Hari masih pagi ketika utusan Ki Samber muncul di hutan merak. Pasukan yang dipimpin oleh Kalasapta dan Kaladahana itu meminta Mi'an untuk bersiap dan berangkat ke arena perang tanding. Dengan kawalan pasukan dari Nusa Karang, Mi'an dan rombongannya pun pergi ke gelanggang pertarungan.
Sesampainya di sana, ternyata tidak semua anggota rombongan diperbolehkan masuk. Kehadiran utusan dari Istana Selatan dan Utara membuat pengamanan diperketat. Hanya Mi'an, Moza, Ajeng, Nagawelang, Nagawira, Candrasa, Condromowo, dan Taligeni yang diizinkan masuk. Anggota rombongan yang lain cuma diizinkan berada di luar arena. Agar tidak terjadi gesekan, rombongan Gundala Wereng dan Mi'an ditempatkan terpisah dan dijaga oleh pasukan Ki Galih Segara sendiri.
Saat Mi'an memasuki arena pertarungan, tempat itu hanya terisi sedikit penonton. Ki Galih Segara bersama Ganggang Wilis duduk di samping kiri Ki Samber dan Gundala Wereng. Sementara di samping kanannya, duduk lima orang utusan dari Laut Utara. Tempat duduk lainnya diisi oleh anggota rombongan yang penting dan juga prajurit pengawal pribadi dari Nusa Karang maupun utusan Istana Selatan dan Utara.
Ki Galih Segara berdiri dan melambaikan tangannya pada Mi'an. Pemuda itu pun segera menghampirinya bersama Nagawelang dan Taligeni.
"Aku menginginkan urusan ini cepat selesai. Apa usulmu Ki Samber? Karena tempat ini milikmu, maka kau yang kuminta untuk menentukan aturannya," tanya Galih Segara.
"Tuan Galih Segara, karena yang berkepentingan adalah aku, Gundala Wereng, dan Moza, maka aku menolak Mi'an terlibat dalam urusan ini," jawab Ki Samber.
"Tidak bisa, Ayah!" Ki Samber menculik Moza tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Mi'an berhak terlibat sebagai pembela dari alam manusia!" seru Ganggang Wilis.
"Diamlah dulu, Wilis. Ini adalah urusan resmi. Kamu tidak berhak ikut campur."
"Pengecut! Bilang saja kau takut pada Mi'an, Ki Samber!"
"Diam, Wilis! Atau aku akan mengusirmu dari tempat ini!" ancam Galih Segara pada putrinya. Ganggang Wilis pun tak bersuara lagi. Sorot matanya menatap marah pada Ki Samber.
"Bagaimana, Ki Samber? Tapi aku setuju dengan yang dikatakan Ganggang Wilis, kau tidak punya hak untuk menahan Moza di sini. Tak ada perjanjian yang mengikatmu dengan gadis itu."
"Tapi aku juga tak ingin nama baik Laut Selatan dipermalukan. Mi'an sudah terlanjur membunuh pasukanmu. Urusanmu saat ini sebenarnya dengan Mi'an, bukan dengan Moza."
"Bagaimana dengan urusanku?" tanya Gundala Wereng.
"Kau tidak ada urusan di tempat ini, Raja Ular Utara. Selesaikan masalahmu dengan Moza di wilayahmu sendiri dan bukan di Laut Selatan," jawab Ki Galih Segara sambil menatap tajam Gundala Wereng.
Gundala Wereng menggeram. Kemarahan terlihat jelas di matanya. Namun ia masih cukup waras hingga memilih tak melakukan perlawanan. Menghadapi Galih Segara tentu bukan pilihan yang menguntungkan. Belum lagi lima utusan Laut Utara pasti tak akan tinggal diam jika ia membuat huru-hara.
"Bagaimana denganmu sendiri, An? Apa kau punya usul untuk menyelesaikan urusan ini?" Galih Segara ganti bertanya pada Mi'an.
"Aku terima apapun permintaan Ki Samber, Tuan. Aku hanya ingin Moza, Ajeng, dan mahkota Pulau Ular Utara."
"Begitu lemahkah Pulau Ular Utara, hingga harus meminjam tenaga manusia untuk merebutnya kembali?"
"Gundala Wereng akan selalu memburu Moza, Ki Galih. Mahkota Pulau Ular utara itu hanyalah bonus. Bagaimanapun juga aku pasti akan berhadapan dengan ular sesat itu," jawab Mi'an.
"Bocah sombong, pasti akan kutelan tubuhmu nanti. Tunggu saja," ancam Gundala Wereng.
"Baiklah. Untuk urusan Ajeng, aku tidak ikut campur. Hal itu tergantung pada Ki Samber. Soal perseteruanmu dengan Gundala Wereng sebenarnya juga bukan tanggungjawab Laut Selatan. Sekarang terserah kalian bertiga untuk menyelesaikan masalah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...