21.merakit hati yang patah.

2.3K 156 0
                                    

Mona memilin roknya. Kakinya terus berjalan mondar-mandir di depan pintu kelas XI IPS. Dia menunggu Aksa yang tidak kunjung berangkat sekolah.

Matanya berbinar dikala melihat Raka berjalan kearahnya. Mona berlari menghampiri Raka yang sedang berjalan menuju kelasnya dengan tatapan datar.

"Kak Raka..." Panggil Mona, dengan senyum mengembang. Raka hanya diam dengan kaki terus melangkah tanpa berhenti.

"Kak Raka, gue mau ngomong bentar." Mona berlari mengejar Raka, dia berdiri tepat di depan cowok itu.

"Mau ngomong apa? Gue sibuk." Raka melirik arloji jam tangan yang berada di pergelangan tangan sebelah kirinya.

"Maaf mengganggu, gue cuma mau nanya, kok Kak Aksa belum berangkat ke sekolah? Biasanya jam segini dia udah ada di dalam kelas." Tanya Mona, ragu. Tatapan wajah yang Raka berikan sangat tidak bersahabat.

"Aksa dan Karel di Skors 3 hari. Dan itu karena lo. Persahabatan gue dan mereka berdua hancur cuma gara-gara lo. Mending lo jauh-jauh sana dari kedua sahabat gue." Raka menatap Mona dengan tatapan tidak suka.

"Maaf kak, gue..."

"Dan satu lagi, jangan nambahin beban pikiran Aksa. Dia lagi tertimpa musibah, neneknya meninggal kemarin. Mending Lo kalau mau main-main sama perasaan cowok, cari aja cowok bodoh yang mau Lo kadalin. Jangan kedua sahabat gue." Raka tidak henti-hentinya mencemoh Mona.

"Maksudnya Nenek Era yang meninggal?" Mona kaget ketika mendengar bahwa Nenek Aksa meninggal. Setahu dirinya, Nenek yang Aksa miliki hanya Nenek Era. Kedua orang tua dari pihak mamanya sudah meninggal disaat Arga dan Aksa masih duduk di bangku kanak-kanak. Sedangkan ayah dari pihak papanya sudah meninggal 2 tahun lalu. Tinggal mama dari papanya yang masih hidup. Mona menunduk dikala mendengar tawa mengejek dari Raka.

"Jangan sok perduli, jika lo hanya bisa nyakitin perasaan kedua sahabat gue." Raka berjalan melewati Mona begitu saja. Setetes cairan bening mengalir di pipi Mona, kata-kata Raka membuatnya sakit hati.

"Apa aku sejahat itu?" Mona mengusap air matanya, lalu dia berjalan menunju kelasnya.

🔹🔹🔹

Aksa enggan beranjak dari kamar neneknya. Darah yang sudah mengering masih terlihat di depan pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar Neneknya.

Foto dirinya dan Arga terpasang di dalam figura, belakang tempat tidur neneknya. Itu adalah foto saat dirinya dan Arga berulang tahun.

Bibir Aksa tersenyum getir dikala melihat foto dirinya diantara nenek dan kakeknya yang sedang memegang sepedanya. Aksa ingat betul, foto itu diambil dikala dirinya masih berada di sekolah kanak-kanak. Dia menangis setelah pulang sekolah hanya karena abangnya berangkat sekolah menggunakan sepeda, dan dirinya tidak. Kedua orang tuanya hanya mengajari Arga naik sepeda, sedangkan dirinya hanya bisa melihat keharmonisan keluarga kecil itu tanpa dirinya dari kejauhan. Kebetulan nenek dan kakeknya berada di rumahnya, sehingga mereka berdua mengajarinya naik sepeda.

Aksa memeluk figura kecil yang berada diatas nakas kamar Neneknya. Berat rasanya melepas seorang nenek yang merangkap sebagai ibu dan teman untuknya. Aksa hanya tahu kasih sayang seorang nenek dan kakek, bukan ayah dan ibu.

Flash back on.

Aksa kecil berdiri di depan kelas tanpa berani masuk kedalam. Dia takut di marahi gurunya karena tidak memakai dasi kupu-kupu. Dasi kupu-kupu miliknya ketinggalan di rumah. Dia lupa memakainya karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Sehingga dia berangkat sekolah dengan terburu-buru.

"Loh, Nak Aksa, masuk nak. Itu teman-temannya udah masuk loh." Suruh salah satu guru yang mengajar di sekolah itu.

"Gak mau, aku gak bawa dasi." Aksa meremas pegangan tasnya kuat-kuat.

"Gak pakai dasi gak apa-apa kok." Bujuk gurunya agar Aksa mau masuk kedalam kelas.

"Gak mau, aku mau pulang. Teman-temanku pakai dasi, masa aku gak?" Aksa kembali memakai sepatunya. Dia ingin pulang, dia tidak mau masuk kedalam kelasnya.

"Bu guru gak pakai dasi kok. Sama kayak Aksa." Bujuk salah satu guru yang mengajar di kelas Aksa dengan sabar.

"Karena Bu guru memang gak pernah pakai dasi. Hanya aku dan teman-teman yang di suruh pakai dasi." Aksa berjalan menghampiri sepedanya. Saat dia baru saja ingin menaiki sepedanya, neneknya keluar dari mobil bersama kakeknya.

"Hallo, cucu kesayangan nenek?" Sapa Nenek Era, sambil mencium pipi cucunya.

"Maaf, Nek. Aksa ingin pulang gara-gara tidak memakai dasi. Padahal jika dia lupa memakai dasi, saya sebagai guru dia tidak mempermasalahkannya. Karena Aksa baru pertama kali melanggar aturan sekolah dengan tidak memakai dasi. Mungkin dia lupa, dan saya cukup memakluminya." Jelas guru yang mengajar di kelas Aksa.

"Tapi aku tidak mau masuk kelas, nek. Aku beda, aku gak pakai dasi kayak teman-teman aku." Aksa menekuk wajahnya hingga terlihat sangat lucu dan menggemaskan.

"Sekarang cucu nenek sama dengan anak lainnya. Nih, nenek bawa dasi milik kamu. Sini nenek pakein," Aksa menyuruh kakeknya untuk memegangi sepedanya, dia berjalan satu langkah mendekati neneknya.

"Aduh gantengnya cucu nenek." Nenek Era mengusap lembut rambut Aksa.

"Jagoan kakek, sini." Aksa menghambur kedalam pelukan kakeknya.

"Untung nenek kamu teliti, dia melihat kamu tidak memakai dasi. Sedangkan Arga memakai dasi. Sehingga nenek dan kakek kesini untuk mengantar dasi kamu. Sekarang kamu masuk kelas supaya jadi anak yang pintar." Pesan sang kakek. Setelah mencium telapak tangan nenek, kakek, dan gurunya, Aksa berlari masuk kedalam kelasnya.

"Terimakasih nenek, kakek. Dadah...., Aku belajar dulu." Aksa kecil melambaikan tangan sebelah kanannya kearah kakek dan neneknya. Hal itu membuat nenek, kakek, dan gurunya tersenyum.


"Sungguh lucu anak itu." Gumam sang guru.

Flash back off

Aksa tersenyum getir dikala mengingat kedua pahlawannya telah pergi. Tidak ada lagi yang akan menjadi penyemangat dikala sedihnya.

Aksa harus siap bertempur sendiri untuk melawan pahitnya kehidupan. Tidak ada lagi yang bisa dia andalkan dan mintai tolong. Sahabat, kekasih, keluarga, semuanya sudah membuatnya kecewa. Bagai menelan pil pahit, sekarang Aksa sedang mencoba menata hidupnya kembali. Dia harus bangkit, dia harus bisa membuat kakek dan neneknya bangga memiliki cucu seperti dirinya.

Sekarang Aksa ingin berdamai pada dirinya sendiri. Berharap kepada manusia hanya akan membuat hatinya terluka.

"Aku harus kuat." Aksa masuk kedalam kamar mandi. Dia membasuh wajahnya yang sembab oleh air mata. Ditatapnya pantulan dirinya dari depan cermin besar milik sang nenek.

"Menyedihkan." Gumam Aksa, datar. Dia mengusap wajahnya kasar. Cukup hari ini dia rapuh, besok dia harus kembali bangkit. Dia harus kembali seperti Aksa yang dulu, bahkan kalau bisa, dia harus menjadi Aksa baru yang lebih baik. Bukan semata-mata untuk dirinya saja, tapi ini juga untuk nenek dan kakeknya.

"Aku akan membuat kalian berdua bangga." Tekad Aksa, kuat. Sebuah sumpah yang harus dia jalankan.

"Selamat tinggal nenek dan kakek. Aku tahu kalian sedang menjagaku dari atas sana, jika sudah saatnya nanti, aku akan menyusul kalian." Aksa tersenyum, dia mencoba menguatkan hatinya sendiri yang sedang rapuh. Aksa mencoba merakit kepingan-kepingan hatinya yang patah karena kepergian neneknya setelah kepergian kakeknya 2 tahun lalu.

AKSA ( Complite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang