S1. - 03. Traumatis

4.1K 359 12
                                    

Jangan lupa pencet tombol bintang 🌟 sebelum baca 😚

🕊️🕊️🕊️

"Untuk perihal usia, bukankah Rasulullah dan Aisyah bisa hidup dengan usia yang berbeda?"

- Muhammad Haikal Reyhan -

~~~

Ketika aku membuka mataku terlihat wajahnya dengan wajahku mungkin hanya berjarak 5 senti lagi.

Deg!

Entah apa yang terjadi setelah ini, aku memutuskan untuk kembali menutup mataku, hingga suara azan Isya berkumandang aku langsung memalingkan wajahku menengok ke arah jendela entah apa yang akan terjadi bila azan itu belum berkumandang.

Dia seperti salah tingkah ketika aku memalingkan wajahku, kuharap dia mengerti dan meridaiku. Dia pun perlahan bangkit dari duduknya dan menggaruk-garuk kepalanya bagian belakang, aku menduga dia sedang berusaha menutupi rasa canggungnya.

"Em,, saya mau salat Isya di masjid, ya. Sekalian mau beli makan malam untuk kita." ucapnya sambil menggaruk telungkupnya yang sebenarnya tidak gatal dia benar-benar seperti orang yang sedang gugup.

Dan seketika suasana antara kami kembali diselimuti kecanggungan,
"Ya Allah, kenapa tiba-tiba seperti ini suasananya apa dia marah kepadaku?" Kenapa batinku merasa tidak enak? dan tanganku terus memainkan ujung mukena.

Tangannya perlahan menyentuh kepalaku dan mengelusnya lembut, dan berkata seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, "Jangan khawatir saya tidak marah kok sama kamu, saya paham kamu belum siap. Maafkan saya ya." ucapannya diakhiri senyuman.

Bukankah aku yang seharusnya meminta maaf? Kenapa ini malah membuatku terasa begitu sesak? batinku.

Lalu dia melangkahkan kakinya   pintu diikuti olehku. Dan ketika sampai diambang pintu dia berbalik badan dan berkata, "Saya pergi dulu, jaga dirimu baik-baik. Jangan ke mana-mana! Nanti saya khawatir mencari kamu." sambil mengacak atas hijabku, lagi-lagi senyuman maut itu membuatku tersipu malu, takku sangka cowok dingin sepertinya juga bisa menjadi sosok yang romantis.

Dan semoga saja rona wajahku sekarang tidak seperti kepiting rebus.
"Assalamualaikum," pamitnya.

"Tunggu!" cegahku, dahinya mulai berkerut menatapku dan sedikit menaikkan sebalah alisnya, mengisyaratkan ada apa? aku pun meraih tangannya dan mencium punggung tangannya itu untuk pertama kalinya.

Aku berusaha meyakinkan diri bahwa dari tangan inilah yang insya Allah akan membantu dan membimbingku hingga jannah. Dan dia pun kembali mengecup keningku penuh kelembutan dan kemudian mengucapkan salam dan berlalu.

"Waalaikumsalam, hati-hati!" ucapku sembari menutup pintu lagi-lagi jantungku berdegup kencang dan kemudian aku memutuskan untuk langsung melaksanakan salat Isya.

Jam telah menunjukkan pukul 08.30, tetapi batang hidung pria itu belum kembali, membuatku sedikit khawatir. Aku sesekali aku melihat kerah jam tangan silver milikku ini. Untuk mengecek waktu. Aku tidak bisa menghubunginya karena ponsel milikku masih tertinggal di rumah.
Aku kemudian memilih membuka tirai jendela. Mengamati betapa indahnya pemandangan ciptaan Sang Pencipta.

Tak lama berselang, tubuhku terasa seperti bergoyang, dan kenapa benda-benda di sekelilingku mulai bergetar? dan terdengar nyaring suara bergelombang seperti suara ambulans atau suara pertanda peringatan. Hanya ucapan zikir yang menjadi lantunanku saat ini aku meringkukkan tubuhku yang kini semakin bergetar tak terkendali, otakku tak dapat berpikir jernih, walau di luar tampaknya getaran itu telah selesai, namun tidak dengan getaran tubuhku yang semakin bergetar hebat.

Garis Takdir Adinda (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang