Wardi menarik tangan Mi'an.
"Berhentilah menatapnya, An. Sudah banyak yang menjadi korban dari gadis-gadis penghuni dasar laut itu."
Mi'an seperti terbangun dari mimpi. Napasnya memburu, sementara keringat bermunculan di keningnya.
"Siapa mereka, Pak?"
"Saat muncul di dunia kita, mereka dikenal sebagai duyung. Suara dan tatapan mereka bisa meruntuhkan iman banyak laki-laki. Sebaliknya, duyung yang jantan akan mencari mangsa perempuan."
Mi'an terdiam. Wajah gadis cantik yang dilihatnya tadi benar-benar tak bisa dilupakannya. Berkali-kali ia mengurut pelipisnya untuk mengusir hal tersebut.
"Bersiaplah, An. Kita akan segera sampai."
Kapal itu akhirnya merapat ke sebuah pulau. Pemandangan di dermaga Pulau Buaya benar-benar menyesakkan dada Mi'an. Jembatan yang menjadi penghubung kapal ke darat terbuat dari manusia-msnusia yang berderet dalam keadaan tertelungkup. Tiang dan pagar pun juga dari manusia. Hati Mi'an semakin pedih saat mendengar rintihan yang terdengar setiap kali tubuh-tubuh itu terinjak. Apalagi ketika kaki yang melewatinya berlari atau memikul benda berat.
"Apakah tak ada cara untuk membebaskan mereka, Pak?"
"Saat mereka dengan sadar menyatakan bersedia, sulit untuk bisa lepas dari perjanjian itu, An."
Ketika Mi'an akhirnya turun. Ia menggunakan ilmu peringan tubuhnya dan bergerak secepat mungkin. Sepanjang perjalanan menuju istana Bajul Sosro, ia menundukkan kepala karena tak tega melihat nasib orang-orang yang ditemuinya.
"Manusia yang menjadi ornamen di rumah-rumah itu menunjukkan status mereka, An. Semakin banyak, maka derajatnya akan semakin terpandang. Kau akan terkejut saat sampai ke istana nanti."
Akhirnya mereka sampai ke istana. Apa yang dikatakan Wardi benar adanya. Meja, kursi, tiang lampu, bahkan sampai perapian di istana itu terbuat dari manusia. Dari air mata mereka yang menetes, Mi'an tahu bagaimana pedihnya penderitaan yang harus orang-orang itu alami. Perlahan amarah bergemuruh dalam dadanya.
Setelah menyembah, Wardi dan Mi'an menuju ke sebuah ruangan. Dua orang berdiri tegak sambil memegang bokor lampu minyak. Wajah mereka terlihat menahan sakit akibat panas bokor itu. Saat Mi'an akan meniupnya, Wardi menghalangi.
"Jangan, An. Mereka akan mendapat hukuman nanti. Percayalah, menjadi tiang lampu masih termasuk tugas ringan di tempat ini."
Tak lama kemudian, istri dan putri Wardi masuk ke ruangan dengan dikawal oleh dua manusia buaya. Wardi segera memeluk dan menciumi putrinya yang sudah beranjak remaja itu. Beberapa pelayan kemudian masuk untuk meletakkan makanan dan minuman.
"Jangan sentuh makanan dan minuman itu, An. Hidangan itu berasal dari darah dan daging pelayan-pelayan itu," bisik Wardi.
"Apakah di Pulau Ular juga seperti ini, Pak?"
"Aku tidak tahu. Tapi rata-rata pengikut pesugihan akan mengalami nasib seperti mereka."
Seorang pemuda dengan pakaian mewah memasuki ruangan. Dua pengawal yang ada terlihat segan dan hormat pada pemuda itu.
"Wardi, aku ada berita baik untukmu," ucap si pemuda.
"Berita baik apa, Yang Mulia?"
"Aku akan menjadikan putrimu sebagai istri mudaku."
"Tapi, Yang Mulia. Itu tidak bisa dibenarkan?"
"Apa kau ingin menentangku, Juru Kunci?!" Pemuda itu berubah menjadi manusia buaya. Ia memegang leher Wardi dan mengangkatnya ke atas. Wardi yang tercekik hanya bisa meronta.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...