Mi'an menatap Bandi. Sorot matanya membuat siapa pun yang melihatnya pasti bergidik. Bandi sendiri merasa lehernya seperti dicekik oleh seutas tali. Napas laki-laki itu tersengal-sengal. Orang-orang yang ada di sana tentu saja kebingungan dengan apa yang terjadi. Di saat kritis itulah Mak Ina keluar kamar.
"Sudah, An. Aku tidak apa-apa kok," bisiknya sambil meletakkan tangan di pundak Mi'an.
Mi'an merasakan sebuah energi hangat memasuki tubuhnya. Perlahan kesadarannya pun kembali. Saat itulah beberapa orang polisi memasuki rumah. Keempat orang itu segera diborgol, dimasukkan mobil, dan dibawa ke Polsek. Dua polisi yang masih berada di rumah Mak Ina untuk mencari keterangan.
"An, suruh pak Salman pulang dulu. Urusan kita dengannya belum selesai," bisik Mak Ina.
Meski agak bingung, Mi'an menuruti perintah Mak Ina. Setelah Mi'an menyampaikan pesan Mak Ina, Salman pun segera meninggalkan tempat itu. Demikian juga dengan orang-orang yang berkumpul. Selepas keterangan mereka diambil, satu per satu mereka meninggalkan tempat itu. Kini tinggal mereka berempat yang berada di ruang tamu.
Sersan Timur tak berani gegabah saat berhadapan dengan Mi'an dan Mak Ina. Saat bersalaman tadi, tangannya seperti tersengat arus listrik bertegangan tinggi. Hal berbeda terjadi ketika ia bersalaman dengan Mak Ina. Hawa hangat justru mengaliri seluruh tubuhnya, mengusir kesemutan akibat gigitan energi Mi'an sebelumnya.
"Mereka pasti bukan dari aliran yang sama," batin Sersan Timur.
"Apa hubunganmu dengan Haji Darwis, Nak? Aku melihat ada kemiripanmu dengannya." Sersan Timur terkejut mendengar ucapan Mak Ina. Mulutnya sampai ternganga.
"Bagaimana Ibu bisa tahu? Haji Darwis adalah kakekku."
"Jika kau pulang kampung, sampaikan salamku pada orang hebat itu."
"Jika Kakek bertanya dari siapa, bagaimana saya menjawabnya, Bu?"
"Katakan saja dari perempuan yang pernah meraut tusuk sate."
Mendengar jawaban itu Sersan Timur langsung bangkit dari kursi dan membungkuk di depan Mak Ina. Diciumnya tangan wanita itu, di saat yang sama tangan Mak Ina mengelus kepala Timur.
"Masih banyakkah kuyang di sana, Nak?"
"Sudah tidak sebanyak dulu lagi, Bu. Mungkin sudah tidak ada lagi yang mau mempelajari ilmu itu."
"Tapi bagi yang sudah terlanjur, ia harus mencari pewaris. Jika tidak demikian nasibnya akan merana dimakan ilmunya sendiri."
"Sudah resiko mereka, Bu."
"Aku kasihan pada orang yang terpaksa menjadi pewarisnya, Nak."
Sersan Timur terdiam. Ia tidak bisa membantah apa yang dikatakan Mak Ina. Menjadi pewaris adalah sebuah dilema bagi seorang anak. Antara keinginan menolak dan rasa tidak tega melihat orang yang dicintainya menderita adalah pertarungan yang menyesakkan dada.
"Karena itukah Kakek dan Ibu selalu membunuh mereka saat bertemu makhluk itu?"
"Benar. Sebelum kami menemukan cara untuk membatalkan perjanjian terlarang itu, membunuh mereka adalah satu-satunya jalan."
"Selama ini aku tak bisa memahami perbuatan kakek. Kuanggap itu sebagai kekejaman dan kesombongan, tapi ternyata alasannya seperti itu. Ah, aku ini memang sungguh bodoh."
"Kau orang baik, Nak. Tak ada yang salah dengan cara berpikirmu. Sebagai polisi kadang kau harus menembak seseorang kan? Itu sama dengan apa yang aku dan kakekmu lakukan."
"Iya, Bu."
Sementara itu di teras, Sersan Iis sedang mencari keterangan dari Mi'an. Tak banyak informasi yang bisa diperolehnya. Sebab saat perampokan terjadi, Mi'an sedang tidak berada di TKP.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...