Penyerangan Kedua

4.3K 322 6
                                    

Lereng Lawu tempat mereka dulu tinggal telah berubah menjadi ladang semak belukar. Sesampainya di sana, Mi'an, Moza, Iis, dan Ribka menghabiskan waktunya untuk membersihkan tempat itu. Monyet-monyet yang tersisa juga muncul membantu. Mereka seolah tahu jika teman-temannya telah kembali. Mi'an dan yang lain menyalami dan memeluk monyet-monyet itu satu per satu. Mereka jelas berutang budi pada makhluk yang pernah tersesat itu.

Dua pondok sederhana didirikan. Sebagai satu-satunya laki-laki, Mi'an merasa tidak pantas untuk tinggal bersama dengan Moza, Iis, dan Ribka. Karena itulah ia membangun pondok kecil sebagai tempat tinggalnya sendiri. Kehadiran Mi'an tentu saja diketahui oleh Wanara Gimbal yang kembali merasa terancam. Utusan ke Alas Ngawi pun segera dikirimkannya.

Harto tahu jika Mi'an dan Moza sudah kembali tinggal di lereng Lawu. Baginya, kelompok Mi'an adalah lawan yang berat, tapi bukan menakutkan. Ia bukan Felix yang cuma mengandalkan kemampuan jin saja. Kemarin memang ia merasa khawatir. Tapi setelah usahanya untuk meminjam kekuatan ke Nusa Karang berhasil, kekhawatiran itu sudah menghilang. Hal yang ditakutkannya adalah Sirna dan Gundala Wereng. Karena itulah ia masih menunggu apa yang akan dilakukan oleh mereka.

Sirna sendiri juga berpikir sama. Ia tahu Harto sedang menunggunya bergerak untuk menyerang Mi'an. Nanti setelah ia bertempur dengan kelompok Mi'an. Barulah Harto akan menyerang siapa pun pemenangnya dengan kekuatan penuh. Lawannya yang sudah lelah dalam pertempuran sebelumnya, pasti akan mengalami kesulitan menghadapi serangan itu.

Orang-orang licik seperti Harto dan Sirna itu seperti bawang merah. Isi kepala mereka penuh dengan topeng yang berlapis-lapis. Orang biasa pasti akan sulit untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan mereka yang sesungguhnya. Hal itu jelas berbeda dengan Mi'an yang hidupnya tak disibukkan dengan berbagai macam drama untuk mencari nama atau tahta. Jika Harto dan Sirna seperti bawang merah, maka Mi'an adalah bawang putih. Setiap orang hanya perlu mengupas selembar kulit untuk bisa memahami siapa dirinya.

Sudah tujuh hari sejak mereka kembali ke lereng Lawu. Namun tanda-tanda penyerangan belum juga tampak.

"Kok mereka masih belum menyerang juga, ya? Padahal aku yakin kedua orang itu sudah tahu keberadaan kita di sini," tanya Mi'an saat mereka berkumpul di depan api unggun.

"Harto dan Sirna itu masih sama-sama menunggu. Aku tahu apa yang mereka pikirkan."

"Menunggu apa, Ma?“

"Menunggu pemenang dari pertempuran sebelumnya, Za. Tapi rasanya Sirna yang akan menyerang duluan. Gundala Wereng pasti sudah tak sabar untuk membuka segelnya." Mendengar itu, tanpa sadar Moza meraih gagang pedangnya.

Namun rupanya prediksi Ribka salah. Malam itu bukan Harto dan Sirna yang menyerang mereka, melainkan Hendro. Musang Api lah yang awalnya menyadari kedatangan kelelawar-kelelawar Hendro. Aroma mereka yang berbeda membuatnya sadar jika kelelawar itu bukanlah penghuni Lawu. Suara raungannya membuat semua orang keluar ke halaman.

Mi'an yang dari tadi memang tak bisa tidur segera menghampiri Moza, Iis, dan Ribka. Pedang wesi kuning diberikannya kepada Ribka. Ia sendiri memilih untuk menggunakan keris naga siluman. Selain mereka, Condromowo, Candrasa, Nduk, dan Jathayu juga sudah bersiap.

Makhluk berwujud manusia kelelawar turun tak jauh dari tempat mereka berdiri. Awalnya Ribka menyangka jika makhluk itu adalah Keblek. Tapi saat melihat kepalanya, ia terkejut. Ternyata Hendro sendirilah makhluk itu.

"Kau sudah gila, Dro?! Kau menjadi pengikut dari jin itu?!"

"Jangan banyak omong kau, Rib! Taubat baru seumur jagung saja sudah sombong!"

"Setidaknya aku bertaubat, Dro. Tidak seperti dirimu yang malah semakin jauh tersesat."

Hendro hanya tersenyum sinis. Ia lalu menggerakkan tangannya. Satu per satu manusia kelelawar yang menjadi pasukannya turun ke halaman. Sementara dari sisi lain tampak ratusan monyet bersenjata juga mulai memasuki tempat itu.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang