20. Dia dan kesombongannya

2.4K 144 0
                                    

Karena mancet, pukul 00.00 dini hari Aksa baru sampai di kediaman rumah neneknya. Bendera kuning berkibar disana, seakan memperjelas kabar duka yang telinganya dengar.

Baru saja Aksa masuk kedalam halaman rumah neneknya, dia langsung melihat Arga duduk termenung di luar rumah sang nenek. Arga menggunakan baju putih dan sarung, sepertinya habis selesai sholat.

"Bang..." Aksa memanggil Arga yang sedang duduk di teras. Suasana rumah sangat sepi, mungkin semua orang sudah tidur.

"Duduk." Arga mempersilahkan Aksa duduk. Kepala Aksa menunduk, air matanya menetes tanpa bisa dia tahan.

"Jenazah nenek sudah di kebumikan setelah selesai Azan isya' tadi. Lo telat, Sa." Arga memberi tahu Aksa tentang jenazah neneknya yang sudah di kebumikan dengan rahut wajah datar.

"Harusnya lo tidak egois, gue udah nelpon lo berulang kali, tapi lo tidak mengangkatnya." Arga melirik adiknya yang sedang menangis dalam diam. Terkadang isakannya terdengar di telinga Arga.

"Anterin gue ke pemakaman nenek," Aksa mengusap air matanya kasar. Dia beranjak dari duduknya.

"Nanti pagi, ini sudah malam." Tolak Arga, sambil menghela nafas pelan.

"Lo mau nganterin gue atau gak? Kalau gak, biar gue cari makam nenek sendiri." Itu bukan ancaman. Aksa benar-benar akan pergi sendiri untuk mencari makam neneknya jika Arga tidak mau mengantarnya.

Arga hanya diam. Dia tahu, Aksa akan tetap pergi jika dia tidak mengantarnya.

"Ayo," Arga beranjak dari tempat duduknya. Dia naik keatas motor ninja milik Aksa.

"Biar gue yang ngendarai motor lo." Arga mewanti-wanti Aksa, dia tidak mungkin membiarkan Aksa menaiki motor sendiri dalam keadaan duka seperti ini.

Tidak mau ribut dengan Arga, Aksa naik di boncengan motornya. Dia membiarkan Arga yang mengendarai motor kesayangannya.

Motor milik Aksa yang di kendarai Arga melaju menembus dinginnya kota Bandung. Kota ini sering di sebut sebagai kota kembang, kota favorit Aksa.

Dulu kota ini menjadi saksi atas kematian kakeknya, sekarang kota ini menjadi saksi atas kematian neneknya. Setelah semuanya terjadi, apakah Aksa akan tetap menjadikan kota Bandung ini sebagai kota favoritnya? Sepanjang perjalanan Aksa terus meneteskan air matanya. Seharusnya dia ada disaat neneknya sedang mendekati ajal. Seharusnya dia ada di saat neneknya di yasinkan. Seharusnya dia ada di saat neneknya di kebumikan. Tapi nyatanya, dia malah asik-asikan menonton gebyar lukis Nusantara di saat semua orang menangis, mengantarkan neneknya ke peristirahatan terakhirnya. Dada Aksa sesak seketika, disaat semua orang sedang manangis, dia malah asik-asikan tertawa mengagumi lukisan karya para seniman.

Lamunan Aksa Buyar di saat motor yang di kendarai Arga berhenti di sebuah pemakaman.

"Ikuti gue," Arga memimpin jalan di depan. Dengan langkah pasti, Aksa mengikuti langkah kaki Arga.

Kaki Arga berhenti di depan gundukan tanah merah yang masih basah. Harum semerbak bunga mawar dan melati masih tercium hangat. Suasana duka masih terasa melekat di jiwa Arga maupun Aksa.

Aksa tertunduk dengan tangan menggenggam tanah yang berada di atas pusaran neneknya.

"Nenek jatuh saat baru selesai wudhu. Dia jatuh tepat di depan pintu kamar mandi. Tadi bibi' yang nemuin nenek. Sesuai dari bukti Cctv yang gue lihat, nenek sempat meminta tolong tapi tidak ada yang mendengarnya. Nenek meninggal di tempat. Kemungkinan nenek meninggal saat ingin sholat dhuhur." Jelas Arga. Aksa hanya diam sambil memeluk batu nisan yang bertulis nama neneknya.

"Ajak aku nek, ajak aku pergi bersama nenek." Aksa meletakkan kepalanya di atas pusaran neneknya.

"Lo ngomong apasih, Sa? Lo masih punya gue, mama, sama papa." Arga ikut berjongkok di samping Aksa.

AKSA ( Complite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang