Orang Tua Ajeng

4.5K 329 30
                                    

Kematian Ki Caling membuat pasukan celeng kehilangan keberanian. Satu per satu mereka kabur dan menghilang dari medan pertempuran. Suasana pun kembali sunyi seperti semula. Karena hari semakin gelap, Moza dan Ajeng memutuskan untuk bermalam di sabana itu.

Naga dan Wira mencari kayu bakar dan membuat api unggun. Angin dingin, langit yang dipenuhi bintamg, mengingatkan Moza pada lereng Lawu. Hanya saja saat itu ia ditemani Mi'an. Tanpa sadar air matanya kembali menetes. Hal yang sama juga terjadi pada Ajeng. Hanya saja kenangan yang dimilikinya tak seindah Moza.

Nagatirta dan Taligeni lalu ikut duduk di dekat api unggun. Keduanya tahu jika Moza dan Ajeng sedang hanyut terbawa perasaannya masing-masing. Kondisi itu jelas berbahaya, karena mereka sedang berada di wilayah lawan.

"Aku tahu kalian sedang berbincang dengan kenangan. Tidak masalah. Sekali waktu memang perlu kembali ke masa lalu untuk mengambil saripati pelajarannya. Tapi jangan sampai kalian terjebak di kenangan itu."

"Ingatlah, Cakra manggilingan, segala sesuatu ada penyebab dan akibatnya. Kita seringkali lebih fokus pada akibat, tapi lalai untuk mencari tahu apa penyebabnya," ujar Nagatirta.

"Aku tahu, Kek. Tapi gara-gara kebodohanku banyak makhluk yang menjadi korban. Seandainya aku tidak tertipu oleh Handaka, pasti hal itu tidak terjadi."

"Itu hal biasa, Jeng. Umur yang panjang membuatku bisa mengetahui ada banyak kisah seperti yang kau alami. Mulai dari Cleopatra, Roro Mendut, dan lain sebagainya adalah contoh dari kisah-kisah itu. Karena itulah ada ungkapan, ' Ngeli Nanging Ojo Keli."

"Apa maksudnya itu, Kek?"

"Kamu boleh mengikuti arus, tapi jangan sampai hanyut terbawa arus."

"Bingung aku, Kek."

"Setiap makhluk tidak bisa lepas dari yang namanya ego dan keinginan untuk menikmati hidup. Hal itulah yang membuat hidup menjadi dinamis dan tidak statis. Namun jika keinginan-keinginan itu tidak dikendalikan, maka yang akan terjadi adalah bencana. Bagi si pemilik keinginan dan juga bagi semesta."

"Contohnya adalah Gundala Wereng. Pada awalnya ia hanya ingin menjadi kuat. Lalu ia dihanyutkan oleh keinginan itu sehingga tujuannya berubah dan ingin menjadi yang terkuat. Segala tindakannya tak lagi menggunakan nalar dan perasaan. Kekacauan, kematian, dan kehancuran pun terjadi karena ulahnya."

"Hal yang sama juga terjadi di dunia Moza. Orang-orang menjadi koruptor karena mereka membiarkan jiwanya hanyut bersama arus keserakahan. Menikmati hidup berubah menjadi kenikmatan hidup. Jutaan korban pun berjatuhan karena ulah para koruptor itu. Bahkan jika dilihat dari skalanya, korban dan kerusakan yang diakibatkan maling-maling itu jauh besar daripada para penganut pesugihan."

"Prinsip ngeli nanging ojo keli ini berlaku untuk segala hal, Jeng. Termasuk juga dalam urusan cinta. Kau sudah pernah 'keli', tugasmu saat ini adalah mengambil pelajaran dari masa lalu agar nanti tidak terbawa arus lagi."

Tiba-tiba Nagatirta menghentikan wejangannya. Taligeni sendiri sudah berdiri bersama Naga dan Wira. Nagatirta, Moza, dan Ajeng pun segera ikut berdiri. Mata mereka menatap ke arah yang sama. Tak lama kemudian muncullah beberapa bayangan dari kegelapan.

Dada Moza dan yang lain langsung merasa lega saat mengenali sosok Candrasa dan Condromowo ada di antara mereka yang datang. Ajeng yang melihat Tapak Jalak langsung berlari dan memeluknya. Mata Kidang Kilat dan Bandot Landung berkaca-kaca saat melihat kejadian itu.

Mereka kemudian kembali duduk melingkari api unggun. Tapak Jalak mengatakan jika mobilisasi sedang dilakukan di Meru Betiri.

"Semoga saja masih ada sisa prajurit Baluran yang punya nyali di Meru Betiri, Tuan Putri," ucap Tapak Jalak penuh harap.

"Bagaimana dengan ayah dan ibu, Mbok?"

"Mereka baik-baik saja. Sebenarnya kemarin aku sudah berusaha menerobos masuk, tapi gagal. Pasukan Wergul dan Garangan yang menjaga tempat itu benar-benar pilihan. Kemampuan mereka di atas pasukan penjaga Jurang Gembung."

"Lalu bagaimana sebaiknya, Mbok?"

"Entahlah, tapi menurutku ada baiknya untuk membebaskan Raja dan Ratu terlebih dahulu, Putri."

"Penjagaan di tempat itu pasti sudah diperketat sekarang, Nyai," ucap Kidang Kilat.

"Pastinya. Tapi jika Raja dan Ratu masih menjadi tawanan, maka itu akan menjadi kartu mati kita, Ki."

"Aku rasa memang kita harus membebaskan ayah dan ibu Ajeng terlebih dahulu. Baru setelah itu kita pikirkan bagaimana caranya mengalahkan Handaka," ujar Mak Ina.

"Jika memang begitu, kita harus bergerak sekarang. Mumpung mereka belum menemukan jalur rahasiaku."

"Kidang Kilat benar, pasukan tambahan Handaka mungkin baru datang besok pagi. Kita harus memanfaatkan kesempatan ini," kata Bandot Landung membenarkan usul Kidang Kilat.

Setelah berunding, mereka sepakat untuk pergi ke Jurang Grojok malam itu juga. Perjalanan dilakukan dengan sedikit terburu-buru untuk mengejar waktu. Sesampainya di sana, mereka disambut oleh hal yang tidak terduga. Sebuah pertempuran tengah berlangsung dengan sengit di tepi Jurang Grojok.

"Laskar dari Meru Betiri! Ternyata mereka sudah datang!" seru Tapak Jalak sambil melesat dan langsung ikut bertempur.

"Kuserahkan urusan Raja dan Ratu padamu, Ki Bandot. Aku juga akan ikut bertempur." Kidang Kilat langsung pergi setelah berbicara.

Bandot Landung segera menuruni Jurang Grojok bersama Moza, Ajeng, dan yang lain. Sebuah perjalanan yang tidak mudah, karena pasukan Handaka bertebaran di mana-mana. Setelah berjuang, akhirnya mereka berhasil juga tiba di dasar jurang.

Tapi bukan berarti masalah selesai. Justru di tempat itulah para kepala pasukan dan prajurit utama penjaga penjara berada. Tak butuh waktu lama, pertempuran pun pecah. Mak Ina, Moza, Nagatirta, Naga, Wira, serta Condromowo harus berhadapan dengan puluhan manusia wergul dan garangan. Sementara Bandot Landung, Ajeng, Taligeni, dan Candrasa berusaha mencari jalan untuk mendekati gua tempat Raja dan Ratu Merak ditahan.

Saat Bandot Landung tiba di dekat mulut gua, pasukan yang berjaga di sana langsung menyerang. Taligeni dan Bandot Landung sengaja memancing pertempuran menjauhi mulut gua untuk memberi jalan bagi Ajeng dan Candrasa. Ketika keduanya berhasil memasuki gua, Taligeni dan Bandot Landung segera meloncat di depan mulut gua untuk mencegah siapa pun yang ingin menerobos masuk.

Mata Ajeng meneteskan air mata ketika melihat bagaimana kondisi kedua orangtuanya. Tubuh mereka kurus kering dengan kaki dan tangan terantai ke dinding gua. Saat Ajeng akan maju, tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Handaka rupanya memasang penghalang untuk mencegah siapa pun yang tak mempunyai izin mendekati mereka.

"Ayah, Ibu, ini Ajeng sudah datang. Katakan bagaimana caranya mendekat ke sana."

Panggilan Ajeng membuat mata ayah dan ibunya terbuka. Raut wajah mereka tampak begitu terkejut saat melihat kehadiran Ajeng. Air mata keduanya mengalir deras.

"Kau masih hidup, Nduk? Syukurlah. Berarti tidak sia-sia kami berdoa selama ini," bisik Nyi Sekar Ayu lirih.

"Carilah Tambak Grangsang dan Kandang Bubrah, Jeng. Hanya pemakai mustika wergul dan garangan yang bisa melewati pembatas ini," ucap Ki Wana Wenang, ayah Ajeng.

"Bagaimanana ciri-ciri mereka, Ki?" tanya Candrasa.

"Mustika-mustika itu menempel di dahi mereka."

"Jeng, kau tunggu saja di sini. Biar aku yang akan mencari mustika itu."

"Terimakasih, Mas. Berhati-hatilah."

Candrasa mengangguk sambil tersenyum, kemudian melesat pergi. Ajeng menatap kepergian Candrasa dengan khawatir. Jantungnya berdebar kencang.

Sesampainya di mulut gua, sambil bertempur, Candrasa menyampaikan perihal mustika itu pada Taligeni dan Bandot Landung. Kebingungan melanda ketiganya. Candrasa jelas akan kesulitan untuk mencari dan menghadapi dua lawan. Sementara jika Taligeni ikut bersama Candrasa, Bandot Landung lah yang akan mengalami kesulitan.

"Biar aku yang akan menemanimu untuk mencari mustika itu, Sa."

Candrasa dan Taligeni tersentak saat mendengar suara itu. Mata mereka seolah tak percaya saat melihat wujud yang kini ikut bertempur bersama mereka.

"Kau masih hidup, An?" tanya Candrasa.

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang