Saat malam datang, pasukan Nusa Karang mulai mengepung hutan. Dari tempat pengintaian, Ajeng dan Moza mengawasi setiap pergerakan makhluk-makhluk setengah serangga itu. Perang sudah jelas akan terjadi. Semua hanya tinggal menunggu waktu saja. Tak ada lagi ketakutan di hati Ajeng dan Moza. Mereka sudah pasrah pada apa yang akan menjadi takdirnya nanti.
Di Laut Timur, sebuah kapal juga sedang bersiap. Penumpangnya adalah Nagawelang, Nagaweling, Nagagni, dan pasukan yang dari Pulau Ular Utara yang ikut mengungsi bersama mereka.
"Sampaikan terimakasihku pada Raja Ular Timur, Senapati Puspakajang. Utang budi ini pasti akan kami balas suatu hari nanti," ucap Nagawelang pada utusan yang mengantarkan mereka.
"Tidak usah dipikirkan. Walau berbeda panji, kita semua bersaudara. Segeralah berangkat, jangan sampai Gundala Wereng terlebih dulu memasuki wilayah Laut Selatan. Peraturannya jelas, tanpa undangan atau izin, kalian akan dianggap penyusup oleh Kerajaan Laut Selatan. Lain cerita jika kalian berhasil mencegatnya di wilayah netral."
"Baiklah, kalau begitu kami berangkat dulu."
Kapal itupun segera berlayar menuju selatan. Setiap penumpang yang ada di dalamnya sudah bersiap untuk mati demi tanah airnya, Pulau Ular Utara.
Kapal Gundala Wereng sendiri juga sudah mulai berlayar. Undangan yang beberapa hari yang lalu diterimanya dari Nusa Karang sudah bisa memberinya izin untuk memasuki wilayah Laut Selatan. Mak Ina ikut dibawanya dalam perjalanan itu.
Di tengah situasi Laut Selatan yang memanas itu, Timur, Alit, Johan, Iis, Ribka, Condromowo, Taligeni Jathayu, Kilic bersaudara, Nduk, Candrasa, Musang Api, Naga, dan Wira sedang berada di Pantai Tuban. Mereka sibuk merundingkan cara untuk bisa secepatnya menyusul Gundala Wereng.
"Belum ada juga kabar tentang Mi'an, Sa?" tanya Taligeni pada Candrasa.
"Belum ada, Paman. Sejak Tuan Mayangkara memerintahkannya ke Semeru, dia belum sekalipun menghubungiku. Beberapa waktu lalu aku sudah berusaha mencarinya, tapi sosoknya seperti lenyap ditelan gunung itu."
"Di mana dia? Jangan-jangan Mi'an bertemu lawan yang tangguh setelah keluar dari Lembah Mayangkara."
"Entahlah, Mur. Semoga saja Mi'an dan Candrasa baik-baik saja. Sekarang lebih baik kita fokus untuk menolong Moza dari Nusa Karang," ucap Ribka.
"Apa kau tidak bisa meminta bantuan dari Pulau Ular Selatan untuk mengundang kita? Bukankah dengan cara itu kita akan mempunyai izin untuk memasuki Laut Selatan?" tanya Condromowo pada Taligeni.
"Raja Ular Selatan terkenal akan ketidakpeduliannya. Aku ragu dia bersedia terlibat dalam urusan ini, Ndra. Tapi tak ada salahnya untuk dicoba. Setelah ini, aku akan berangkat ke Pulau Ular Selatan."
"Tidak perlu, Paman. Kita berangkat saja dengan kapal yang ditumpangi Nagawelang dan pasukan Laut Utara. Nagawira sudah berada di sana," ujar Nagawisa yang yang tiba-tiba saja muncul di tempat itu.
Naga dan Wira segera saja berdiri dan memeluk ibunya. Berbulan-bulan tidak bertemu, mereka tentu saja sangat merindukannya.
"Nagawisa, bagaimana dengan kayu garuda itu? Apakah kalian bisa mendapatkannya?"
"Berhasil, Paman. Tapi bukankah Mi'an sudah tidak membutuhkannya lagi?"
"Masalahnya Mi'an menghilang. Setidaknya dengan adanya kayu itu kekuatan Nagawira akan bertambah besar. Kita tak tahu sekuat apa Gundala Wereng sekarang dan siapa saja sekutunya."
"Ramai sekali tempat ini. Bolehkah aku ikut bersamamu, Condromowo?"
Mereka semua menoleh ke arah sumber suara. Condromowo dan Candrasa tersenyum saat mengenali siapa yang sedang berjalan ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAREWANGAN (TAMAT)
FantasyMeski hidup di era modern seperti sekarang, tak jarang kita mendengar cerita cerita mistis atau mungkin beberapa dari kita memang diberikan kelebihan untuk melihat hal itu. Kejadian ini memang tidak dapat kita pungkiri, hidup didunia yang sama membu...