."

"Sudahlah, pusaka itu memilih tuannya. Ayo kita rasakan saja getaran pusaka-pusaka itu. Mana yang paling nyaman, itulah yang harus kita ambil." Condromowo memberikan saran.

Candrasa, Condromowo, Naga, dan Wira segera memusatkan kekuatan batinnya masing-masing. Energi dari senjata di ruang itu satu per satu menyentuh 'rasa' mereka. Tak berselang lama, keempatnya telah mendapatkan senjatanya masing-masing. Candrasa memegang tombak bercabang dua, Naga dan Wira memilih pedang yang berwarna hitam dan putih, sedang Condromowo sudah membawa sebilah pedang sabet dan perisai.

"Sejak kapan kau bisa berubah menjadi manusia kucing, Ndra?" tanya Candrasa. Ia benar-benar kagum dengan penampilan Condromowo yang baru.

"Aku juga terus berlatih, Ndra, dan inilah hasilnya. Sama seperti bangsamu yang butuh energi besar untuk mewujud nyata di alam manusia. Perubahan ini juga membutuhkan energi yang besar. Karena itu kita harus bergegas, aku tak tahu sampai berapa lama bisa bertahan di wujud ini."

"Naga, Wira, dari mana kalian mendapat tenaga untuk berubah wujud?" tanya Candrasa.

"Kakek Talipicis tadi memberi kami masing-masing sebutir mutiara, Paman. Katanya kami harus ikut berjuang untuk membebaskan Paman Mi'an."

"Tidak percuma dia disebut penasehat ... tapi mengapa Paman Talipicis masih saja mau melayani Raja yang licik itu?"

"Bayangkan jika Talipicis tidak ada di kerajaan, Sa. Rajamu akan semakin semena-mena, karena tak ada lagi figur yang diseganinya. Talipicis bertahan di istana itu bukan demi rajamu, tapi demi tanah air dan rakyat yang dicintainya. Aku paham itu, Sa. Sebelum kalah sumpah dan terkutuk menjadi kucing, aku adalah punggawa kerajaan."

"Nanti tanyakan sendiri pada dia, Sa. Sekarang, mari kita buat perhitungan dengan Ambar."

Suasana di tempat Ambar melangsungkan pernikahan dengan Mi'an sangatlah ramai. Ruangan itu dipenuhi oleh berbagai jenis dan bentuk jin air. Pasukan pengawal juga bertebaran di mana. Nagawira yang sejak awal menggunakan ilmu panilap agar tidak terlihat, akhirnya berhasil mendekati singgasana. Diamatinya Mi'an lekat-lekat.

"Pantas saja pemuda itu hilang ingatan, otaknya dikuasai oleh jin berwujud cacing," batinnya.

Saat Nagawira mengedarkan pandangannya pada berbagai macam makanan dan minuman, tahulah dia bagaimana cara Ambar membuat korban-korbannya tak berdaya. Semua hidangan itu dipenuhi oleh benih cacing. Siapapun yang mengkonsumsi makanan dan minuman itu pasti akan terinfeksi dan akhirnya tunduk pada Ambar.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang