13. KUBIARKAN WAKTU MENGUJI PERCAYAKU PADAMU

4.9K 476 24
                                    

Malam, Dears.

Long time no see, ya ...

Bagaimana kabar kalian?

Maaf baru sempat update. Beberapa hari kesehatan Hara drop. Alhamdulillah sudah mendingan, jadi bisa sempatin waktu buat menghibur kalian. Semoga pelan-pelan Hara bisa menghibur rutin kalian lagi.

Budayakan vote sebelum membaca dan komentar di akhir cerita, ya. Bab ini panjang banget soalnya.

Happy reading!

***

"Ka-kamu ...." Aira mendadak menggeragap.

Ardi tersenyum tipis. Sejak dia mengetahui hal tersebut, dia sengaja bungkam. Dia menunggu Aira menceritakannya langsung. Namun, kekasihnya itu tak kunjung membicarakan apa yang menjadi kegelisahannya. Aira masih bersikap biasa saja, membuat Ardi kesulitan menerka riak hati wanitanya.

"Aku menunggu kamu buat cerita. Tapi kamu sepertinya tidak pernah mau membaginya denganku. Kamu sadar tidak, kalau beberapa hari ini kamu menghindariku? Aku bahkan yakin kamu tidak tahu kedatanganku ke sini menemui Papi dan Mami kemarin."

Netra Aira membola. Jujur, dia memang sengaja tidak mengungkit masalah Evan di depan Ardi. Namun, bukan berarti dia tak ingin berbagi, melainkan dia tahu kalau membahas pria lain hanya akan membuat Ardi tak nyaman.

Soal dirinya yang seolah-olah terkesan menghindar, itu sedikit benar. Beberapa kali dia mengabaikan panggilan telepon atau chat Ardi. Hal itu dia lakukan karena tidak ingin salah bicara saat hatinya masih terbebat gundah. Dia ingin menguatkan hati dan menggapai warasnya sendiri. Tidak melulu bergantung pada Ardi.

"Mas, tidak seperti itu. Kalau soal kedatanganmu menemui Papi dan Mami, aku memang tidak tahu. Waktu itu aku sedang ke supermarket. Aku-"

"Berlama-lama memandangi es krim yang tidak kamu suka? Itu kan yang kamu lakukan di supermarket?" tukas Ardi geram, menahan amarah yang tiba-tiba menyelinap.

Aira menatap Ardi tak percaya. Bagaimana bisa pria itu tahu apa yang dirinya lakukan di supermarket?

Bibir Aira perlahan terbuka hendak menjelaskan. Saat kata-kata yang sudah otaknya rangkai berada di ujung lidah, suara Marta lebih dulu menginterupsi.

"Lho, kalian masih di sini?" tanya Marta sembari berjalan mendekati Ardi dan Aira.

Fokus Ardi langsung teralih pada Marta. Bibir pria itu melengkung ke atas, sangat kontras dengan pendar matanya yang menyembunyikan kesal dan amarah.

"Kami cuma ngobrol sebentar, Mi. Beberapa hari ini, aku kan sibuk di rumah sakit, jarang main ke sini. Wajar dong kalau aku merasa kangen sama calon istriku ini, Mi," jawab Ardi sembari mengusap pucuk kepala Aira lembut. Kedua sudut bibirnya pun belum turun.

"Ya sudah, ngobrolnya diteruskan nanti saja. Biar kalian bisa cepat perginya. Mamamu sudah ribut telepon Mami lho dari tadi." Marta mengingatkan.

Ardi mengangguk. Pandangannya lantas jatuh pada manik mata Aira. "Kamu siap-siap. Aku tunggu di depan," titahnya sebelum mengambil nampan yang tadi Aira simpan di atas meja. Kemudian, dia berbalik ke arah teras tanpa memandang Aira lagi.

Melihat sikap Ardi, hati Aira berdenyut nyeri. Dia menatap punggung Ardi yang menjauh. Dia tidak menyangka bahwa Ardi akan semarah itu dan berubah menjadi uring-uringan seperti sekarang. Padahal Aira bisa menjelaskan jika saja kekasihnya itu memberi kesempatan.

TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✓ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang