Penyerangan Kedua (5)

3.9K 309 2
                                    

Sepeninggal Kilic dan ketiga saudaranya, Johan lalu membawa Alit ke sebelah tubuh Timur. Setelah itu ia bersama Zilic pergi mencari air. Tak lama kemudian, Timur siuman. Ia berusaha berdiri, tapi gagal. Tubuhnya kembali terjatuh ke tanah.

"Energimu masih kacau akibat benturan kekuatan tadi. Jangan dipaksakan, nanti luka dalammu akan semakin parah."

"Tunggulah Johan dan Zilic datang. Setelah itu aku akan membantumu."

Timur menatap makhluk mengerikan yang pernah menjadi musuhnya itu. Berbagai pertanyaan berdesakan di kepalanya.

"Mengapa kalian membantu kami?“

"Kami berutang budi pada Mi'an. Inilah cara kami membalasnya."

"Utang budi? Bagaimana bisa?"

Kelic lalu menceritakan pertempuran yang terjadi di rumah Felix. Setelah mendengarnya, Timur mulai bisa memahami apa yang terjadi.

"Jadi selama ini kalian tak punya pilihan. Suka atau tidak, tugas dari penguasa kalian adalah perintah yang harus dilaksanakan."

"Ya begitulah. Kami ini tak ada bedanya dengan pesuruh-pesuruh koruptor yang memenuhi penjara kalian. Bukankah mereka hanya kambing hitam yang dikorbankan? Sementara koruptornya sendiri bebas merdeka di bawah perlindungan orang-orang seperti Harto, Felik, atau penguasa."

"Kilic yang merasa berutang budi atas kebebasan itu memutuskan untuk membantu Mi'an. Karena itulah kami mencari kalian dan Mak Ina."

"Lalu di mana Mak Ina sekarang?“ tanya Timur.

"Saat kami tiba di apartemen Harto, tempat itu telah dipenuhi polisi. Empat tersangka koruptor yang disembunyikan di sana berhasil ditangkap. Tapi Mak Ina tak ada di sana. Kemungkinan Harto telah menyembunyikannya di tempat lain."

Suara erangan Alit membuat perbincangan mereka terhenti. Timur segera membantu temannya itu. Beberapa saat kemudian Johan dan Zilic datang.

"Awasi tempat ini, Zi. Aku akan membantu Timur menata kembali energinya."

Tanpa menunggu jawaban, Kelic langsung duduk di belakang Timur. Tangan kanannya ditempelkan ke punggung Timur. Selang beberapa menit, Timur memuntahkan gumpalan darah berwarna merah gelap. Setelah itu, Kelic melakukan hal yang sama kepada Alit.

Silic tiba-tiba menegakkan tubuh dan bersikap waspada. Pandangannya terarah pada tubuh Harto. Timur dan Johan yang melihat perubahan sikap Silic juga ikut menyiapkan diri. Lalu satu per satu makhluk itu pun muncul dari kegelapan.

Mula-mula empat orang manusia lipan yang datang. Setelah itu sepasang pemuda dan gadis cantik yang masing-masing menunggangi seekor kalajengking raksasa menyusul. Bersama mereka ikut pula manusia-manusia bertubuh serangga berbagai jenis.

"Tenang, aku tidak berminat dengan urusan kalian. Kedatanganku ke tempat ini untuk menagih utang pada Harto. Namaku, Samber, dari Nusa Karang."

Pemuda itu lalu turun dari tubuh kalajengking dan mendekati tubuh Harto. Diambilnya tombak yang ada di tangan mayat itu.

"Lumayan. Setidaknya kematian tiga prajuritku masih mendapat ganti," ucapnya setelah mengamati batu-batu sarira dan mustika yang menempel di gagang tombak.

Ki Samber membalikkan badan. Pandangannya tertuju pada Silic, Johan, dan Timur, serta Kelic yang sedang mencobati Alit.

"Tubuh Harto akan kubawa untuk melunasi utangnya. Jika kalian keberatan, pasukanku akan menghabisi kalian. Silakan pilih apa yang ingin kalian lakukan."

"Urusan kami dengan kakek itu juga sudah selesai. Silakan saja bawa mayatnya, kami tak peduli," jawab Timur.

"Bagus. Berarti urusan kita selesai sampai di sini. Selamat tinggal."

Setelah mengucapkan itu, Ki Samber menaiki kembali tunggangannya. Kalajengking raksasa itu lalu mencapit mayat Harto dan menghilang. Manusia-manusia serangga lain kemudian satu per satu ikut menghilang.

Di medan pertempuran, Candrasa nyaris kehilangan akal menghadapi Buto Wanara. Energi yang digunakan untuk menyerang monyet itu malah menjadi senjata makan tuan. Energi itu ternyata membuat gada Buto Wanara semakin besar kekuatannya.

Di tengah kebingungan itulah Candrasa merasa ada yang menepuk pundaknya. Saat ia menoleh, Taligeni telah berdiri di sana.

"Kau bantulah Condromowo. Aku akan membayar utang pada monyet ini."

"Tapi, Kek?“

"Jangan khawatir. Aku sudah mengambil kembali tandukku."

Setelah mengucapkan itu, Taligeni langsung berubah menjadi naga api. Seluruh tubuhnya diselimuti oleh kobaran api. Tanduknya terletak di antara hidung dan mata seperti cula badak.

"Hati-hati, Kek. Monyet itu memiliki ilmu pancasona dan gadanya bisa menyerap energi!" Candrasa mengingat.

"Aku tahu, Sa. Karena itulah aku tadi kehabisan energi."

Buto Wanara tidak menyangka jika Taligeni akan kembali melawannya. Besarnya api yang menyelimuti tubuh Taligeni membuatnya lebih berhati-hati.

"Dari mana kau curi kekuatan itu, Ular tua? Kulihat nyala lilinmu menjadi semakin besar?"

"Dengan lilin ini aku akan membakar hangus tubuhmu, Monyet pemetik kelapa."

Buto Wanara langsung mengayunkan gadanya. Serangan itu bisa dengan mudah dihindari oleh Taligeni. Bahkan sambil menghindat ia sempat melayangkan serangan balasan dengan ekiornya. Tubuh Buto Wanara terdorong mundur saat terhantam sabetan ekor itu.

Dua pengawal Buto Wanara semakin terdesak ketika Candrasa datang membantu Condromowo. Meski luka-luka luar mereka cepat sembuh, tapi tidak dengan luka dalam. Ilmu pancasona mereka tidak seperti Buto Wanara yang sudah mencapai tataran puncak. Dihantam berulang kali dengan bola energi, kedua monyet itu akhirnya harus menyerah saat empat larik sinar putih kebiruan yang keluar dari mata Candrasa dan Condromowo menghanguskan dada mereka.

"Kau temanilah Mi'an, Ndra. Aku akan mengawal Taligeni."

Condromowo langsung melesat pergi. Candrasa sendiri mengawasi pertarungan Taligeni dan Buto Wanara sambil berusaha mengumpulkan kembali energinya.

"Aku akan berusaha memotong lengan monyet ini, Sa. Saat berhasil, tolong jaga agar lengan itu tak bisa kembali lagi ke tubuhnya." Suara bisikan Taligeni terdengar di telinganya.

"Baik, Kek. Serahkan urusan itu padaku."

Candrasa tahu apa yang akan dilakukan Taligeni sangatlah berbahaya. Dibutuhkan kekuatan dan pengorbanan yang besar dalam sebuah benturan kekuatan secara langsung. Sambil menunggu saat itu tiba, dikerahkannya semua cadangan energinya.

Taligeni mencari kesempatan untuk bisa melakukan niatnya. Ketika Buto Wanara mengayunkan gada, Taligeni memutuskan untuk mengambil resiko. Ia tidak menghindari serangan itu, tubuhnya justru bergerak maju dengan cepat. Saat gada Buto Wanara menghantam punggungnya, Taligeni telah berhasil melilit tubuh Buto Wanara. Dengan cepat digigitnya lengan monyet yang sedang memegang gada.

Candrasa tahu waktunya telah tiba. Saat lengan itu akhirnya terpotong, ia langsung menyambar dan membawanya menjauh. Digigitnya kuat-kuat lengan yang terus meronta itu. Besarnya kekuatan yang ada di lengan Buto Wanara bahkan sampai memaksa Candrasa untuk tak hanya menggigit, tapi juga melilitnya

Buto Wanara sendiri berusaha melepaskan diri dari lilitan Taligeni. Tapi semakin banyak bergerak, lilitan itu justru semakin erat. Cakar Taligeni yang mencengkeram tangan dan kakinya semakin mempersulit geraknya.

"Lepaskan aku, Ular busuk! Ayo kita bertarung secara jantan!"

"Bagus, mari kita adu pancasonamu dengan tandukku."

Taligeni dengan cepat menancapkan tanduknya di dada Buto Wanara. Monyet raksasa itu bergulingan di tanah. Lengan yang dijaga Candrasa juga bereaksi, geliatnya semakin menggila. Tapi akhirnya kekuatan Taligeni berhasil menundukkan Buto Wanara. Pelan-pelan tubuh Buto Wanara yang dibelitnya terbakar.

"Cepat telan lengan itu, Sa! Sebelum menjadi abu!" teriak Taligeni.

Tanpa berpikir panjang, Candrasa menelan lengan yang memegang gada itu.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang