Mak Ina dan Moza kembali ke ruang tamu. Kemudian Mak Ina menceritakan apa yang terjadi. Kening Mi'an berkerut saat mendengar kisah itu.
"Mengapa kau tidak mengatakan jika pernah berteman dengan Wereng, Sa?" tanyanya pada Candrasa.
"Teman? Aku dan dia hanya pelaksana dari perintah tuan kami, An. Jangan salah melihatnya."
"Gundala Wereng itu sejak awal sudah kejam. Kebetulan tuan kami anak dari pewarisku dan pewarisnya. Sebuah hal yang sangat jarang terjadi."
"Jadi benar dia hanya bisa terbunuh dengan keris itu?"
"Benar, An."
"Lalu mengapa kau tidak mengatakanya?"
"Sebab aku tidak mau melihatmu terbunuh, An."
"Mengapa, bukankah dengan demikian kau akan bebas? Aku kan tidak punya keturunan."
"Sebab kau satu-satunya orang yang tidak memandangku sebagai alat, An."
"Sebab kau adalah temanku."
Mi'an tak bisa berkata-kata lagi. Jawaban Candrasa benar-benar tak pernah diduganya.
"Terima kasih, Sa," bisiknya lirih.
"Tapi tampaknya aku harus menemui Raja Ular itu, Sa. Bagaimanapun juga Gundala Wereng harus dihentikan."
"Aku tahu itu. Cepat atau lambat kau akan datang ke tempat asalku. Mudah-mudahan Tuhan bermurah hati, An."
Mi'an lalu mengatakan keinginannya pada semua yang hadir. Mbah Lawu bisa memahami keinginan cucunya itu.
"Kau sadar bisa mati di tempat itu, An?" tanyanya.
"Aku tahu, Mbah. Tapi jika Gundala Wereng menyerang kita, kemungkinan kematian itu lebih besar."
"Baiklah, aku akan memberitahu apa bentuk ujianku dulu. Barangkali itu bisa membantu."
"Aku minta maaf tidak bisa membantumu mencari Iis, Mur. Kuserahkan urusan itu kepadamu."
"Jangan khawatir, An. Iis dan Alit adalah temanku. Sampai mati akan kucari keberadaannya."
"Tunggulah sampai aku selesai menempa gada itu, An. Bukan tanpa alasan benda itu jatuh ke tanganmu." Darwis ikut berbicara.
"Baiklah, Kek. Akan kutunggu sampai pedang itu selesai."
"Bagus. Ayo, Mbah, bantu aku menempa senjata untuk cucumu ini," ajak Darwis pada Mbah Lawu.
Malam itu Darwis, Mbah Lawu, dan Mak Ina sibuk membentuk gada menjadi sebilah pedang. Tak ada bunyi palu bertemu logam. Ketiga orang itu menggunakan kekuatannya untuk melunakkan gada wesi kuning itu.
Mi'an sendiri sedang duduk di dekat batu besar bersama monyet-monyetnya. Moza lalu mendekati pemuda itu.
"Jika kau pergi nanti, tolong bawalah benda ini," ucapnya sambil mengulurkan kantong macan pada Mi'an.
"Untuk apa?"
"Mustika Wijaya Kusuma itu ada di dalamnya. Jika nanti terjadi apa-apa padaku, setidaknya benda itu tidak jatuh ke tangan orang yang salah."
"Tidak akan terjadi apa-apa, Za. Percayalah."
"Jangan mendahului takdir, An. Kepastian bukanlah wilayah kita."
Mi'an terdiam. Moza lalu ikut duduk di samping Mi'an. Berdua mereka menikmati suasana malam yang dihiasi bulan sabit itu.
Di lain tempat, Mbah Sirna sedang berkumpul dengan para sekutunya di rumah Harto. Keberadaan Moza telah mereka ketahui dari Iis. Hal itu ditambah dengan keterangan jin monyet yang bersekutu dengan Dalbo.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...