Rintangan kedua

4.1K 358 11
                                    

Mi'an melanjutkan ujiannya. Seperti yang dikatakan kakek Guntur. Kali ini ada lima lorong dihadapannya. Dulu kakeknya memilih lorong kedua dari kiri dan berhadapan dengan seorang nenek jelmaan ular bandotan. Kakek Guntur katanya memilih lorong kelima. Di sana ia bertemu jelmaan seekor ular kobra yang berhasil dikalahkannya. Mi'an sendiri tetap memilih jalur lurus. Itu artinya lorong ketigalah yang ia masuki.

Seorang laki-laki memegang tombak yang duduk berlutut di gundukan batu berlumut membuka matanya ketika Mi'an memasuki ruangan itu. Tatapannya mengawasi semua pergerakan Mi'an.

"Kau ingin mati cepat atau lambat, An?" Laki-laki itu berbicara.

"Kau tahu namaku?"

"Berita tentangmu sudah sampai dari tadi. Perintahku adalah untuk membunuhmu. Aku bukan Guntur yang lemah itu. Namaku Rajawisa, kekalahanku akan menjadi aib bagi penghuni asli pulau ini."

"Kutanya sekali lagi, mati cepat atau lambat."

"Terserah, Tuan. Bagiku yang penting Tuan harus kalah."

"Bocah sombong! Aku tidak akan segan-segan lagi!"

Mi'an mempersiapkan diri. Tanpa kehadiran Candrasa, ia harus belajar mengendalikan tenaganya. Masih ada dua ujian lagi yang harus ia lalui. Kehabisan tenaga tentu akan mempersulit langkah selanjutnya.

"Guntur pasti telah memberitahumu soal ujian kedua ini. Karena itu langsung saja kupanggil mereka."

Rajawisa mendesis. Batu berlumut yang didudukinya tiba-tiba bergerak naik. Dari dua cahaya yang muncul di kedua sisi batu, tahulah Mi'an apa sebenarnya benda itu. Seekor ular king kobra raksasa sedang bersiap untuk memangsanya. Dua ular king kobra lain yang ikut hadir di kanan dan kiri membuat lawan Mi'an semakin banyak.

"Nagawisa, sudah lama sekali kita tidak kedatangan mangsa. Hari ini rupanya kita beruntung."

"Kau pasti membawa 'wesi towo' yang berhasil direbut Guntur dari sepupuku. Tapi itu tak akan berguna. Bisaku jauh lebih kuat dan tajam dari sepupuku itu."

"Menyerahlah Mi'an. Terima saja nasibmu seperti kakekmu dan Guntur yang lemah itu. Beruntung dia bertemu sepupuku dan tidak bertemu aku."

Mi'an berusaha menahan gejolak amarahnya. Guntur dan kakeknya adalah orang-orang yang dihormatinya. Penghinaan Rajawisa benar-benar membuat hatinya terbakar.

"Aku akan menghabisimu keparat!"

Tubuh Mi'an melesat ke depan. Jika saat melawan Guntur dia masih didera keraguan karena ia melihat kehampaan di mata kakek itu, kali ini tidak. Lawannya bukan laki-laki tua yang didera kerinduan pada keluarganya, melainkan orang yang penuh kesombongan. Tangan Mi'an yang memendarkan cahaya merah adalah bukti kesungguhan itu.

Rajawisa dan tiga ularnya tentu memahami arti cahaya merah di tangan Mi'an. Namun mereka juga bukan anak-anak yang baru kemarin belajar berkelahi. Setiap serangan Mi'an bisa mereka hadapi dengan baik. Bahkan ujung tombak Rajawisa akhirnya bisa menggores tubuh Mi'an.

"Sebenarnya aku heran bagaimana kau masih bisa bertarung, An. Seharusnya kau sudah keracunan dari tadi."

"Apa maksudmu?" tanya Mi'an.

"Seluruh tempat ini beracun. Udara yang kau hirup, batu-batu yang kau sentuh, dan juga tanah yang kau pijak itu beracun. Meskipun kau memegang 'wesi towo' kekuatannya tidaklah sebesar itu."

Sebenarnya dari tadi Mi'an juga merasakan hal itu. Sekujur tubuhnya gatal-gatal. Tapi hal itu tidak dihiraukannya. Ia mengira udara gua yang lembab membuat kulitnya iritasi. Ia tidak menyangka jika telah keracunan.

"Tapi sudahlah. Toh setelah ini kau akan mati juga karena luka tombak itu."

Rasa perih dan panas di pahanya membuat Mi'an terjatuh. Kakinya tak bisa digerakkan. Melawan bisa sebanyak dan sekuat itu, kekuatan mustika kelabang juga kewalahan. Kekuatannya hanya mampu menahan dan melokalisir bisa itu agar tak menyebar lebih jauh. Rajawisa dan ketga ularnya diam tak bergerak. Mereka seolah menikmati penderitaan Mi'an menuju detik-detik kematiannya.

Di tengah rasa perih yang perlahan merenggut kesadarannya itu, bayangan Mak Ina, Nagatirta, dan gurunya di Kalimantan bergantian datang. Mi'an yang sudah diambang putus asa tiba-tiba teringat sesuatu. Sambil menahan rasa sakit, ia menggeser tubuhnya ke belakang. Setelah berhasil menyandarkan punggungnya di dinding gua, mulailah ia menjalankan rencananya.

Rajawisa terkejut saat melihat beberapa batu mulai melayang di udara. Saat perhatiannya teralih, sebuah batu kerikil menghantam pergelangan tangannya. Tombaknya pun terlepas dan terjatuh, kemudian meluncur menuju tangan Mi'an.

"Anak iblis! Dari mana kau belajar ilmu aneh ini?!"

"Mainmu kurang jauh, Rajawisa! Akan kubawa kau dan ular-ularmu mati bersamaku!"

Batu-batu yang melayang itu perlahan berubah warna menjadi merah. Mi'an benar-benar akan berperang puputan kali ini. Seperti bintang jatuh, batu-batu Mi'an menghujani Rajawisa dan ular-ularnya. Tak pernah menghadapi serangan seperti itu, lawan-lawan Mi'an tentu saja kebingungan.

Kesempatan itu akhirnya datang juga. Mi'an melepaskan tombak Rajawisa. Senjata itu lalu melayang dan melesat seperti kilat. Ujung tombak yang membara itu kemudian menghantam dada Rajawisa. Kerasnya terjangan tombak membuat tubuh Rajawisa terangkat dari kepala ular dan menancap di dinding gua. Di saat yang sama, Mi'an mempersiapkan ilmu pamungkasnya. Ketika batu-batu yang melayang berjatuhan, matanya mulai berpendar menyilaukan.

"Tunggu, kami menyerah." Suara bisikan seorang wanita menghentikan serangan Mi'an.

Tiga ular king kobra itu diam tak bergerak. Saat menatap mata Nagawisa, tahulah Mi'an siapa wanita yang berbisik tadi.

"Aku akan menghisap kembali racunku. Jika kau tak percaya, ancamlah aku dengan tombak itu. Tubuhku ini tidak akan kebal dengan taringku sendiri." Suara wanita itu kembali terdengar.

Mi'an menarik lagi tombak Rajawisa. Senjata itu lalu melayang di atas kepala Nagawisa. Ular besar kemudian melata mendekati Mi'an. Saat tiba di depan Mi'an, tubuh ular itu telah menyusut menjadi ular biasa. Nagawisa lalu menggigit luka Mi'an. Pelan-pelan rasa perih dan panas yang dirasakan Mi'an menghilang.

"Terimakasih, tapi mengapa kau menolongku, Nagawisa?"

"Aku yang berterimakasih. Kau telah membebaskanku dari orang gila itu."

"Apa maksudmu? Bukankah kalian sekutu?"

"Lihatlah mayat Rajawisa, kau akan tahu."

Mi'an mendekati mayat Rajawisa yang tergeletak di lantai. Saat itulah terlihat pemandangan yang mengerikan. Tubuh Rajawisa ternyata hanya berwujud sebatas pinggang. Sementara dibawah pinggang ratusan dan bahkan ribuan surai kecil memenuhinya. Ketika Mi'an melihat luka di kepala Nagawisa, tahulah dia apa yang terjadi.

"Jadi selama ini kau berada di bawah kendalinya? Bagaimana bisa? Lalu siapa sebenarnya penjaga tempat ini?"

"Rajawisa adalah pengamal Ilmu Rawarontek. Saat aku mengalahkannya, Kukira dia sudah mati. Tapi ternyata aku salah."

"Rawarontek? Aku pernah mendengar ilmu itu. Tapi kenapa dia tidak hidup lagi?"

"Perhatikan baik-baik lantai dan dinding gua ini, An. Sudah lama aku dan kedua anakku melapisinya dengan liur dan bisa. Tubuh Rajawisa tidak terbaring di tanah, melainkan di bisa kami yang telah mengkristal."

"Dia tidak tahu? Bukankah dia menguasaimu?"

"Saat dia tertidur, kekuatannya untuk menguasaiku melemah karena digunakan sebagai perisai tubuhnya."

"Apakah Raja Ular tidak tahu?"

"Entahlah. Bagi Raja mungkin yang penting Rajawisa tidak bisa keluar gua ini."

"Raja yang aneh. Dia yang tidak peduli pada rakyatnya tidak pantas disebut raja."

"Bukankah raja-raja di duniamu juga sama saja, An. Kapan mereka benar-benar peduli pada kepentingan rakyatnya?"

PAREWANGAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang